gampang-prawoto.com
ASIAWEEK INVESTIGATION 24 Juli 1998
TEN DAYS THAT SHOOK INDONESIA
Sepuluh Hari Yang Mengguncang Indonesia
BY SUSAN BERFIELD AND DEWI LOVEARD
_________________________________________________________
MULANYA, 4 PERWIRA POLISI HILANG MISTERIUS
Bulan Mei 1998, sejarah dunia mencatat gejolak di Indonesia. Gejolak yang berujung pada jatuhnya Presiden Soeharto. Aksi kerusuhan massa, penjarahan, dan pemerkosaan juga berlangsung dengan brutal. Reformasi terus bergulir, namun pemicu kerusuhan yang sebenarnya masih bersembunyi di balik debu.
Laporan investigasi Susan Berfield dan Dewi Loveard dari Asiaweek mengungkap, kerusuhan itu memang ada yang mendalangi. Keduanya menyimpulkan, kerusuhan itu adalah hasil sebuah aksi yang terencana rapi. Berikut intisarinya.
SEPULUH hari yang mengoyak Indonesia. Begitu majalah berita terkemuka di Asia itu menyebut huru-hara yang menimpa Indonesia selama Mei lalu. Kisah ini dimulai bergeraknya jarum jam pada 12 Mei. Jarum jam itu berhenti ketika 4 mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, ditembak mati oleh oknum aparat keamanan.
Dalam tempo 24 jam, insiden penembakan itu membakar amarah massa. Di tengah situasi itu pula, sebuah program anti-Cina dilancarkan. Api pun melahap Jakarta. Warga keturunan Tionghoa berlarian meninggalkan ibu kota. Jakarta tidak ubahnya sebuah zona perang. Ujung-ujungnya, Presiden Soeharto pun dipaksa mundur. Tetapi, arah nasib bangsa ini pun belum jelas.
Sampai detik terjadinya kerusuhan batu merajam bangunan mewah dan api melahap mobil-mobil, rakyat semula banyak mengira itu sebuah spontanitas massa. Massa yang marah terhadap penguasa yang terlalu lama memerintah. Tetapi, apakah bangsa ini sudah sedemikian brutal?
Sejarah Indonesia memang beberapa kali mencatat noda hitam aksi kekerasan. Namun, siapa penggeraknya, hampir tidak pernah diidentifikasi secara jelas. Itulah sosok-sosok pemimpin bayangan. Siapa mereka, tidak seorang pun berani membuka mulut. Sebab, mereka adalah orang-orang superkuat, yang hukum pun seolah anti menjamahnya.
Kali ini, insiden Trisakti itu memberikan gambaran riil. Dua orang oknum polisi diajukan ke pengadilan militer sebagai pesakitan. Tetapi, benarkah mereka pelakunya? Jujur saja, sebagian rakyat Indonesia percaya bahwa para terdakwa itu hanya kambing hitam. Pengadilan militer itu hanya bagian sebuah upaya melindungi kepentingan militer yang lebih besar.
Hasil investigasi sebulan penuh Asiaweek termasuk wawancara dengan beberapa perwira militer, pengacara, aktivis hak asasi manusia (HAM), para korban, dan saksi mata menyimpulkan, penembakan Trisakti, kerusuhan, penjarahan, dan aksi pemerkosaan terhadap para wanita Tionghoa benar-benar sudah direncanakan.
Di antara bukti yang didapat selama investigasi itu adalah hilangnya empat perwira polisi lengkap dengan seragamnya beberapa hari sebelum penembakan itu terjadi. Lagi pula, peluru yang diambil dari tubuh korban Trisakti itu bukanlah peluru resmi milik kepolisian.
Belum cukup di situ. Bukti lain menyatakan bahwa dua orang lelaki, yang kini dalam persembunyian, mengakui bahwa mereka sengaja direkrut untuk memancing kerusuhan. Bahkan, sumber-sumber militer mengatakan bahwa untuk kali pertama mereka berhasil menyadap arus komunikasi beberapa markas AD di Jakarta dengan kelompok-kelompok provokator pada 14 Mei lalu.
