Jumat, 13 Desember 2013

Ahmadun Yosi Herfanda : Puisi dan Pengajaran Apresiasi Sastra

gampang-prawoto.blogspot.com
 
 
 
 
 
 
 
Puisi dan Pengajaran Apresiasi Sastra

oleh
Ahmadun Yosi Herfanda
pengajar dan pelayan sastra


Fungsi karya sastra

Karena memiliki muatan nilai-nilai yang mulia, karya sastra penting diapresiasi oleh masyarakat luas agar mereka dapat ikut tercerahkan oleh karya sastra, dan ikut mewarisi nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Dan, memang, salah satu fungsi terpenting karya sastra adalah sebagai media pewarisan nilai, pencerdasan dan pencerahan bagi pembacanya. Dalam konteks pendidikan, karya dapat dianggap sebagai media pendidikan nilai yang efektif karena dapat bersentuhan langsung dengan pikiran dan perasaan siswa.
Pewarisan nilai, pencerdasan dan pencerahan masyarakat melalui karya sastra tidak akan terjadi jika masyarakat tidak memiliki sikap apresiatif dan tidak memiliki kemampuan apresiasi sastra yang memadai. Ibarat gayung yang harus bersambut, karya-karya sastra yang dicipta oleh para sastrawan, yang mengandung nilai-nilai mulia itu, memang harus disambut sikap apresiatif masyarakat calon pembacanya. Tanpa sambutan sikap apresiatif, karya-karya sastra itu, bagaimanapun bagus kualitas estetik dan mulia muatan nilainya, akan menjadi sia-sia saja, karena hanya akan menumpuk di toko buku atau lapuk di gudang penerbit.
Indikator terpenting adanya sikap apresiatif terhadap karya sastra adalah adanya minat baca yang tinggi terhadap karya sastra. Karya-karya sastra dikonsumsi dengan baik oleh masyarakat luas dan terjual dengan baik di toko-toko buku. Perpustakaan-perpustakaan yang menyediakan karya sastra juga banyak dikunjungi peminat untuk membaca karya-karya tersebut. Karya-karya sastra yang menarik tidak menumpuk lama di toko buku atau lapuk di gudang penerbit. Sistem industri karya sastra berputar dengan sehat dan memberikan kesejahteraan yang sepadan bagi para pencipta karya sastra.
Tingkat apresiasi sastra masyarakat sangat terkait dengan pengajaran sastra di sekolah. Peran lembaga pendidikan sangat penting untuk menumbuhkan sikap apresiatif terhadap karya sastra sejak dini. Pengajaran sastra harus berjalan dengan baik, agar kemampuan dan sikap apresiatif siswa terhadap karya sastra dapat tumbuh secara sehat. Keluaran (out put) pengajaran sastra yang berhasil adalah minat baca yang tinggi dan kemampuan yang memadai untuk mengapresiasi karya sastra. Begitu lulus dari lembaga pendidikan tingkat menengah, mereka mencintai karya sastra dan ingin terus menikmati karya-karya sastra yang berkualitas dengan membeli buku-buku sastra. Jika setelah lulus, minat baca mereka tetap rendah dan tidak bersikap apresiatif terhadap karya sastra, berarti pengajaran sastra di sekolah telah gagal.

Solusi pengajaran sastra

Persoalan utama yang hingga kini masih menghambat pengembangan pengajaran apresiasi sastra di sekolah menengah adalah masih melekatnya pengajaran sastra pada pengajaran bahasa (Indonesia). Artinya, pengajaran sastra hanya ditempatkan sebagai salah satu aspek pengajaran bahasa – aspek-aspek lainnya adalah keterampilan membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, dan tata bahasa. Posisi melekat itu masih bertahan pada era Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), pada era Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan pada era Kurikulum 2013 sekarang ini.
Dengan posisi melekat pada pengajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra akhirnya akan sangat bergantung kepada guru-guru bahasa. Jika sang guru bahasa memiliki apresiasi sastra yang tinggi, maka pengajaran sastra juga akan mendapatkan perhatian yang lebih. Tetapi, jika gurunya tidak memiliki minat terhadap sastra, atau memiliki apresiasi sastra yang rendah, maka pengajaran sastra cenderung akan dilaksanakan apa adanya saja sesuai materi yang ada di buku pegangan. Guru tidak akan tertarik untuk bersungguh-sungguh meningkatkan apresiasi, wawasan dan minat baca siswa terhadap karya sastra.
Prestasi siswa dalam pengajaran sastra yang tidak muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri tapi hanya menjadi bagian dari nilai bahasa, juga tidak dapat mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh dalam pelajaran sastra. Cukup logis jika para siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai bahasa Indonesia pada rapornya—persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang rendah.
Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia, terutama sejak pendidikan tingkat SMU. Rasanya, inilah cara paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal. Dengan pemisahan seperti itu, maka mata pelajaran sastra akan berdiri otonom dan akan menyumbangkan nilai 100 persen pada rapor atau nilai Ujian Nasional (UN) siswa. Pemisahan itu cukup dimulai sejak SMU, karena pada jenjang itu penguasaan bahasa siswa rata-rata sudah cukup memadai, dengan daya penalaran yang cukup matang dan pada usia itulah minat dan bakat khusus siswa perlu diberi peluang untuk tumbuh lebih menonjol, termasuk bakat menjadi sastrawan.
Dalam posisi yang masih menyatu dengan pelajaran bahasa, pada akhirnya, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra sangat bergantung kepada guru bahasanya. Jika sang guru bahasa tidak memiliki minat terhadap sastra, serta apresiasi dan pengetahuan sastranya rendah, maka sulit diharap akan melaksanakan pengajaran sastra secara maksimal, kreatif, dan efektif. Dan, jika kebanyakan guru bahasa Indonesia berkarakter demikian, maka pengajaran sastra akan tetap menuai kegagalan demi kegagalan.***

