Sabtu, 22 Desember 2012

UNSA AWARD 2011

   
   UNSA  AWARD  2011

         Posted by Edu Badrus Shaleh
 
       Di lomba puisi UNSA AWARD, alhamdulillah dua orang anggota FLP Bogor masuk10   
       besar.

       DAFTAR NILAI 15 PENYAIR TERPILIH UNSA AWARD 2011

      1. Ziarah Malam Qamariyah – Shohifur Ridho Ilahi ( 8,7 )
      2. Di Kepalaku, Aku Membangun Sebuah Kota - Dalasari Pera ( 8,3)
      3. Kau Bermukim di Nadiku - Kurnia hidayati ( 8,3)
      4. Kekasih - M. Maniro AF ( 8,0)
      5. Sajak Dingin - Gampang Prawoto ( 7,9 )
      6. Sajak untuk Istri yang Pergi - Kemas Ferri Rahman ( 7,8 )
      7. Limbung di Ujung Jabung - Rini Febriani Hauri ( 7,8 )
      8. Tadarus Kesunyian - Edu Badrus Shaleh ( 7, 8 )
      9. Bidadari Layanglayang dan Pangeran Awan… - Zen AR ( 7,6 )
    10. Hijrahku - El Fasya ( 7,6 )
    11. Setiaku Menunggumu - Dee Dyantry ( 7,6)
    12. Sita Bersetia – Usup Supriyadi ( 7,6)
    13. Surat Buat Lelaki - Ibeth Beth-I (7,6)
    14. Dien (Cinta yang Tak Pernah Usai) - Oksa Puko Yuza (7,4)
    15. Doa Sepanjang Malam - Azzam Asrawi (7,4) 



SERAT GATHOLOCO 1

SERAT GATHOLOCO (1)

Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.

Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA

Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

Purwaka

Pupuh I

Mijil

(Pembukaan, Kumpulan Syair I, Lagu ber-irama Mijil)



1. Prana putêk kapêtêk ngranuhi, wiyoganing batos, raosing tyas karaos kêkêse, têmah bangkit upami nyêlaki, rudah gung prihatin, nalangsa kalangkung.


Oleh sebab sesak yang semakin menjadi-jadi, yang muncul dalam hati, terasa bagai diiris-iris, bangkit semakin tak tertahan lagi, gelisah dan gundah, nelangsa berlebih-lebih.

2. Jroning kingkin sinalamur nulis, sêrat Gatholoco, cipteng nala ngupaya lêjare, tarlen muhung mrih ayêming galih, ywa kalatur sêdhih, minangka panglipur.

Ditengah keresahan sengaja aku menulis untuk menghibur, (menulis) sêrat Gatholoco, maksud hati mencari kejelasan, sehingga bisa menentramkan hati, supaya tidak sedih berlarut-larut, sebagai sarana menghibur diri.

3. Kang kinarya bebukaning rawi, Rêjasari pondhok, wontên Kyai jumênêng Gurune, tiga pisan wasis muruk ilmi, kathah para santri, kapencut maguru.

Sebagai cerita pembuka, (tersebutlah sebuah) pondok (pesantren) Rêjasari, ada Kyai berkedudukan sebagai guru, berjumlah tiga orang sangat pandai mengajarkan ilmu, banyak para santri, terpikat untuk berguru.

4. Bakda subuh wau tiga Kyai, rujuk tyasnya condhong, Guru tiga ngrasuk busanane, arsa linggar sadaya miranti, duk wanci byar enjing, sarêng angkatipun.

Seusai (shalat) Subuh ketiga Kyai (tersebut), sepakat bersama-sama, ketiga Guru berganti busana, hendak melakukan perjalanan semua (santri) telah menanti, tepat ketika pagi menjelang, berangkatlah bersama-sama.

5. Murid nênêm umiring tut wuri, samya anggêgendhong, kang ginendhong kitab sadayane, gunggung kitab kawan likur iji, ciptaning panggalih, tuwi mitranipun.

Diiringi enam orang murid mengikut dibelakang, masing-masing membawa, yang dibawa banyak kitab, jumlah kitab sebanyak dua puluh empat buah, tujuan perjalanan, hendak bertandang ke tempat seorang sahabat.