Pertanyaannya, bila kerusuhan itu sengaja digerakkan, tentu pasti ada dalangnya. Identitas si dalang ini memang tidak pernah gamblang. Namun, salah seorang yang disebut-sebut terkait dengan serangkaian aksi kerusuhan itu adalah menantu Soeharto, Letjen TNI Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat Pangkostrad. Bahkan, beberapa kalangan menilai, keterlibatan Prabowo itu sudah kelewat jelas. Namun, Fadli Zon ,aktivis muslim yang dekat dengan Prabowo, menilai, sang letjen itu hanyalah korban pembunuhan karakter.
Beberapa hari setelah kerusuhan itu, Prabowo menyangkal terlibat dalam kerusuhan itu. Lewat perantaranya, Juni lalu dia menyatakan siap diwawancarai Asiaweek. Tetapi, sampai kini janji wawancara itu belum pernah terwujud.
Mengapa harus Prabowo? Banyak alasan yang mendukung tudingan itu. Prabowo sudah luas dikenal sebagai sosok ambisius. Dia memiliki berbagai sarana untuk menyulut kerusuhan itu. Dengan posisinya, dia juga mampu memerintahkan beberapa pemuda yang tak berdaya melawan perintah, termasuk beberapa oknum dari organisasi paramiliter yang dikenal jago menyulut kerusuhan.
Para preman, gangster, oknum paramiliter, dan beberapa perkumpulan pemuda melaksanakan saja apa yang dia perintahkan. Beberapa di antaranya, seperti Pemuda Pancasila, memang sudah mapan. Sumber-sumber militer mencurigai bahwa keterlibatan organisasi lain dalam kerusuhan di Jakarta itu tidak lebih dari sebuah jaringan lokal yang dikepalai para preman yang direkrut dari berbagai provinsi untuk mengacau ibu kota.
Prabowo terobsesi keyakinannya bahwa satu-satunya cara bisa memerintah Indonesia adalah dengan tipu muslihat militer. Dengan cara itu, dia yakin bisa meraih kekuasaan seperti mertuanya meraih kekuasaan dari Soekarno, ujar salah seorang perwira militer senior. Dia menjelaskan, Prabowo sengaja menciptakan kerusuhan itu dengan harapan rivalnya, (saat itu) KSAD Jenderal TNI Wiranto, tidak mampu memulihkan keadaan.
Harapan Prabowo adalah Soeharto, yang ketika kerusuhan terjadi berada di Mesir, memberlakukan undang-undang darurat. Sebagai panglima Kostrad, satuan inti siap tempur, Prabowo sangat yakin dialah yang bisa mengendalikan situasi. Inilah teorinya.
Teori lain mengatakan, Prabowo sengaja menciptakan kerusuhan itu untuk menarik simpati Soeharto bahwa Prabowo mampu mengendalikan situasi yang tidak menentu. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Prabowo kehilangan pelindung sekaligus komandonya.
Negara Indonesia menanggung kerugian yang jauh lebih besar. Setidaknya 1.188 orang tewas, sekitar 468 wanita diperkosa, 40 mal dan 2.470 toko ludes dimakan api, serta tidak kurang dari 1.119 mobil dibakar atau dirusak.
Kerusuhan Mei 1998
Bagaimana sebenarnya peristiwa pilu ini terjadi? Mari kita telusuri sepuluh hari yang mencekam dan mengguncang ibu kota itu.
________________________________________________________________
DEMO TERBESAR MAHASISWA TRISAKTI
12 MEI: Sekitar pukul 10.30 WIB, mahasiswa mulai berkumpul di pelataran parkir di luar kampus Universitas Trisakti yang megah dengan bentuk M berlantai dua belas itu. Ini merupakan demo terbesar pertama yang dilaksanakan Trisakti. Mahasiswa yang ikut pun berasal dari bermacam golongan dan strata sosial. Ada anak-anak birokrat, pengusaha, diplomat, dan bahkan anak orang militer.