Pamulang, November 2013
.blogspot.com
gampang-prawoto.blogspot.com

Uki Bayu Sejati : SASTRA & JAMAN : SEIRING SEJALAN

gampang-prawoto.blogspot.com












Uki Bayu Sejati
SASTRA & JAMAN : SEIRING SEJALAN

Yang berkecimpung di ranah sastra ingin “memasyarakatkan sastra—menyastrakan masyarakat”. Yang kiprah di ranah olahraga sudah lama mencanangkan “memasyarakatkan olahraga, mengolahragakan masyarakat”, yang berselancar di ranah matematika berjuang “memasyarakatkan matematika—mematematikan masyarakat” (hati-hati membaca, hindari lidah keseleo).
Jadi, pepatah “kepala sama hitam, pendapat berbeda-beda” pas dan tepat. Kaitan dengan jargon-jargon yang terpampang di paragraf awal jelas. Di antaranya begitu banyak kepala manusia di dunia ini yang keinginan, niat, hasratnya dibuat jargon dan diminati oleh sebagian anggota masyarakat. Andai semua dipublikasikan maka riuh-rendah dan semaraknya wacana yang beredar di sekitar kita. Pada saat yang sama sebenarnya dalam diri setiap manusia sudah begitu bersliweran niat, hasrat, beserta potensi-potensi lainnya.
Sama halnya dengan kenyataan bahwa sejak lahir setiap manusia memiliki status dan peran. Janin dalam rahim bunda adalah status, namun sudah berperan, antara lain: menjadi harapan pasutri maupun kakek-nenek, termasuk menjadi incaran produsen susu untuk dijadikan konsumen. Makin tambah usia makin banyak status dan peran yang disandang setiap manusia, maka bukan mustahil terjadi “ketegangan”. Misal, statusnya anak usia lima tahun, perannya siswa baru di Taman Kanan-kanak, mestinya ia menjalankan perannya itu, namun entah kenapa pagi itu mogok. Bagaimana sosok manusia yang berstatus ibu maupun guru harus melakukan perannya agar si anak pulih? Jadi, tampak besar-kecilnya porsi peran yang di”main”kan oleh status-status makhluk berpengaruh terhadap “ketegangan” di antara sosok-sosok manusia.
Sapardi Djoko Damono—saat menjadi pembicara pada peluncuran buku puisi Tiga Menatap Takdir, awal bulan ini—berpendapat bahwa pernyataan yang antara lain menyatakan anak remaja sekarang malas membaca buku sebaiknya tak dinyatakan lagi. Dengan kata lain diralat. Sebab, anak remaja masa kini hidup di tengah pusaran pesatnya teknologi komunikasi yang dalam waktu “sedetik” dapat mengakses sekian banyak informasi, itu galibnya sama dengan sedang membaca. Buku yang berupa kertas lambat laun bakal paperless. Jika sekian tahun lalu, kita amat sering melihat sosok-sosok manusia di suatu negara ketika berada dalam trem, bus, terus membaca buku sambil berdiri dengan dua kakinya, sekarang sudah berubah. Alat yang dipegang, berupa gadget, seluler, elektronik yang fiturnya lengkap, diutak-atik, tak peduli duduk lesehan, jongkok maupun berdiri—dengan tekun dan asyik—sekali pun dengan satu tangan.
Dunia berubah. Ya dan pasti.
Demikian pun di “dunia” sastra. Jelas selalu berada di dalam pusaran perubahan bersama “dunia-dunia” lain, saling berelasi, berinteraksi, pengaruh-mempengaruhi, dan sebagainya.
Sastra adalah produk budaya karya manusia—yang minat, senang, nikmat terhadap keindahan. Maaf, hindari mengklaim bahwa hanya sastra yang akrab dengan estetika. Karena Sang Maha Pencipta menyukai keindahan maka setiap mahluk dilengkapi dengan keindahan maupun rasa indah dan mampu merasionalkannya. Jadilah berbagai cabang, aliran, jenis, bentuk yang sedemikian ragam, beserta posisi dan porsi masing-masing yang berbeda.
Tanpa ingin menggurui bolehlah kita saling mengingatkan ihwal luasnya pengertian ‘sastra’. Bukan hanya menulis dalam artian menyambung huruf menjadi suku kata, kata, kalimat yang ditatah apik di daun lontar maupun kayu, digoreskan tangan jemari dengan halus dan indah di kertas dan kain, jadi simbol-simbol teknik informatika di komputer, seluler, juga—jangan lupa—tentang sastra lisan utamanya yang tradisional wedarkan kebijakan lokal dari jenius empu lokal, dan lebih dari itu sedemikian tak terhingga ‘sastra’ yang masih imaji berkeliaran di mayapada.
Jadi tak berhenti dan terpaku pada buku. Begitulah mestinya kita semua sampaikan kepada sedulur-sedulur yang berstatus guru di sekolah/madrasah/pesantren, pedagang/pengusaha di kaki lima sampai gedung pencakar langit, sipil—militer, politisi—birokrat, dan sebagainya. Marilah membuka pancaindera, aqal qalbu, rohani jasmani—luaskan wawasan. Siapa pun memiliki potensi ‘sastra’ dalam dirinya. Maka saat ia menyampaikan kepada sesiapa galibnya ia boleh disebut ‘sastrawan’, sebagaimana kita semua memiliki banyak status dan peran. Sekali lagi, yang berbeda tentu pada posisi dan porsinya.
Dengan demikian bukan mustahil pengertian ini membongkar batasan-batasan yang selama ini mengangkangi dan mengungkung kita. Di ‘dunia’ sastra boleh saja ada angkatan “Poejangga Baroe”, ”Angkatan ’45”, “Angkatan Balai Poestaka”, “Angkatan ’66”, ”Angkatan 80”, “Angkatan Facebook”, dan seterusnya, yang penting tak saling menghakimi, meninggikan diri/kelompok sendiri—merendahkan pihak lain.
Tentu saja bakal ada yang bertanya ihwal mutu alias kualitas, yang mengartikan adanya yang ‘menilai’ dan ‘yang dinilai.’ Karena kita yakin bahwa setiap manusia memiliki hak sekaligus kewajiban, maka pada hakikatnya “penilaian” bagaimana pun sifatnya relatif. Saat kita sebut: sesuatu, maka sebenarnya masih bisa digali lagi apa dan bagaimana “sesuatu” itu. Ini menunjukkan pengetahuan manusia di suatu waktu terbatas, dan terus berkembang. Yang kita nilai hari ini “buruk” besok berubah jadi “belum bagus,” setahun kemudian ada yang menyatakan “bagus.” Ya, bukan mustahil demikian, karena segalanya berubah, bahkan kata ‘ubah’ itu sendiri selorohnya, a.l. change (Inggris), obah (Jawa), anderung/tausch (Jerman), autre (Prancis).
Dunia berubah. Ya dan pasti.
Maka ada baiknya kita senantiasa belajar, belajar dan belajar. Hindari perasaan terlambat. “Pendidikan berlangsung dari janin sampai liang lahat”. Mempelajari, meminati, menikmati, mengolah sastra secara kreatif seiring sejalan dengan perubahan jaman. Demikian pula dengan berbagai kegiatan kehidupan lainnya. “Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan”. Tetap dan terus semangat. Mudah-mudahan bermanfaat. (Uki Bayu Sedjati).