6. Ingkang ugi dadya Guru santri, ing Cêpêkan pondhok, Kyai Kasan Bêsari namane, wus misuwur yen limpad pribadi, putus sagung ilmi, pra Guru maguru.

Yang juga berkedudukan sebagai seorang Guru dari banyak para santri, di pondok (pesantren) Cêpêkan, bernama Kyai Kasan Bêsari (Hassan Bashori), sudah terkenal akan kepandaiannya, menguasai segala macam ilmu, sehingga para Guru-pun berguru (kepadanya).

7. Datan wontên ingkang animbangi, pinunjul kinaot, langkung agêng pondhokan santrine, krana saking kathahipun murid, ujaring pawarti, pintên-pintên atus.


Tak ada yang mampu mengimbangi, terkenal dan dihormati, sangat besar pondok pesantrennya, karena memang muridnya-pun sangat banyak, menurut kabar, beratas-ratus (orang).

8. Amangsuli kang lagya lumaris, sadaya mangulon, sêpi mendhung sumilak langite, saya siyang lampahnya wus têbih, sunaring hyang rawi, sagêt bênteripun.

Kembali menceritakan mereka yang tengah berjalan, bergerak ke barat, tak ada mendung bergelayut sangat terang langit dikala itu, semakin siang perjalanan mereka semakin jauh, sinar hyang rawi (matahari), terasa menyengat panas.

9. Marma reren sapinggiring margi, ngandhap wringin ayom, ayêm samya anyêrêng kacune, tinamakkên ayoming waringin, pan kinarya linggih, jengkeng sêmu timpuh.


Oleh karenanya memutuskan untuk berhenti dipinggir jalan, tepat dibawah pohon beringin yang sejuk, segar terasa semua mengeluarkan sapu tangan ( pada jaman itu sapu tangan yang dipakai kebanyakan berukuran besar, seukuran handuk mini pada jaman sekarang), dibentangkan dibawah beringin, dipakai sebagai alas duduk, berjongkok setengah bersimpuh.


10. Êcisira cinublêskên siti, murid sami lunggoh, munggeng ngarsa ajejer lungguhe, kasiliring samirana ngidid, pating clumik muji, têsbehnya den etung.

Tongkat ditancapkan diatas tanah, para murid telah duduk semua, mengambil posisi duduk didepan ( dan menghadap Kyai Guru) berjajar-jajar, diterpa hembusan angin, bibir (ketiga Kyai Guru) berkomat-kamit melantunkan doa, sembari menghitung tasbih (masing-masing).

11. Murid nênêm ambelani muji, dikir lenggak-lenggok, manggut-manggut sirah gedheg-gedheg, dereng dangu nulya aningali, mring sajuga janmi, lir dandang lumaku.


Keenam murid mengikut berdoa, berdzikir kepalanya melenggak-lenggok, mengangguk-angguk kadang bergeleng-geleng pula, belum begitu lama lantas melihat, seorang manusia, (buruk rupa) bagaikan seekor burung gagak yang tengah berjalan.



Pupuh II


Dandanggula


(Kumpulan Syair II, Lagu ber-irama Dandanggula)



1. Êndhek cilik remane barintik, tur aburik wau rainira, ciri kera ing mripate, alis barungut têpung, irung sunthi cangkême nguplik, waja gingsul tur pêthak, lambe kandêl biru, janggut goleng sêmu nyênthang, pipi klungsur kupingira anjêpiping, gulu panggêl tur cêndhak.


Berpostur pendek dan kecil dengan rambut keriting, kulit wajahnya kasar, bermata kera (arah pandang mata yang tidak normal), alisnya tebal dan bertemu ujung keduanya, hidung pesek mulut maju, gigi gingsul besar berwarna putih, bibirnya tebal berwarna biru, janggut tumpul (tidak runcing) dan melebar jelek, pipinya kempot bentuk daun telinga maju (seperti telinga gajah), sedangkan leher besar dan pendek.

2. Pundhak brojol sêmune angêmpis, punang asta cêndhak tur kuwaga, ting carênthik darijine, alêkik dhadhanipun, wêtêng bekel bokongnya canthik, sêmu ekor dhêngkulnya, lampahipun impur, kulit ambêsisik mangkak, ambêngkerok napasira kêmpas-kêmpis, sayak lêsu kewala.