Areal parkir, biasanya dipenuhi Kijang, Toyota, dan Peugeot, siang yang panas itu benar-benar dijejali mahasiswa yang protes. Beberapa saat sebelum jarum jam menunjukkan pukul 11.00 WIB, bendera Merah Putih dikerek setengah tiang. Sementara itu, mahasiswa dan dosen menyanyikan lagu kebangsaan. Lalu, mereka mengheningkan cipta sesaat sebelum akhirnya berteriak meminta Soeharto mundur.
Pada pukul 12.30 WIB, sekitar 6.000 mahasiwa bergerak menuju jalan raya di sekitar kampus. Mereka bertekad melakukan long march menuju gedung DPR/MPR. Tiga wakil Trisakti –Dekan Fakultas Hukum Adi Andoyo Sutjipto, Kepala Satpam Kampus Arri Gunarsa, dan Ketua Senat Mahasiwa Julianto Hendro–melakukan negosiasi dengan aparat keamanan. Saat itu jarum jam sudah mendekati pukul 13.00 WIB.
Andi Andojo:
Perwakilan Trisakti itu meminta aparat mengizinkan mereka berjalan ke gedung wakil rakyat sejauh 5 km. Tetapi, permintaan itu tidak dikabulkan. Mahasiwa kecewa dan duduk-duduk sambil terus beraksi di jalanan. Julianto mengungkapkan penyesalannya karena keinginan bertemu wakil rakyat itu tidak terkabul.
Aksi mahasiswa masih bertahan. Orasi, lagu kebangsaan, dan pekik protes terus berlangsung meski hujan mengguyur. Beberapa demonstran malah dengan akrab meletakkan bunga di pelatuk senapan para polisi yang berdinas. Sampai akhirnya terdengarlah kabar dari Golkar, kelompok yang merajai di DPR, bahwa tidak seorang pun sanggup menerima mereka. Berdiri tegak di tengah polisi dan rekan-rekannya, Julianto menyeru kepada mahasiswa yang kecewa. Meski kecewa, janganlah menyulut aksi kekerasan.
SITUASI Trisakti pada 12 Mei sore memang tampak tenang. Setelah gagal menuju gedung DPR/MPR, mahasiswa yang kecewa siap tidak menyulut aksi keributan. Pukul 15.00 WIB, Adi Andoyo kembali ke kantornya. Setengah jam kemudian, asistennya menelepon bahwa polisi mengancam akan memakai kekuatan bila 200 lebih mahasiswa itu masih di jalanan menggelar aksi dan tidak mau kembali ke kampus.
Pukul 16.15, kesepakatan pun tercapai. Mahasiswa dan polisi perlahan-lahan meninggalkan garis batas lima meter. Sebagian besar mahasiswa kembali ke kampus. Yang lain masih rileks di jalanan atau berkerumun di sekitar penjaja makanan yang ada di tepi jalan. Ketua Senat Julianto Hendro tampak menenggak air kemasan.
Beberapa personel polisi juga memanfaatkan waktu dengan melepas ketegangan itu. Semuanya tampak tenang. Dan, Adi Andojo pun bertolak pulang. Seperempat jam kemudian, 16.30 WIB, seorang lelaki yang berdiri di tengah kerumunan mahasiswa berteriak agar para mahasiswa menghentikan protes.
Mahasiswa meneriaki lelaki itu sebagai agen intelijen dan mulai menggebukinya ketika dia berusaha lari sejauh 50 meter menuju garis polisi. Baru kemudian diketahui bahwa lelaki itu bernama Masud, mahasiwa Trisakti yang drop-out. Polisi maupun militer tidak mengklaim Masud adalah orangnya.