Cunong N. Suraja : KEMASGULAN KEDEWASAAN MENCAPAI USIA 60 TAHUN

gampang-prawoto.blogspot.com

















(PROSES KREATIF “SENANDUNG BUNGA RINDU KETIKA LEPAS DINI HARI MULA PERJALANAN KETIKA SAAT ITU TIBA DAN PUISI MIMPI PENYAIR”)
oleh    Cunong N. Suraja
Puisi memang lahir dari pergulatan batin penyair yang suntuk dirajam gagasan dan imajinasi yang saling berpagutan. Puisi sengaja ditelorkan menghindarkan beban-beban kepenuhan obsesi penyair atas gebalau rasa dan karsa yang berjumpalitan. Maka ketika kesuntukan memerlukan pemenuhan hasrat pelampiasan kata-kata muncrat tak terbendung berderet menjajari imajinasi dan segala kemampuan keilmu-pengetahuan yang teraduk dasarnya membenamkan cakrawala wawasan.
Tergoda atas desakan lingkungan, berita televisi dan koran-koran cetak dan ketersudutan dari ketidakberdayaan pembelaan memunculkan anarki gagasan untuk mengumpat secara estetis tanpa nafas tanpa jeda. Berlarilah jemari meloncati tanda-tanda yang menghubungkan lambang dan penanda bahasa dan menjawab tantangan kebuntuan suntuk yang menggelegak bak lava gunung berapi mencari cara menjebol kepundan sumbatan.
Tergoda untuk merefleksi kaca cermin memantulkan kilat bayang-bayang yang oleh Subagio Sastrowardoyo dianggap letikan yang menyalakan pijar puisi sajak atau karya kreatif yang lain. Jika JSTH (baca Hudan Hidayat penulis buku Nabi Tanpa Wahyu) berceloteh:
saya kurang tahu mengapa cunong kurang gemar bermain tanda baca dalam puisi puisinya. apakah motif dirinya yang seolah menyerakkan kata, manabrak saja tanda baca dalam puisi. ia seorang akademisi dan rasanya kita yang naif kalau mengalamatkan kepada cunong, bahwa dia tidak paham akan arti kehadiran titik atau koma pada baris dalam puisi.( http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150335878277546).
Memang sebenarnya puisi mempunyai wilayah tanda baca tersendiri yaitu irama, ritme, rima dan aliterasi yang kadang muncul dengan sendirinya tanpa dituntun teori sastra yang ‘ndakik-ndakik’ alias tak teraih oleh tangan manusia biasa karena keadiluhungannya.
Tak heran kalau kemudian JSTH menyerahkan pada intusi yang lebih dipercayai daripada rekayasa rasa otak yang selalu mencari pembenaran pada filsafat, logika dan keteraturan makna. Maka JSTH pun berujar:
sejenak saya mengikuti gerak dari arah yang ditunjukkan oleh penyair ini, tapi apa yang saya cintai dari kehadiran sebuah puisi, mendadak menghilang. seolah saya memasuki dunia yang tak lagi ada strukturnya. struktur adalah ikatan ikatan dari bagian bagian, sehingga ikatan ikatan itu membentuk struktur. dan dalam ikatan ikatan, kita menjumpai simpul simpul dan setiap kita berjumpa dengan simpul, yang diikat oleh tanda baca, sebuah ide diselesaikan - untuk kelak berlanjut lagi. dan kita pun berdiam dalam ide yang selesai itu.
Simak betapa JSTH mempercayai tanda baca tapi menemukan juga jejak irama tanpa tanda baca. Baiklah itu ‘otowacono’ untuk menggiring sepemahaman atau jejak liar yang terkuak hingga terperosok pada kepenuhan beban yang mesti disebar-luaskan dalam bentuk puisi yang bercerita karena pada dasarnya jejak itu tanggapan atas pertemanan yang saling melempar status atau gagasan dalam kotak-kotak komentar Facebook. Facebook memfasilitasi keliaran itu hingga kadang-kadang seperti ‘tong sampah’ atau tempat pembuangan akhir semua kerak gagasan, walau tak dapat dipungkiri kerak-kerak itu seperti nama makanan orang Betawi yang tergabung dari nasi dan telor yang dipanggang hingga coklat matang bernama kerak telor.
Proses kreatif pertama ketika sajak-sajak ini terlahir sebenarnya merupakan tanggapan demi tanggapan yang tersusun karena memang kelincahan jeda waktu tersedia pada kilatan kerjap pengiriman posting di internet. Lihatlah jejak itu tandinya samar tapi lama-lama terekat setelah tersentuh editing suntingan seusai pembacaan ulang apalagi setalah tertanggapi pembaca semacam JSTH yang tengil dan usil untuk mengata-ngatai ‘anak haram’ yang bejalan beriringan - menurut istilah Subagio Sastrowardoyo puisi atau sajak adalah anak haram penyair sedangkan Susy Ayu penyair yang lahir di era cyber lebih menekankan pada anak hasil pemerkosaan pada kata-kata yang semula sudah dikredokan Sutardji CB dibebaskan dari beban makna menjadi mantra.
SENANDUNG BUNGA RINDU terlahir dari percakapan kotak komentar dalam Facebook yang saat ini kegelisahan mencapai usia genap enampuluh tahun menggelayut nyaris tanpa upacara karya yang fenomenal apalagi haru biru penyemangatan bagi mereka yang mengetahui kecuali Heru Emka dari Semarang yang mengkhususkan menyusun imaji dalam bentuk puisi:
THE DAYS OF LIFE
bagi  ulang tahun Cunong Nunuk Suraja
awal ke akhir
sibuk berpikir
mengurai tafsir
merawat takdir
hari ke lari
menembus sisi
memutus nyeri
menghimpun diri
isak ke gelak
retak ke hentak
memancang jejak
mendaki puncak
pilu ke haru
menimbang ragu
di deras waktu
menghilang lalu
lurus ke lingkar
hangus terbakar
resah ditawar
kesah ditukar
ingat ke lupa
tersengat alpa
terundung kata
terbingkai makna
ujung ke pangkal
murung terpental
menolak sesal
menangkis  ajal
jam dua pagi, 11oktober, dalam sunyi
berkawan lagu bohemian rhapsody
Heru Emka dengan gaya music staccato memotret sosok usia enampuluh yang mulai guyuh tanpa tongkat kepenyairan yang berkepala naga bertatahkan intan mutiara dan menyimpulkan dengan bungahan kata-kata merekah “setelah melewatkan sederet panjang usia, dia sampai juga pada makna: tumpukan cita-cita yang disusun satu demi satu, telah menjadi semacam prasasti.”
Kerinduan yang digumamkan penyair itu selalu terikat waktu, jadwal kepastian berangkat dan pergi dan catatan dalam bubu-buku perpustakaan. Menunggu usia enam puluh seperti menunggu kereta tetapi selalu tertinggal ‘tapi selalu saja setiap saat ketinggalan kereta yang singgah’ dan ’semakin jauh dari kesetiaan pada waktu.’ Kondisi ini semacam alasan kenapa hingga saat ini tak ada yang menjadi master piece atau kebanggaan atas ulah kerja kreatifnya. Senantiasa merasa tertinggalkan dan tersia-sia. Juga ketika bicara tentang lingkungan masyarakat luas Indonesia yang terbias pada prilaku pejabat negara dan pengawas prilaku pejabat negara yang ‘selingkuh’ untuk tidak mengatakan maling anggaran. Sajak KETIKA mencoba mengunggah pandangan mata atas berita televisi dan koran cetak tentang badan negara yang punya kerja membongkar kecurangan dan keculasan para penguasa dan pelaku pemerintahan. Maka simpulan yang getir ini menggupal dalam jejak sajak menjelang usia enampuluh tahun itu:
ketika puisi dituliskan untuk menyapa
puisi kehilangan gema estetika karena memuat kisah nyata tanpa basa-basi
ketika bahasa kehilangan struktur dan sistem bunyi
jadilah mantra pembunuh yang maha dahsyat



ketika bahasa dunia hanya satu
maka bumi pun tak lagi terbelah budaya

Refleksi kehidupannya seakan juluran lilitan seluloid film documenter yang terprojeksi di tembok waktu dengan deting-deting music tunggal nada. Ini tampak pada sajak yang membalada atau memprosa pada LEPAS DINI HARI. Saat orang terbangun tak sengaja karena ingin ke belakang atau bagi pemeluk agama yang teguh saat-saat mendekatkan diri pada tuhannya untuk meminta sesuatu yang sangat-sangat jarang dapat terpenuhi tanpa kerja keras dan sungguh-sungguh dan bukan sekedar menggantungkan cita-cita di langit tinggi-tinggi.
Seperti saat sang dalang wayang kulit atau golek membuka pergelaran mengenalkan pandangan mata atas sebuah negara impian:
kau bicara sendiri pada pojok sunyi rumah tinggal di ujung negeri musim berganti bersama kepak kelelawar melempar sisa buah dan jejak hujan yang masih ricik di selokan mengingat masa-masa menuju rumah desa tempat kakek nenek menunggu panenan padi yang senantiasa berebut dengan burung dan tikus yang dicoba dicatat untuk menyambut liburan cucu-cucunya yang selalu makan lahap beras tumbukan lesung yang sudah hilang gemanya saat kini yang berubah jadi deru mesin pengelupas bulir tanpa menyisakan sari-sari yang dulu dimaknai sebagai makanan ternak
Paparan begitu mengalir dengan selingan denting bunyi nada tunggal menuju pada tukikan masa-masa kecil, remaja, perjaka dan sekarang manusia usia tua. Masa depan yang dipandankan dengan masa kanak-kanak yang kehilangan pengawasan orang tua modern yang sibuk memburu dolar.
anak itu memandang jauh ke depan akan cita-cita pengharapan sementara dirimu merajut doa untuk bekal menuju peristiarahan yang sudah tersiapkan di pinggir desa dengan naungan kerimbunan pohon beringin tua dan mata anak itu seperti lorong masa lalumu yang menghubungkan kegamangan hidup dan hasil yang selalu menggairahkan untuk diceritakan pada tetangga duduk saat naik kereta api menuju kota
Sisa-sisa kenangan itu terus memburam dalam percakapan orang tua dalam perjalanan yang tak usai-usai: ‘kota yang berhutan beton bertulangan dengan lumuran cat-cat grafiti yang disemburkan remaja kota yang melumurkan kesan kusam dan jelaga’.
Semuanya terkristalkan dalam jejak sajak MULA PERJALANAN yang dikutip secara utuh.
sesudah sabda dibisikkan di kanan kiri telinga serta seruan yang maha agung dibisikkan dengan tawaduk tangis itu menguak malam hingga fajar untuk merapat ke bukit kehidupan yang memancarkan daya hidup yang senantiasa memuaskan rasa lapar dahaga yang selama sembilan bulan sepuluh hari dihisapnya lewat sulur-sulur kehidupan ibu yang rumit diceritakan
sesudah kedua kaki melangkah mulut mungilnya mengeja nama-nama benda di alam dan memanggil nama yang dikenal mulai kehidupan dengan warna yang tak senantiasa seperti pengharapan dan impian seakan cuaca musim yang silih berganti