Pundak turun seperti luruh kebawah, tangannya pendek dan besar, jari jemarinya tidak rapi jelek, dadanya kempis, perut buncit kecil pantat kecil, lututnya kecil, tidak rapi saat berjalan, kulit tubuh seolah bersisik dengan warna gelap, saat bernafas suaranya terdengar dan tersengal-sengal, bagaikan orang yang tengah kelelahan.

3. Bêdudane pring tutul kinisik, apan blorok kuninge sêmu bang, asungsun tiga ponthange, bongkot têngah lan pucuk, timah budhêng ingkang kinardi, cupak irêng tur tuwa, gripis nyênyêpipun, mêlêng-mêlêng sêmu nglênga, labêt saking kenging kukus sabên ari, pangoturik den asta.


Pipa rokok yang dibawa berasal dari pohon bambu berukuran kecil yang digosok, warnanya kuning bersemu merah, diberikan hiasan pada tiga tempat, dibagian pangkal tengah dan ujung, timah hitam yang dipakai hiasan, terlihat jelek berwarna hitam pekat, dibagian untuk menghisap telah gripis (sedikit rusak), berminyak kehitam-hitaman, karena setiap saat terkena asap, walaupun begitu tetap saja dipakai.

4. Kandhutane klelet gangsal glindhing, alon lenggah cakêt Guru tiga, sarwi angempos napase, kapyarsa sênguk-sênguk, gandanira prêngus asangit, tumanduk mring panggenan, santri ingkang lungguh, Gatholoco ngambil sigra, kandhutane têgêsan kang aneng kendhit, gya nitik karya brama.


Bekal yang dibawa adalah candu tiga gelintir, pelan mengambil duduk dekat dengan ketiga Guru, terdengar suara nafasnya, tercium bau badan yang tidak sedap, prengus (istilah Jawa untuk mendefinisikan jenis bau yang mirip dengan bau kambing) sangit (istilah Jawa untuk mendefinisikan bau dari sisa pembakaran), menebar ke sekeliling, ditempat mana para santri tengah duduk, Gatholoco segera mengambil, bekal yang tersimpan dalam buntalan yang terikat dipinggangnya, lantas memantik korek api.

5. Nulya udut kebulnya ngêbuli, para santri kawratan sêdaya, asêngak sanget sangite, murid nênêm tumungkul, mêrgo sarwi atutup rai, sawêneh mithes grana, kang sawêneh watuk, mingsêr saking palênggahan, samya pindhah neng wurine guruneki, nyingkiri punang ganda.


Seketika asap rokok menyebar, semua santri terganggu, sêngak (istilah Jawa untuk mendefinisikan bau dari benda yang kotor) sangat sangit (lihat keterangan di syair: 5 diatas), kontan keenam murid mengalihkan pandangan dari Gatholoco, sembari menutup wajah (karena terganggu asap berbau tidak sedap), seorang lagi memencet hidung, seorang lagi terbatuk-batuk, segera mereka bergeser, duduk dibelakang para guru mereka, menghindari bau yang tak sedap.

6. Guru tiga waspada ningali, mring Wajuja ingkang lagya prapta, kawuryan mêsum ulate, sareng denira nebut, astagapirullah-hal-ngadim, dubillah minas setan, ilaha lallahu, lah iku manusa apa, salawase urip aneng dunya iki, ingsun durung tumingal.


Ketiga guru memperhatikan dengan seksama, kepada Wajuja (diambil dari nama sekelompok makhuk bar-bar pengganggu yang tertulis dalam Al-Qur’an, yaitu Ya’juj wa Ma’juj) yang baru datang ini, terlihat tidak patut tingkahnya, hampir bersamaan mereka berucap, Astaghfirullahal ‘adzim (Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung), Audzubillahiminassyaithon (Aku berlindung kepada Allah dari gangguan setan), Laillahailallahu (Tiada Tuhan selain Allah), Manusia apakan ini? selama hidupku didunia ini, aku belum pernah menjumpai.