Karena Masud, suasana menjadi tegang kembali. Namun, Kepala Satpam Trisakti Arri Gunarsa dan Julianto mengingatkan rekan-rekannya agar tetap tenang dan kembali ke kampus. Pada pukul 16.45 WIB, seorang letkol polisi menghentikan perundingan. Mahasiswa diberi deadline 15 menit agar meninggalkan jalan raya. Sekitar 100 mahasiswa menolak seruan itu dan tetap berdiri di depan barikade polisi.
Menurut Julianto, tiga atau empat polisi berusaha menghalau mereka agar mundur. Memang, mahasiswa berusaha terus merangsek, meski tidak sampai melewati garis batas mereka sendiri. Polisi mengklaim mahasiswa kemudian menyulut kericuhan. Tetapi, para saksi mata mengatakan bahwa suasana sebenarnya mulai tenang.
Sekitar pukul 17.20 WIB, seseorang meletupkan senjata ke udara. Polisi pun membalas dengan melepaskan tembakan gas air mata, memukulkan tongkatnya, dan menembakkan senjata. Mahasiwa berlarian berlindung di gedung-gedung sekitarnya dan di bawah payung penjaja minuman di pinggir jalan. Tetapi, polisi terus memburu mahasiswa hingga ke pintu gerbang kampus. Cukup sampai di pintu gerbang itu saja. Tetapi, peluru-peluru terus melesat. Sebutir peluru karet menghantam punggung Julianto yang saat itu sudah di depan kantor senat.
Aparat Keamanan:
Menghadapi keadaan itu, dari dalam kampus, mahasiwa membalas dengan melemparkan botol dan batu ke arah polisi. Saat itu, mahasiwa yakin benar bahwa peluru yang diberondongkan kepada mereka adalah peluru karet. Mereka yakin bahwa polisi dan tentara pasti mengikuti prosedur dalam menangani aksi-aksi demonstrasi.
Itu terlihat jelas dalam satuan-satuan yang diturunkan untuk mengamankan aksi di Trisakti ini. Seperti pemakaian empat lapis kekuatan: polisi di depan dengan tameng, pelindung tubuh, dan pentungan; lapis kedua adalah polisi yang bersenjatakan gas air mata dan senapan stun (yang bisa membuat korban cuma pingsan); lapis ketiga adalah tentara dengan gas air mata dan senapan berpeluru karet; serta lapis keempat terdiri atas satuan khusus polisi dan tentara bersepeda motor yang bersenjatakan senapan air.
Pada hari itu, dua komandan polisi kemudian bersaksi bahwa personel sama sekali tidak memakai amunisi hidup, tetapi mereka membawa senapan laras Steyr AUG dan SS-1 yang diisi dengan peluru kosong dan 12 peluru karet, plus SS-1 yang masing-masing diisi lima gas kanister. Namun, “seseorang” benar-benar memakai peluru nyata.
Beberapa saksi mata mengatakan, polisi berkendaraan sepeda motor melesat di atas jembatan layang yang membentang paralel antara kampus Trisakti dan jalan tol. Mereka mengenakan seragam polisi Brigade Mobil (Brimob). Kemudian, kedua perwira militer mengatakan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahwa sepekan sebelum demonstrasi itu, empat anggota unit Brimob raib bersama seragamnya.
Siapa pun para lelaki di jembatan layang itu, mereka benar-benar jitu membidikkan peluru nyatanya. Pukul 17.30 hingga pukul 18.00 WIB, empat mahasiswa gugur tertembus peluru di kepala, leher, dada, dan punggung.
Sementara itu, sebagian besar korban luka masih berhadapan dengan polisi. Mereka berusaha membuka barikade dengan melempari polisi dengan batu. Korban gugur pertama Hendriawan Sie, 20 tahun, kemudian dilarikan Arri secepatnya ke RS Sumber Waras yang terdekat. Sayang, nyawa Hendriawan yang lehernya tertembus peluru saat berada di balik pintu gerbang kampus itu tidak tertolong. Darah terus mengucur dari lehernya. Dalam perjalanan menuju kampus itulah, dia gugur.