sekarang kenangan itu tinggal membias pada kaca yang tempias gerimis sore yang mulai muram menutup senja dengan berita di televisi yang tak pernah padam
Bayangan buram demi bayangan buram terus menerus menghunjam tajam pada layar-layar batin yang sudah tidak putih lagi, bahkan ada yang robek sana-sini dan dengan tunduk yang memahami bukan kepasrahan yang terbelenggu terkuak keperkasaan diri pada kenyataan usia tua:
jangan kau urai burai air matamu sepanjang perjalanan menuju ujung desa dengan rindang pepohonan dan sepi yang membatu jangan lagi kau ceritakan masa-masa kebersamaan sesamamu cukup kau selipkan dalam setiap puisi yang kau lahirkan setelah kepergian ini senantiasa catatan demi catatan kemarin dapat kau rapi tambahkan sehingga akan menjadi acuan generasi mendatang
Adakah mimpi yang masih tersisa di ujung usia yang mulai merasa sia-sia mengejar asa? Atau penyair telah menyadari bahwa keperkasaan lahir fisik mengurung dan menunda kekalahan demi kekalahan seperti yang dirasakan Chairil Anwar. Mimpi penyair yang limbung di usia tak lagi muda menyaran pada ungkapan Chairil Anwar:
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Bandingkan dengan pajangan imaji yang bertumpuk-tumpuk pada bait pertama PUISI MIMPI PENYAIR:
mimpi apakah yang terselip di gigi puisi dan menanyakan warung puisi mana yang telah tandas kau kudap semalaman bersama penyair yang tanpa busana puisi mimpi menjadi pengantin membimbing ke pelaminan menciptakan mimpi panjang yang tak usai hingga dini hari menyeringai puisi mimpi menunjuk dan menuntut judul penyair yang lupa bermimpi puisi mimpi sepi kenangan di hotel merekam sunyi meruncing diujung bait puisi-puisi mimpi seperti mimpi para penyair yang pingin menerbitkan buku puisi-puisi mimpi membuat bangun penyairnya untuk meyakini puisinya tertinggal di alam mimpi puisi mimpi kursi menjadikan penguasa bernmimpi tentang kursi kekuasaan puisi mata penyair mata mimpi menuliskan puisi di alam mimpi puisi pulang pagi mengantongi segala mimpi penyair yang kemalaman di jalanan terbaring diam di undakan trotoar”
Aku lirik dengan guyuhnya menembus batas angan dan pandang pada gagasan yang besilangan antara sadar dan mimpi berbayang hingga larut di jalanan yang lengang lalu lintas. Keterlambatan lagi menyebabkan kemalangan penyair pada pangkal jalanan yang tak terukur angan.
Ditutuplah kesiasiaan hidup dengan tandas sampai mimpi di atas mimpi seperti diisyaratkan pada bait puisi ini:
senantiasa mengharap-harap senantiasa menyilang reka di kembara yang kian menuju dusta roti dan puisi dapat menjadi basi hidup dalam lingkaran makin berpusingan menuju entah lelaki selalu memburu celah-celah yang tak terjamah gairah menyalakan hidup menunjukkan jalan yang banyak pilihan dosa buah yang akan masak nanti di hari pengadilan bersebadanlah sehingga kau menjadi pasangan lahir batin
Akhir perjalanan yang telah disiapkan dengan seragam putih kafan memang sudah membayang sejak lama dan ini dapat dirunut pada sajak-sajak sebelumnya yang terkumpul dalam Ziarah 2005 (2011. Jakarta: PT Evolitera).
Lampiran puisi yang sudah diterbitkan dalam Puisiku.Oase.kompas.com, Senin, 10mOktober 2011
PUISI MIMPI PENYAIR
(1)
mimpi apakah yang terselip di gigi puisi dan menanyakan warung puisi mana yang telah tandas kau kudap semalaman bersama penyair yang tanpa busana puisi mimpi menjadi pengantin membimbing ke pelaminan menciptakan mimpi panjang yang tak usai hingga dini hari menyeringai puisi mimpi menunjuk dan menuntut judul penyair yang lupa bermimpi puisi mimpi sepi kenangan di hotel merekam sunyi meruncing diujung bait puisi-puisi mimpi seperti mimpi para penyair yang pingin menerbitkan buku puisi-puisi mimpi membuat bangun penyairnya untuk meyakini puisinya tertinggal di alam mimpi puisi mimpi kursi menjadikan penguasa bernmimpi tentang kursi kekuasaan puisi mata penyair mata mimpi menuliskan puisi di alam mimpi puisi pulang pagi mengantongi segala mimpi penyair yang kemalaman di jalanan terbaring diam di undakan trotoar
(2)
bicaralah dengan mimpi pada puisi yang di kantong penyair yang mengunyah puisi mimpi yang terselip di gigi puisi dan menanyakan warung puisi mana yang telah tandas kau kudap semalaman bersama penyair yang tanpa busana puisi mimpi menjadi pengantin membimbing ke pelaminan menciptakan mimpi panjang yang tak usai hingga dini hari menyeringai puisi mimpi menunjuk dan menuntut judul penyair yang lupa bermimpi puisi mimpi sepi kenangan di hotel merekam sunyi meruncing diujung bait puisi-puisi mimpi seperti mimpi para penyair yang pingin menerbitkan buku puisi-puisi mimpi membuat bangun penyairnya untuk meyakini puisinya tertinggal di alam mimpi puisi mimpi kursi menjadikan penguasa bernmimpi tentang kursi kekuasaan puisi mata penyair mata mimpi menuliskan puisi di alam mimpi puisi pulang pagi mengantongi segala mimpi penyair yang kemalaman di jalanan terbaring diam di undakan trotoar pada sisa-sisa usia kusiasati segala rupa rasa hanya padaMu semata senantiasa memburu mimpi puisi penyair kalang kabut tersudut di rumput menjumput sisa kenangan yang terselip di bayang lindap reumputan rebah catatan demi catatan meleleh dalam mimpi penyair yang kehilangan imajinasi biar biar mimpi berserakan seperti tulang belulang tanpa arti kini tinggal kau yang memaknai puisi itu mimpi atau imajinasi maka kalau masih meremehkan imajinasi dan menyingkirkan mimpi pasti tidak akan terjadi puisi yang berisi
(3)
senantiasa mengharap-harap senantiasa menyilang reka di kembara yang kian menuju dusta roti dan puisi dapat menjadi basi hidup dalam lingkaran makin berpusingan menuju entah lelaki selalu memburu celah-celah yang tak terjamah gairah menyalakan hidup menunjukkan jalan yang banyak pilihan dosa buah yang akan masak nanti di hari pengadilan bersebadanlah sehingga kau menjadi pasangan lahir batin
SENANDUNG BUNGA RINDU
dalam secangkir kopi ada nostalgia, rindu, terpuruk waktu dan menantimu setiap senja dalam kubangan kopi di cafe kita mula bersua
pada waktu yang setia senantiasa di ruang tunggu stasiun demi stasiun
saat kereta berpapasan dan melepas lambai
saat tangan melambai hingga hilang buntut kereta di kelokan jembatan ujung desa
memang kereta itu bukan kereta terakhir tapi selalu saja setiap saat ketinggalan kereta yang singgah
aku hanya mengenakan bakiak dari kayu randu yang menerbangkan bunga-bunga rindu