7. Janma ingkang rupane kayeki, sarwi noleh ngandika mring sabat, Padha tingalana kuwe, manusa kurang wuruk, datan wêruh sakehing Nabi, neng dunya wus cilaka, iku durung besuk, siniksa aneng akherat, rikêl sewu siksane neng dunya kuwi, mulane wêkas ingwang.


Manusia yang berwujud seperti ini, sembari menoleh berkatalah kepada para sahabat (para santri), Lihatlah itu, manusia kurang pengajaran, tidak mengenal Para Nabi, didunia sudah celaka, belum kelak, disiksa di akherat, berlipat seribu siksaannya lebih dari siksaan didunianya kini, oleh karenanya aku berpesan.

8. Ingkang pêthel sinauwa ngaji, amrih wêruh sarak Rasulullah, slamêt dunya akherate, sapa kang nêja manut, ing saringat Andika Nabi, mêsthi oleh kamulyan, sapa kang tan manut, bakale nêmu cilaka, Ahmad Ngarip mangkana denira eling, Janma iku sun kira.


Yang rajin dalam mengaji, supaya mengetahui syari’at Rasulullah, akan selamat dunia akhirat, barangsiapa yang berkehendak menurut, kepada syari’at Baginda Nabi, pastilah akan mendapatkan kemuliaan, barangsiapa yang tak menurut, bakal menemukan celaka, begitulah pesan dari Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif), Manusia itu aku duga.

9. Dudu anak manusa sayêkti, anak Bêlis Setan Brêkasakan, turune Mêmêdi Wewe, Gatholoco duk ngrungu, den wastani yen anak Bêlis, langkung sakit manahnya, nanging tan kawêtu, ngungkapi gembolanira, kleletipun sajêbug sigra ingambil, den untal babar pisan.


Bukan anak manusia sesungguhnya, akan tetapi anak Iblis Setan Brêkasakan (makhluk yang tidak karu-karuan hidupnya), keturunan Mêmêdi (makhluk yang menakutkan) atau Wewe (Jin perempuan yang berwujud jelek), Gatholoco mendengar akan hal itu, disebut sebagai anak Iblis, sangat-sangat sakit hatinya, akan tetapi didiamkan saja, membuka gembolannya kembali, diambilnya candu sekepal, dimakan sekaligus semuanya.

10. Pan sakala êndême mratani, mrasuk badan kulit dagingira, ludira otot bayune, balung kalawan sungsum, kêkiyatan sadaya pulih, kawistara njrêbabak, cahyanipun santun, Guru tiga wrin waspada, samya eram tyasnya ngungun tan andugi, pratingkah kang mangkana.


Seketika mabuklah dia, candu merasuk badan kulit dan dagingnya, darah otot dan kekuatannya, tulang dan sumsumnya, seluruh kekuatan terasa pulih, dapat dilihat dari wajahnya yang memerah, cahaya wajahnya kembali, ketiga Guru waspada mengamati, heran hati mereka tak bisa memahami, kelakuan yang seperti itu.

11. Abdul Jabar ngucap mring Mad Ngarip, Lah ta mara age takonana, apa kang den untal kuwe, lan sapa aranipun, sarta manêh wismane ngêndi, apa panggotanira, ing sadinanipun, lan apa tan adus toya, salawase dene awake mbasisik, janma iku sun kira.


Abdul Jabar berkata kepada (Ah)mad Ngarip (Ahmad ‘Arif), Segeralah kamu tanyai, apa yang dimakannya barusan, dan siapa namanya, dan lagi rumahnya dimana, apa pekerjaannya, pekerjaan sehari-harinya, dan apakah tidak pernah mandi, sehingga kulitnya bersisik, manusia ini aku kira.

12. Ora ngrêti nyarak lawan sirik, najis mêkruh batal lawan karam, mung nganggo sênênge dhewe, sanajan iwak asu, daging celeng utawa babi, anggêr doyan pinangan, ora nduwe gigu, tan pisan wêdi duraka, Ahmad Ngarip mrêpeki gya muwus aris, Wong ala ingsun tannya.