Elang Mulya Lesmana, 19 tahun, ditembak di dada dan langsung tewas di kampus. Hafidhin Royan, 21 tahun, ditembak di kepala dan meninggal di rumah sakit. Lalu, Hery Hartanto, 21 tahun, ditembak di punggung ketika dia berhenti berlari untuk membersihkan perih di matanya yang terkena gas. Dia meninggal di kampus itu.
Pahlawan Reformasi:
Menurut kepolisian dan seorang sumber yang dekat dengan militer, peluru yang dipakai membunuh empat mahasiwa itu jenis 5,56 mm MU5 yang dilesatkan dari senapan laras Steyr AUG. Padahal, aparat polisi yang diterjunkan untuk mengamankan demo Trisakti itu dibekali MU4.
Hasil yang menguatkan polisi tidak terlibat dalam insiden pembunuhan itu tidak lain berupa bukti peluru yang diambil dari jasad Hery pada 7 Juni lalu. Satu-satunya bukti kuat bahwa polisi memang tidak terlibat.
Empat nyawa sudah melayang. Tetapi, mahasiwa masih mendengar tembakan sporadis pada pukul 18.00 hingga pukul 19.00 WIB. Beberapa saat kemudian, korban terakhir bernama Sofyan Rachman ambruk ke tanah. Hingga sekarang, Sofyan masih berada dalam perawatan intensif untuk memulihan luka di dada yang juga menggores ginjalnya.
Pukul 20.00 WIB, Intan, mahasiswi fakultas hukum, keluar dari kampus dengan mengenakan pakaian putih. Dia berteriak kepada polisi bahwa orang-orang di dalam kampus butuh pertolongan medis. Setelah itu, tembakan pun berhenti. Seketika itu pula, 35 orang terluka dilarikan ke rumah sakit, meski sebelumnya polisi menolak memberikan jaminan keamanan ambulans yang membawa para korban itu.
Selain itu, kata Arri, komandan polisi telah memberi tahu dia bahwa luka-luka mahasiswa tersebut tidak mengancam nyawa. Sebab, peluru yang dipakai terbuat dari karet.
Beberapa saat setelah penembakan Trisakti itu, kawasan etnis Tionghoa di Sunter dalam keadaan siaga. Malam itu, Imam Suyitno warga sipil yang sudah dilatih meminta bala bantuan tentara dalam keadaan darurat diperintahkan mengorganisasi pemantauan keamanan. Dia berdiri mengawasi keadaan di pintu gerbang pusat perbelanjaan di kawasan itu bersama rekan-rekannya.
Malam itu, mereka melihat sebuah truk AD yang berhenti di belakang supermarket. Sekitar 20 orang lelaki berpenampilan serem (garang) turun dari truk itu. Tetapi, kata Imam, sebelum turun, wajah-wajah sangar itu menerima sesuatu dari seorang lelaki. Lelaki ini kemudian lenyap ditelan kegelapan malam.
13 MEI: Pukul 09.15 WIB, ribuan mahasiswa menghadiri upacara belasungkawa di Trisakti. Sebuah tenda plastik bernoda darah berdiri di atas jalan setapak dekat Gedung M. Bendera berkibar setengah tiang. Di sana hampir semua tokoh pengkritik pemerintah hadir memberikan orasi. Kaum selebriti politik Indonesia mengatakan, era baru segera datang. Setelah itu, kata saksi mata, keadaan berubah cepat.
Suasana Berkabung:
Kerumunan massa yang ditolak masuk dan semula di depan pintu gerbang kampus kini mulai meruah dan melakukan keributan di jalanan. Mencium gelagat brutal itu, mahasiswa yang di lingkungan kampus bertekat tidak akan beranjak keluar menuruti seruan bergabung massa di luar. Massa pun mulai kalap. Mereka menghitamarangkan mobil-mobil yang diparkir dekat Mal Citraland. Dua boks gerbang pembayaran tol disulut api. Kerusuhan meluas di wilayah Jakarta Barat, lalu terus meluas.