bunga rindu menyerbak menjebak angin di pelupuk mata
bermula dari buku yang disedekahkan kemudian derma pikiran yang akan merubah wacana dunia
ketika pesan itu terbaca membuka cakrawala tambahlah nikmat yang akan didapat
semakin dirasakan kebesaran nikmat dan dimaknai maka kelebihan nikmat datang bertubi-tubi
semakin jauh dari kesetiaan pada waktu
KETIKA
ketika KPK kehilangan taji politiknya
banggar di DPR kehilangan silet tajam penyikat
ketika anggota DPR sibuk menyiasati anggaran untuk tungku hidup partai
para kritisi memojokkan diri di sudut kafe riuh menggigit jari
ketika para politisi kuyup dengan uang siluman
para menteri pun berjamaah menjarah anggaran
ketika para pegawai negeri mengikuti jejak pejabat atasannya
tinggal rakyat pedagang asong, kaki lima, kelontong dan tukang tagih merenungi masa depan
ketika penyair kehilangan makna kata
layaknya penggiat LSM kehilangan klien dan penyandang dananya
ketika guru tak lagi mendidik dan mengajar
murid siswa mahasiswa tak lagi berbicara tentang akademis
ketika puisi dituliskan untuk menyapa
puisi kehilangan gema estetika karena memuat kisah nyata tanpa basa-basi
ketika bahasa kehilangan struktur dan sistem bunyi
jadilah mantra pembunuh yang maha dahsyat
ketika bahasa dunia hanya satu
maka bumi pun tak lagi terbelah budaya
ketika bumi berhenti beredar pada porosnya
musimpun mati
pendudukpun kalang kabut
matahari hanya menyosor pada belahan bumi yang terhenti
kehidupan boleh dikata sebagai kiamat
ketika ketika tak ada lagi masa
LEPAS DINI HARI
kau bicara sendiri pada pojok sunyi rumah tinggal di ujung negeri musim berganti bersama kepak kelelawar melempar sisa buah dan jejak hujan yang masih ricik di selokan mengingat masa-masa menuju rumah desa tempat kakek nenek menunggu panenan padi yang senantiasa berebut dengan burung dan tikus yang dicoba dicatat untuk menyambut liburan cucu-cucunya yang selalu makan lahap beras tumbukan lesung yang sudah hilang gemanya saat kini yang berubah jadi deru mesin pengelupas bulir tanpa menyisakan sari-sari yang dulu dimaknai sebagai makanan ternak
kau dengar sendiri tembang disenandungkan dikejauhan samar-samar melewati labirin masa remajanya yang dihabiskan dengan memburu binatang di tepi hutan menangkap ikan di palungan dan menaiki punggung kerbau yang senantiasa berlumur lumpur sawah hingga senja jatuh meninggalkan warna kesumba
kau simak wejangan demi wejangan di surau yang kusam dan roboh menjelang prahara bangsa yang saling berbunuhan waktu itu dan menyisakan curiga dan was-was hingga pada catatan tanda pengenal penduduk dan cap-cap merah darah yang melambangkan kebringasan serta senjata yang sesungguhnya adalah alat petani dan buruh bekerja
kau ngungun kini ketika menoleh ke masa silam karena ternyata tidak saja rambutmu, matamu, tulangmu yang memutih tetapi segalanya tentang masa lalu menjadi semacam kain kafan yang dulu kau kalungkan saat kau putari batu hitam rumahNya di tanah haram
kau mencoba menuliskan membacakan pada mata kanak-kanak yang suka datang bertanya tentang segala ungkapan bahasa yang dipunguti di ruang kelas maupun ketika berjalan pulang seusai pelajaran sekolah oleh anak itu dengan jujur tidak tahu kepada siapa yang dapat menerangkan kenapa bulan menyusuri langit malam-malam juga tentang beburungan yang juga ada yang terbang malam hari memburu mangsa apalagi hal-hal seperti kelelawar yang tidak dapat digolongkan sebagai beburungan
anak itu anak tetangga bukan anak keturunanmu yang merupakan gambaran masa depan yang dulu selalu kau bayangkan menyenangkan penuh tualang melawan terjangan halangan menciptakan nyanyian kepahlawanan
anak secerdas itu senantiasa menemuimu seusai makan siang sambil menunggu kedua orangtuanya pulang kerja sebagaimana dulu kau menunggu kakek-nenekmu pulang dari ladang atau pasar yang kadang-kadang menenteng buah tangan berupa kudapan sore atau sekedar buah yang dijumput di pematang atau pekarangan tetangga yang seakan saudara kandung tempat mengeluh dan meminta petuah
anak itu memandang jauh ke depan akan cita-cita pengharapan sementara dirimu merajut doa untuk bekal menuju peristiarahan yang sudah tersiapkan di pinggir desa dengan naungan kerimbunan pohon beringin tua dan mata anak itu seperti lorong masa lalumu yang menghubungkan kegamangan hidup dan hasil yang selalu menggairahkan untuk diceritakan pada tetangga duduk saat naik kereta api menuju kota
kota yang berhutan beton bertulangan dengan lumuran cat-cat grafiti yang disemburkan remaja kota yang melumurkan kesan kusam dan jelaga
MULA PERJALANAN
sesudah sabda dibisikkan di kanan kiri telinga serta seruan yang maha agung dibisikkan dengan tawaduk tangis itu menguak malam hingga fajar untuk merapat ke bukit kehidupan yang memancarkan daya hidup yang senantiasa memuaskan rasa lapar dahaga yang selama sembilan bulan sepuluh hari dihisapnya lewat sulur-sulur kehidupan ibu yang rumit diceritakan
sesudah kedua kaki melangkah mulut mungilnya mengeja nama-nama benda di alam dan memanggil nama yang dikenal mulai kehidupan dengan warna yang tak senantiasa seperti pengharapan dan impian seakan cuaca musim yang silih berganti
sekarang kenangan itu tinggal membias pada kaca yang tempias gerimis sore yang mulai muram menutup senja dengan berita di televisi yang tak pernah padam
KETIKA SAAT ITU TIBA
jangan kau kirim bunga ataupun pamflet kematian serta bunga tabur yang kau serakkan ke jalan menuju peristirahatan terkahir
jangan kau urai burai air matamu sepanjang perjalanan menuju ujung desa dengan rindang pepohonan dan sepi yang membatu
jangan lagi kau ceritakan masa-masa kebersamaan sesamamu cukup kau selipkan dalam setiap puisi yang kau lahirkan setelah kepergian ini
seulas senyum yang tulus seakan kompas bagi pejalan malam yang tersesat di rimba belatara beton di kota New York dan tak paham makna kata yang terpampang di setiap petujuk jalan lalu-lintas kota maka jangan kau kirim bunga ataupun pamflet kematian serta bunga tabur yang kau serakkan ke jalan menuju peristirahatan terakhir
jangan kau urai burai air matamu sepanjang perjalanan menuju ujung desa dengan rindang pepohonan dan sepi yang membatu jangan lagi kau ceritakan masa-masa kebersamaan sesamamu cukup kau selipkan dalam setiap puisi yang kau lahirkan setelah kepergian ini senantiasa catatan demi catatan kemarin dapat kau rapi tambahkan sehingga akan menjadi acuan generasi mendatang