Tidak mengetahui syari’at dan larangannya, najis makruh batal apalagi haram, hanya menuruti kesenangan sendiri, walaupun daging anjing, daging celeng maupun babi, kalau suka pasti dimakannya, tak memiliki rasa jijik, tak takut akan durhaka, Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif) mendekat dan segera berkata, Hai manusia jelek aku hendak bertanya.

13. Lah ta sapa aranira yêkti, sarta manêh ngêndi wismanira, kang tinannya lon saure, Gatholoco aranku, ingsun janma Lanang Sujati, omahku têngah jagad, Guru tiga ngrungu, sarêng denya latah-latah, Bêdhes buset aran nora lumrah janmi, jênêngmu iku karam.


Siapakah namamu sesungguhnya? Dan lagi dimanakah rumahmu? Yang ditanya menjawab pelan, Gatholoco namaku, aku manusia Lanang Sujati ( Lelaki Sejati ), rumahku ditengah-tengah jagad, Ketiga Guru mendengar, bersamaan mereka tertawa terbahak-bahak, Monyet! Busyet! Nama tidak umum dipakai manusia, namamu saja itu sudah haram!

14. Gatholoco ngucap tannya aris, Dene sira padha latah-latah, anggêguyu apa kuwe, Kyai Guru sumaur, Krana saking tyasingsun gêli, gumun mring jênêngira, Gatholoco muwus, Ing mangka jênêng utama, Gatho iku têgêse Sirah Kang Wadi, Loco Pranti Gosokan.


Gatholoco tenang bertanya, Kenapa kalian terbahak-bahak? Mentertawai apakah? Kyai Guru menjawab, Hatiku sangat geli, heran kepada namamu, Gatholoco berkata, Padahal itu adalah nama utama, Gatho itu artinya Kepala Yang Dirahasiakan ( Gathel : Penis ), Loco artinya Dikocok.

15. Marma kabeh padha sun lilani, sakarsane ngundang marang ingwang, yekti sun sauri bae, têtêlu araningsun, kang sawiji Barang Kinisik, siji Barang Panglusan, nanging kang misuwur, manca pat manca lêlima, iya iku Gatholoco aran mami, prasaja tandha priya.


Maka aku rela jika kalian semua, mau memanggil aku apa, pasti aku akan terima, tiga namaku, yang pertama Barang Kinisik ( Barang yang sering digosok-gosokkan kepada lobang), satunya lagi Barang Panglusan (Barang yang sering dihaluskan dengan cara dikeluar masukkan), akan tetapi yang terkenal, di empat penjuru angin bahkan di-lima penjuru angin, ialah Gatholoco, tanda seorang pria sejati.

16. Kyai Guru mangsuli Tan bêcik, jênêngira iku luwih ala, jalaran bangêt sarune, karam najis lan mêkruh, iku jênêng anyilakani, jênêng dadi duraka, jênêng ora patut, wus kasêbut jroning kitab, nyirik karam yen mati munggah suwargi, kang karam manjing nraka.


Kyai Guru menjawab Tidak patut, namamu itu sangat-sangat jelek, karena sangat tabunya, bukah hanya makruh tapi sudah najis bahkan haram! Itu nama yang mencelakakan, nama yang membuat orang menjadi durhaka, nama yang tidak patut, sudah disebutkan didalam kitab, apabila menghindari hal-hal yang haram jika meninggal kelak pasti akan naik ke surga, yang tidak menghindari hal-hal yang haram pasti kelak masuk neraka.

17. Gatholoco menjêp ngiwi-iwi, gya gumujêng nyawang Guru tiga, sarwi mangkana ujare, Sarak-ira kang kliru, sapa bisa angêlus wadi, yêkti janma utama, iku apêsipun, priyayi kang lungguh Dêmang, myang Panewu Wadana Kliwon Bupati, liyane ora bisa.


Gatholoco mencibir memperolok-olok, lantas tertawa memperhatikan ketiga Guru, sembari berkata demikian, Pemahamanmu atas syari’at salah! Siapa saja yang mampu mengerti rahasia (proses penciptaan melalui sexualitas), dialah manusia utama, hal inilah kelemahan, seluruh manusia walaupun berpangkat Dêmang, berpangkat Panêwu berpangkat Wadana berpangkat Kliwon maupun Bupati sekalipun, semuanya tidak ada yang memahami.