Ketika asap membumbung dari bangunan-bangunan Jakarta, pengacara kesohor Adnan Buyung Nasution dan Ketua YLBHI Bambang Widjoyanto menemui Prabowo di markas Kostrad. Mereka bicara selama 30 menit. Di hadapan Prabowo, Buyung dan Bambang menanyakan keterlibatan menantu Soeharto itu dalam insiden penculikan beberapa aktivis politik.
Pengacara Adnan Buyung Nasution dan Ketua YLBHI Bambang Widjoyanto:
Buyung dan Bambang merasa perlu menanyakan hal itu didasari pikiran bahwa adanya konflik antara Prabowo dan Wiranto. Di hadapan dua praktisi hukum senior itu, Prabowo bersumpah tidak tahu-menahu soal penculikan para aktivis tersebut. Prabowo juga menolak dugaan bahwa dia berseteru dengan Wiranto.
Kerusuhan terus meluas di luaran. Pada pukul 16.00 hingga pukul 17.00 WIB, kata seorang perwira tinggi, Wiranto memerintahkan (kala itu) Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin agar mengirim pasukan untuk mengontrol aksi kerusuhan yang kian luas itu. Sjafrie benar-benar menurunkan pasukannya di jalan-jalan. Namun, ternyata dia tidak memberangkatkan atau menempatkan pasukannya di beberapa wilayah yang sebenarnya sangat membutuhkan.Bahkan, dia tidak memberikan perintah yang jelas kepada pasukannya itu.
kerusuhan :
Menurut sumber perwira tinggi itu, Sjafrie malah membuat pasukannya bingung. Mereka yang bermarkas di wilayah barat di Jakarta diperintahkan pergi mengamankan di wilayah timur, dan sebaliknya. Saat itulah Prabowo mendesak Wiranto agar memberinya izin menurunkan unit pasukan elite cadangan di ibu kota. Tetapi, Wiranto menolak.
Sekitar pukul 19.00 WIB, Wiranto melakukan inspeksi dengan Sjafrie. Saat itulah, Wiranto merasa tidak cocok terhadap tindakan yang dilakukan Sjafrie. Karena itu, Wiranto kemudian meminta Pangdam Diponegoro mengirim pasukan ke Jakarta.
Padahal, perjalanan menuju Jakarta butuh waktu sehari penuh. Prabowo dan perwira-perwira yang loyal kepadanya, seperti Syafrie, masih bisa mengontrol sebagian besar wilayah Jakarta sebelum kehadiran pasukan dari Jawa Tengah. Sumber-sumber intern mengatakan, Wiranto memang sengaja tidak menurunkan sejumlah pasukan yang loyal kepadanya karena cemas akan terjadi bentrokan bersenjata dengan pasukan Prabowo.*
Kerusuhan di Jakarta pada 13 Mei 1998 itu benar-benar mencekam. Pengendalian huru-hara itu pun terkesan tidak terpadu sehingga membuka pintu bagi aksi-aksi lain di wilayah ibu kota. Jakarta merana, merah padam disulut api oleh orang-orang kalap.
Ketika aksi perkosaan dan penjarahan masih berlangsung, Prabowo sedang berada di markas Kostrad. Di sana, menantu Soeharto itu sedang menerima utusan kelompok pemuda dan organisasi muslim. Menurut seseorang yang ada di tempat itu, Prabowo meminta mereka membantu menenangkan situasi dengan memberikan dukungan kepada Sjafrie.
Prabowo memang tegang, kata orang dekatnya, namun tampak masih bisa mengendalikan diri. Mereka memesan makanan dan santap malam bersama. Karena situasi masih kacau, pesanan makanan itu pun harus diambil dengan kendaraan bersenjata.