 
BIODATA
Cunong Nunuk Suraja
lahir di Yogyakarta, 9 Oktober 1951
pengajar Intercultural Communication di FKIP - Universitas Ibn Khaldun Bogor 

Karya Tulis
Bulak Sumur – Malioboro. (Antologi Puisi Bersama). 1975. Yogyakarta: Dema UGM
Lirik-lirik Kemenangan. (Antologi Puisi Indonesia). 1994. Yogayakarta: Taman Budaya Propinsi DIY
Antologi Puisi Indonesia 1997. (Antologi Puisi Bersama). 1997. Bandung: Komunitas Sastra Indonesia dan Penerbit Angkasa Bandung
The American Poetry Annual. 1996. New York: The Amherst Society
The Lasting Joy, The national Library of Poetry. 1998. Owings Mills: The National Library of Poetry
The Chorus of the Soul, The International Library of Poetry. 2000. Owings Mills: The International Library of Poetry
Graffiti Gratitude. (Antologi Puisi Cyber). 2001. Bandung: Yyasan Multimedia Sastra dan Penerbit Angkasa Bandung
Pasar Kembang, Yogyakarta dalam sajak. (Antologi Puisi Bersama). 2001. Yogyakarta: Komunitas Sastra Indonesia Yogyakarta
Graffiti Imaji. (Kumpulan Cerpen Pendek). 2002. Jakarta: Yayasan Multimedia Sastra dan Penerbit Damar Warga
Les Cyberlettres (Antologi Puisi Cyberpunk). 2005. Jakarta: Yayasan Multimedia Sastra
Mekar di Bumi. (Visiografi Eka Budianta). 2006. Jakarta: Pustaka Alvabet
Jogja 5,9 Skala Richter (Antologi Seratus Puisi). 2006. Yogyakarta: Penerbit Bentang
G 30 S 30 September 2009 Gempa Padang (Antologi Puisi). 2010. Jakarta: Penerbit Soko Buku
Percikan Pikiran tentang Dunia Maya yang Hingar tapi Senyap(kumpulan esai pendek sastra). 2011. Jakarta: PT Evolitera, available on http://evolitera.co.id/ebook/percikan-pikiran-tentang-dunia-maya-yang-hingar-tapi-senyap/
Biru Langit 2005 (kumpulan puisi). 2011. Jakarta: PT Evolitera,
Senandung Bandung Jilid 3. 2011. Bandung: SWAWEDAR69 INSTITUTE & ADS
Mekah-Medinah 25 Perak (kumpulan puisi). 2011. Jakarta: PT Evolitera,
Ziarah 2005 (kumpulan puisi). 2011. Jakarta: PT Evolitera,
Black Teror Larasati. 2011. Jakarta: PT Evolitera,
Memburu Membunuh Ruh Puisi 2011. Jakarta: PT Evolitera available on http://evolitera.co.id/ebook/membunuh-ruh-puisi/

 gampang-prawoto.blogspot.com

Rabu, 04 Desember 2013

Manusia Pra Aksara

gampangprawoto.blogspot.com

Pengertian zaman praaksara


Sebenarnya ada istilah lain untuk menamakan zaman Praaksara yaitu zaman Nirleka, Nir artinya tidak ada dan leka artinya tulisan, jadi zaman Nirleka zaman tidak adanya tulisan. Batas antara zaman Praaksara dengan zaman sejarah adalah mulai adanya tulisan. Hal ini menimbulkan suatu pengertian bahwa Praaksara adalah zaman sebelum ditemukannya tulisan, sedangkan sejarah adalah zaman setelah adanya tulisan. Berakhirnya zaman Praaksara atau dimulainya zaman sejarah untuk setiap bangsa di dunia tidak sama tergantung dari peradaban bangsa tersebut. Salah satu contoh yaitu bangsa Mesir + tahun 4000 SM masyarakatnya sudah mengenal tulisan, sehingga + tahun 4000 bangsa Mesir sudah memasuki zaman sejarah

Sumber informasi zaman praaksara

Sumber informasi yang dapat digunakan untuk mengetahui kehidupan zaman praaksara:
1. Fosil
2. Artefak
Fosil adalah sisa-sisa makhluk hidup yang telah membatu karena adanya proses kimiawi. Fosil merupakan peninggalan masa lampau yang sudah tertanam ratusan peninggalan masa lampau yang sudah tertanam ratusan bahkan ribuan tahun di dalam tanah.
Contoh fosil antara lain fosil manusia, fosil binatang, fosil pepohonan (tumbuhan).
Gambar fosil manusia
Selain fosil yang menjadi sumber Praaksara juga terdapat artefak yaitu peninggalan masa lampau berupa alat kehidupan/hasil budaya yang terbuat dari batu, tulang, kayu dan logam
Gambar artefak dari batu

Pembabakan zaman praaksara

1.  Pembabakan Zaman Praaksara berdasarkan Geologi
Geologi adalah ilmu yang mempelajari bumi secara keseluruhan. Berdasarkan geologi, terjadinya bumi sampai sekarang dibagi ke dalam empat zaman. Zaman-zaman tersebut merupakan periodisasi atau pembabakan Praaksara yang terdiri dari:
a.   ARKAEKUM/zaman tertua
Zaman ini berlangsung kira-kira 2500 juta tahun, pada saat itu kulit bumi masih panas, sehingga tidak ada kehidupan. Dari penjelasan ini tentu Anda ingin bertanya kapan muncul kehidupan? Untuk itu simak uraian berikutnya.
b.  PALEOZOIKUM/zaman primer atau zaman hidup tua
Zaman ini berlangsung 340 juta tahun. Makhluk hidup yang muncul pada zaman ini seperti mikro organisme, ikan, ampibi, reptil dan binatang yang tidak bertulang punggung. Untuk lebih mengenal bintang-binatang tersebut amatilah gambar berikut ini.
c.   MESOZOIKUM/zaman sekunder atau zaman hidup pertengahan
Zaman ini berlangsung kira-kira 140 juta tahun. Pada zaman pertengahan ijenis reptil mencapai tingkat yang terbesar sehingga pada zaman ini sering disebut juga dengan zaman reptil. Amati gambar berikut:
Setelah berakhirnya zaman sekunder ini, maka muncul kehidupan yang lain yaitu jenis burung dan binatang menyusui yang masih rendah sekali tingkatannya. Sedangkan jenis reptilnya mengalami kepunahan. Selanjutnya berlangsunglah zaman hidup baru
d.  NEOZOIKUM/zaman hidup baru
Zaman ini dibedakan menjadi 2 zaman, yaitu:
1)  Tersier/zaman ketiga
Zaman ini berlangsung sekitar 60 juta tahun. Yang terpenting dari zaman ini ditandai dengan berkembangnya jenis binatang menyusui seperti jenis primat, contohnya kera.
2)  Kuartier/zaman keempat
Zaman ini ditandai dengan adanya kehidupan manusia sehingga merupakan zaman terpenting. Dan zaman ini dibagi lagi menjadi dua zaman yaitu yang disebut dengan zaman Pleistocen dan Holocen

Manusia purba di Indonesia

Manusia yang hidup pada zaman Praaksara sekarang sudah berubah menjadi fosil. Fosil manusia yang ditemukan di Indonesia dalam perkembangan terdiri dari beberapa jenis. Hal ini diketahui dari kedatangan para ahli dari Eropa pada abad ke-19, di mana mereka tertarik untuk mengadakan penelitian tentang fosil manusia di Indonesia. Penyelidikan fosil manusia selain dilakukan oleh orang-orang eropa, juga dilakukan oleh para ahli dari Indonesia, yaitu seperti Prof. Dr. Sartono, Prof. Dr. teuku Jacob, Dr. Otto Sudarmadji dan Prof. Dr. Soejono.
Jenis-jenis Manusia purba di Indonesia:
a.   Meganthropus
Seperti yang telah diuraikan pada materi sebelumnya, Von Koenigswald menemukan tengkorak di Desa Sangiran tahun 1941. Tengkorak yang ditemukan berupa tulang rahang bawah, dan gigi geliginya yang tampak mempunyai batang yang tegap dan geraham yang besar-besar. Dari penemuan tersebut, maka oleh Von Koenigswald diberi nama Meganthropus Palaeojavanicus yang artinya manusia raksasa tertua dari Pulau Jawa. Fosil tersebut diperkirakan hidupnya antara 20 juta – 15 juta tahun yang lalu, dan berasal dari lapisan Jetis.
b.  Pithecanthropus/Homo Erectus
Dengan kedatangan Eugene Dubouis ke Pulau jawa tahun 1890 di Trinil, Ngawi ditemukan tulang rahang, kemudian tahun 1891 bagian tengkorak dan tahun 1892 ditemukan tulang paha kiri setelah disusun hasil penemuan fosil-fosil tersebut oleh Eugene Dubouis diberi nama Pithecanthropus Eractus artinya manusia kera yang berjalan tegak. Dan sekarang fosil tersebut dinamakan sebagai Homo Erectus dari Jawa. Homo Erectus hidupnya diperkirakan antara 1,5 juta – 500.000 tahun yang lalu dan berasal dari Pleistocen tengah atau lapisan Trinil
c.   Homo Sapiens
Homo Sapiens adalah jenis manusia purba yang memiliki bentuk tubuh yang sama dengan manusia sekarang. Mereka telah memiliki sifat seperti manusia sekarang. Kehidupan mereka sangat sederhana, dan hidupnya mengembara.
Jenis fosil Homo Sapiens yang ditemukan di Indonesia terdiri dari:
1.   Fosil manusia yang ditemukan di daerah Ngandong lembah Sungai Bengawan Solo tahun 1931 – 1934. Fosil ini setelah diteliti oleh Von Koenigswald dan Weidenreich diberi nama Homo Sapiend Soloensis (Homo Soloensis).
2.   Fosil manusia yang ditemukan di Wajak (Tulung Agung) tahun 1889 oleh Van Reitschotten diteliti oleh Eugene Dubouis kemudian diberi nama menjadi Homo Sapiens Wajakensis

Perkembangan kehidupan zaman praaksara

Berikut ini Anda akan mengikuti paparan perkembangan manusia Indonesia yang hidup pada zaman Praaksara. Kehidupan masyarakat (manusia) pada zaman Praaksara terbagi menjadi 3 periode, yaitu:
a.   Masa berburu dan mengumpulkan makanan
Pada masa ini secara fisik manusia masih terbatas usahanya dalam menghadapi kondisi alam. Tingkat berpikir manusia yang masih rendah menyebabkan hidupnya berpindah-pindah tempat dan menggantungkan hidupnya kepada alam dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan
b.  Masa bercocok  tanam
Pada masa ini kemampuan berpikir manusia mulai berkembang. Sehingga timbul upaya menyiapkan persediaan bahan makanan yang cukup dalam suatu masa tertentu. Dalam upaya tersebut maka manusia bercocok tanam dan tidak lagi tergantung kepada alam.
c.   Masa perundagian
Pada masa ini masyarakat sudah mengenal teknik-teknik pengolahan logam. Pengolahan logam memerlukan suatu tempat serta keahlian khusus. Tempat untuk mengolah logam dikenal dengan nama perundagian dan orang yang ahli mengerjakannya dikenal dengan sebutan Undagi

Peninggalan budaya zaman praaksara

1)   Batu Tua/Palaeolithikum
Merupakan suatu masa di mana hasil buatan alat-alat dari batunya masih kasar dan belum diasah/diupam, sehingga bentuknya masih sederhana.
Contohnya: kapak genggam
2)  Batu Tengah Madya/Mesolithikum
Merupakan masa peralihan di mana cara pembuatan alat-alat kehidupannya lebih baik dan lebih halus dari zaman batu tua.
Contohnya: Pebble/Kapak Sumatera
3)  Batu Muda/Neolithikum
Merupakan suatu masa di mana alat-alat kehidupan manusia dibuat dari batu yang sudah dihaluskan, serta bentuknya lebih sempurna dari zaman sebelumnya.
Contohnya: kapak persegi dan kapak lonjong

Kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia

Menurut Von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunnan, China bagian Selatan.
Kedatangan nenek moyang dari wilayah Yunnan ke wilayah nusantara terbagi dalam dua gelombang yakni:
1. Proto Melayu: tiba di wilayah nusantara kira-kira tahun 2000 SM, mereka membawa kebudayaan Neolithikum. Arah persebaran proto melayu terbagi dalam 2 cabang yakni: Bangsa yang membawa peralatan kapak lonjong (ras papua melanesoid) , datang dari Yunnan melalui Filipina, kemudian menyebar ke Sulawesi Utara, Maluku, bahkan sampai ke Papua. Cabang yang kedua adalah Ras Austronesia, membawa kebudayaan kapak persegi, menyebar melalui Yunnan, Malaya, Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara.
Salah satu perkakas manusia purba
Hasil budaya proto melayu
2. Deutro Melayu: sampai di wilayah Nusantara kira-kira tahun 500 SM, membawa kebudayaan Dongson, wilayah Vietnam bagian utara, benda yang dibawa antara lain: nekara, candrasa, bejana, arca, manik-manik. Alur penyebaran Melayu Muda ini, berawal dari daratan Asia, Thailand, Malaysia Barat, kemudian menyebar ke wilayah Nusantara.

Contoh hasil kebudayaan Dongson (nekara dan moko)


Uang Logam Indonesia Yang Harganya Jutaan


gampangprawoto.blogspot.com

Uang Logam Indonesia 


Selain uang logam yang dipergunakan sebagai alat pembayaran, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan beberapa jenis uang logam peringatan. Uang-uang logam peringatan ini terbuat dari emas dan perak serta dicetak dalam jumlah sangat terbatas sehingga mempunyai nilai jual yang sangat tinggi.


Seri peringatan 25 tahun kemerdekaan Indonesia (1970)


1. Pecahan 200 rupiah
Terbuat dari perak (silver) dengan kadar 99,99% seberat 8 gram. Bergambar burung cendrawasih dan dicetak sebanyak 5100 keping..




2. Pecahan 250 rupiah
Terbuat dari perak 99,99% dengan berat 10 gram dan bergambar patung Manjusri dari Candi Tumpang di Malang. Dicetak sebanyak 5000 keping.





3. Pecahan 500 rupiah
Bergambar penari wayang, dicetak sebanyak 4800 keping. Kadar perak 99,99% dengan berat 20 gram.




4. Pecahan 750 rupiah
Bergambar ukiran Bali, berat 30 gram dengan kadar perak 99,99%. Dicetak sebanyak 4950 keping.





5. Pecahan 1000 rupiah
Bergambar Jendral Sudirman dengan berat 40 gram dan terbuat dari 99,99% perak. Dicetak sebanyak 4250 keping.


Kelima pecahan di atas ada yang dikemas dalam bentuk folder berisi sertifikat keaslian.


Selain kelima pecahan yang tebuat dari perak, dikeluarkan pula 5 pecahan yang bentuknya sama tetapi dengan nominal dan bahan yang berbeda. Kelima pecahan berikutnya terbuat dari emas dengan kadar 90%.


6. Pecahan 2000 rupiah
Gambar dan ukuran sama persis dengan yang perak, terbuat dari emas dengan berat 4,93 gram dan dicetak sebanyak 2970 keping. Sangat langka dan bernilai tinggi. Harga emasnya saja sudah sekitar 1 juta rupiah belum termasuk nilai antiknya.





7. Pecahan 5000 rupiah
Berat sekitar 12,3 gram dan dicetak sebanyak 2150 keping. Harga emasnya saja sudah sekitar 2,5 juta rupiah. http://anehdidunia.blogspot.com



8. Pecahan 10000 rupiah
Dicetak sebanyak 1440 keping dengan berat sekitar 24,6 gram.





9. Pecahan 20000 rupiah
Mempunyai berat 49,37 gram dengan jumlah hanya 1285 keping.







10. Pecahan 25000 rupiah
Pecahan terbesar dari seri ini, terbuat dari emas dengan berat 61,7 gram. Dicetak hanya sebanyak 970 keping. Sangat langka dan bernilai tinggi.. Gambar diambil dari situs Bank Indonesia.