Sekitar pukul 01.00 WIB (15 Mei), Prabowo mengunjungi Ketua Umum PB NU KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di kediamannya. Lalu, Prabowo kembali ke markas Kostrad, yang ternyata kemudian hanya memberinya kesempatan bertahan sebagai panglima Kostrad di sana cuma hingga sepekan berikutnya.
15-19 MEI: Selama empat hari berikutnya, aksi kekerasan dan berbagai drama pilu itu masih menghantui jalanan. Pukul 04.40 WIB pada 15 Mei, Soeharto tiba dari Kairo, Mesir, dan mendarat di landasan militer Halim di kawasan Jakarta Timur. Konvoi yang terdiri atas 100 kendaraan bersenjata mengawal Soeharto menuju kediamannya di Cendana. Setelah itu, tank-tank Scorpion pertama dan beberapa batalion pasukan bergerak memasuki pusat kota.
______________________________
Di tengah kebisuan Jakarta itu, satuan pemadam kebakaran mulai beraksi memadamkan toko-toko dan bangunan-bangunan yang masih mengeluarkan asap. Seketika itu pula, mayat-mayat sudah bisa dihitung. Tapi, masih banyak yang belum terbilang. Para ayah sibuk mencari anaknya. Ibu-ibu berbondong ke rumah sakit untuk mengenali jasad-jasad, yang mungkin di antara mereka ada jasad suaminya. Sungguh sayang. Mayat-mayat itu tidak bisa lagi dikenali karena rusak terbakar. Akhirnya, korban-korban aksi kekerasan Mei ini dikubur masal.
Paramedis dari tim relawan untuk kemanusiaan berhasil menolong seorang lelaki yang terluka parah di luar markas militer, di kawasan Jakarta Timur. Lelaki itu kemudian dibawa paramedis tersebut ke posnya. Luka di kepala lelaki itu diobati. Di sana, kata Romo Sandyawan, salah seorang pendiri tim relawan tersebut, bahwa lelaki itu mengakui bahwa dia telah direkrut dan dilatih bagaimana memancing kerusuhan.
Menurut lelaki itu, mula-mula dia menerima uang muka 2 dolar AS (perhitungan kurs rupiah saat itu sekitar Rp 35 ribu) dan diangkut ke Jatinegara oleh beberapa lelaki yang sulit dikenali.
Lelaki ini juga berkata, dia direkrut dalam rombongan beranggota delapan orang dari Jawa Barat. Setelah dilatih, dia diberi batu dan bom molotov dari bensin. Menurut dia, dalam rombongan beranggota delapan orang tadi, mungkin dialah satu-satunya yang bertahan hidup akibat kerusuhan.
Romo Sandyawan menuturkan, pemuda dari Jawa Barat itu diasramakan dan dibrifing selama dua pekan di markas militer di pinggiran selatan Jakarta. Romo Sandyawan mengaku percaya pada penuturan pemuda itu, tetapi belum bisa menjamin penuh akurasinya karena pemuda tadi mengalami cedera syaraf.
Eksodus warga asing terus berlangsung. Ribuan WNI keturunan Tionghoa dan warga asing lain bertolak lewat jalur udara. Jalur air juga tak haram, yang penting cepat keluar dari Jakarta. Pukul 05.00 WIB pada 17 Mei, seorang wanita asing dan bayi perempuannya dikawal menuju bandara dengan perlindungan diplomatik.
Di setiap ujung jalan, sopir selalu memberikan sinyal yang sudah disepakati. Dan, serdadu yang bersembunyi di balik barikadenya membiarkan mobil itu lewat. Beberapa orang yakin bahwa pasukan-pasukan itu pasti sudah diberi tahu agar tidak berdiri dan tampak dalam keadaan siaga penuh. Sebab, para komandannya tentu cemas akan terjadi serangan yang mungkin dari pasukan lain.