SERI WWF 1974


1. Pecahan 2000 rupiah


Bergambar macan Jawa dan terdiri dari 2 jenis:


a. Terbuat dari perak dengan kadar 50% seberat 25,65 gram dan dicetak sebanyak 43000 keping


b. Terbuat dari perak dengan kadar 92,5% (proof) dan berat 28,28 gram dan dicetak sebanyak 18000 keping







2. Pecahan 5000 rupiah
Bergambar orangutan, juga terdiri dari 2 jenis:
a. Terbuat dari perak dengan kadar 50% dan berat 32 gram. Dicetak sebanyak 43000 keping. 

b. Terbuat dari perak berkadar 9,25% (proof) dan berat 35 gram. Dicetak sebanyak 17000 keping. .







3. Pecahan 100.000 rupiah
Bergambar komodo yang sangat indah, berbahan emas 90% dengan berat 33,437 gram. Dicetak dalam jumlah sangat sedikit yaitu 5333 keping.  Karena bentuk dan gambarnya yang indah, coin ini menjadi incaran para kolektor mancanegara.


Salah satu seri diatas pernah dipakai wasit Jack Taylor di pertandingan Belanda vs Jerman Barat, cuma gw gak tau yang mana, ada yang mau nambahin?


SERI WWF 1987


Hanya terdiri dari 2 pecahan yaitu 10000 (silver) dan 200000 (gold)


1. Pecahan 10000 rupiah
Bergambar babi rusa, terbuat dari perak berkadar 92,5% dengan berat 19,44 gram. Dicetak sebanyak 25 ribu keping.





2. Pecahan 200000 rupiah
Bergambar badak Jawa dan terbuat dari emas 91,7% dengan berat 10 gram. Dicetak sebanyak 5000 keping.






SERI SAVE THE CHILDREN 1990


1. Pecahan 10000 rupiah
Bergambar pemain badminton, terbuat dari 92,5% perak dengan berat 19,44 gram. Dicetak sebanyak 20000 keping.





2. Pecahan 200000 rupiah
Bergambar penari Bali, terbuat dari 91,7% emas dengan berat 10 gram. Sangat langka dan bernilai tinggi karena hanya dicetak sebanyak 3000 keping.  http://anehdidunia.blogspot.com







SERI 45 TAHUN KEMERDEKAAN 1990


Seri ini terdiri dari 3 macam pecahan yang semuanya terbuat dari emas 95,83%, sangat langka dan bernilai tinggi karena dicetak masing2 hanya sebanyak 3000 keping. Gambar diambil dari situs Bank Indonesia.


1. Pecahan 125000 rupiah
Terbuat dari emas dengan berat 8 gram.





2. Pecahan 250000 rupiah
Bergambar peta Indonesia dengan berat 17 gram. .







3. Pecahan 750000 rupiah
Bergambar lambang Angkatan 45, terbuat dari emas seberat 45 gram.




SERI 50 TAHUN KEMERDEKAAN 1995
1. Pecahan 300000 rupiah
Bergambar Presiden Soeharto sedang berbicara dengan rakyat. Terbuat dari emas seberat 17 gram. Dicetak sebanyak 3000 keping.




2. Pecahan 850000 rupiah
Merupakan pecahan terbesar yang pernah dicetak, bergambar Presiden Soeharto, juga terbuat dari emas dengan berat 50 gram. Dicetak sebanyak 3000 keping .





SERI 50 TAHUN UNICEF 1999


1. Pecahan 10000 rupiah
Bergambar pramuka sedang menanam pohon, terbuat dari 92,5% perak seberat 28,28 gram. Dicetak sebanyak 25000 keping. Gambar diambil dari situs BI.




2. Pecahan 150000 rupiah
Bergambar penari kuda lumping, terbuat dari emas berkadar 99,99% dengan berat 6,22 gram. Harga emasnya saja saat ini sudah sekitar 1,5 juta rupiah. Gambar diambil dari situs BI.


Rabu, 30 Oktober 2013

Angka Romawi

gampang-prawoto.blogspot.com.

Angka Romawi
Angka Romawi atau Bilangan Romawi adalah sistem penomoran yang berasal dari Romawi kuno. Sistem penomoran ini memakai huruf latin untuk melambangkan angka numerik:
Simbol Hasil
I           1 (satu) (unus)
V           5 (lima) (quinque)
X         10 (sepuluh) (decem)
L         50 (lima puluh) (quinquaginta)
C       100 (seratus) (centum)
D       500 (lima ratus) (quingenti)
M    1.000 (seribu)
Untuk angka yang lebih besar (≥5.000), sebuah garis ditempatkan di atas simbol indikator perkalian dengan 1.000.
Simbol Hasil
V         5.000 (lima ribu)
X       10.000 (sepuluh ribu)
L       50.000 (lima puluh ribu)
C     100.000 (seratus ribu)
D     500.000 (lima ratus ribu)
M   1.000.000 (satu juta)
Angka Romawi sangat umum digunakan sekarang ini, antara lain digunakan di jam, bab buku, penomoran sekuel film, penomoran seri event olahraga seperti Olimpiade.

Tabel angka Romawi

Berikut adalah tabel angka Romawi:

Romawi Alternatif Arab Catatan
tidak ada tidak ada 0 Tidak diperlukan.
I 1
II ⅠⅠ (atau Ⅱ) 2
III ⅠⅠⅠ (atau Ⅲ) 3
IV ⅠⅤ (atau Ⅳ) 4 IIII Masih Digunakan Untuk Jam
V 5
VI ⅤⅠ (atau Ⅵ) 6
VII ⅤⅠⅠ (atau Ⅶ) 7
VIII ⅤⅠⅠⅠ (atau Ⅷ) 8
IX ⅠⅩ (atau Ⅸ) 9
X 10
XI ⅩⅠ (atau Ⅺ) 11
XII ⅩⅠⅠ (atau Ⅻ) 12
XIII ⅩⅠⅠⅠ 13
XIV ⅩⅠⅤ 14
XV ⅩⅤ 15
XIX ⅩⅠⅩ 19
XX ⅩⅩ 20
XXX ⅩⅩⅩ 30
XL ⅩⅬ 40
L 50
LX ⅬⅩ 60
LXX ⅬⅩⅩ 70
LXXX ⅬⅩⅩⅩ 80
XC ⅩⅭ 90
C 100
CC ⅭⅭ 200
CD ⅭⅮ 400
D 500
DCLXVI ⅮⅭⅬⅩⅤⅠ 666 Menggunakan setiap simbol utama.
CM ⅭⅯ 900
M 1000
MCMXLV ⅯⅭⅯⅩⅬⅤ 1945
MCMXCIX ⅯⅭⅯⅩⅭⅠⅩ 1999
MM ⅯⅯ 2000
MMM ⅯⅯⅯ 3000
MMMM ⅯⅯⅯⅯ 4000






IƆƆ  ⅠƆƆ   5000 



I diikuti dengan dua buah C terbalik.
Cara mudah untuk menuliskan angka yang besar dalam angka Romawi ialah dengan menuliskan ribuan terlebih dahulu, ratusan, puluhan kemudian satuan.
Contoh: angka 1988.
Seribu adalah M, sembilan ratus adalah CM, delapan puluh adalah LXXX, delapan adalah VIII.
Digabung: MCMLXXXVIII (ⅯⅭⅯⅬⅩⅩⅩⅤⅠⅠⅠ).




I = 1
I = 1
II = 2
III = 3
IV = 4
V = 5
VI = 6
VII = 7
VIII = 8
IX = 9
X = 10
XX = 20
XXX = 30
XL = 40
IL = 49
L = 50
LX = 60
LXX = 70
LXXX = 80
XC = 90
VC = 95
IC = 99
C = 100
CD = 400
D = 500
DCL = 650
CM = 900
LM = 950
M = 1000
MCM = 1900

gampang-prawoto.blogspot.com