Pukul 10.00 WIB, pada 17 Mei, Prabowo mengunjungi rumah Hery Hartanto, mahasiswa Trisakti yang gugur ditembak pada aksi demo 12 Mei. Ketika orang tua Hery menatapnya, Prabowo mengangkat Alquran ke atas kepalanya dan bersumpah bahwa dirinya tidak memerintahkan pembunuhan di Trisakti itu. Ayah almarhum Hery, Sjahrir Muljo Utomo, yang juga seorang purnawirawan mengaku tak tahu pasti: percaya atau tidak mempercayai sumpah Prabowo itu.
Ketika warga Jakarta mulai bersih-bersih, sekutu-sekutu Soeharto mulai kelimpungan mencari jalan menyelamatkan muka. Mereka pun berusaha meyakinkan Soeharto agar mundur. Para ketua parlemen (DPR) mulai berani bicara soal penyimpangan penguasa, tetapi meminta Soeharto mundur dengan jalan mereka adalah tidak konstitusional. Hal yang bisa mengancam munculnya konfrontasi antara militer dan parlemen.
Ketika tanda-tanda “pertentangan” itu dicemaskan terjadi, ketegangan muncul juga antara militer dan mahasiswa yang sudah merencanakan menggelar aksi masal sejuta orang pada 20 Mei. Wiranto memantapkan diri mendukung Soeharto. Namun, Wiranto juga meminta Soeharto membentuk kabinet baru dan melaksanakan reformasi.
Sementara itu, mahasiswa yang sudah makin berani setelah melihat Soeharto kian tak berdaya memutuskan siap menggelar aksi ke tempat yang telah memberikan amanah kepada Soeharto itu, apalagi kalau bukan gedung DPR/MPR. Mahasiswa demonstran gelombang pertama tiba diangkut kendaraan militer pada 19 Mei pagi hari. Mereka memakai jaket almamater dan menunjukkan identitas ketika melintasi pintu gerbang gedung wakil rakyat itu.
Pukul 11.00 WIB, tidak seperti biasanya, Soeharto muncul di layar televisi nasional. Membaca naskah, sosok yang sudah 32 tahun memerintah Indonesia itu bersumpah siap meninggalkan kantor sesegera mungkin. Dia juga menjanjikan pemilihan umum baru dengan undang-undang yang baru pula untuk mengisi keanggotaan parlemen. Saat itu pula, Soeharto berjanji bahwa antara dia dan Habibie (saat itu Wapres) tidak akan mencalonkan diri untuk periode jabatan berikutnya.
Untuk mewujudkan semua rencana itu, Soeharto akan membentuk sebuah dewan yang merumuskan arah reformasi politik. Tetapi, mahasiswa yang sudah menduduki parlemen bersumpah tidak akan pergi, kecuali bila Soeharto mau mundur. Malam itu, sekitar 3.000 mahasiswa tetap bertahan di area DPR/MPR. Mereka tidur di tenda-tenda atau di atas tikar plastik. Para penyokong aksi mahasiswa ini, yang umumnya kalangan menengah, memberikan dukungan berupa makanan dan air kemasan.
Malam itu, menurut orang-orang dekatnya, Habibie menelepon Soeharto. Habibie mengungkapkan kecemasannya bahwa karier politik Pak Harto akan berakhir prematur pada esok hari yang sudah menjelang. Tetapi, Soeharto berjanji akan melaksanakan pemilu daripada menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden seperti Habibie.
Habibie, kata koleganya, sangat terluka. Dia yakin Soeharto tidak akan lama bertahan. Itulah satu-satunya pilihan saat itu. Sebab, cara-cara lain tampaknya sudah tidak rasional.
20-21 MEI: Beberapa jam menjelang fajar, Jakarta tampak sebagai kota di bawah pendudukan. Ratusan tentara bersenjata senapan laras dan tank-tank ringan serta personel artileri melakukan patroli di ibu kota. Jalan-jalan menuju Monumen Nasional (Monas), tempat yang sudah diplot sebagai venue aksi sejuta massa pada 20 Mei, sudah diblokade dengan kawat berduri dan artileri berat. Tidak ada jalan lain, aksi masal itu pun dibatalkan.
Sore itu, Wiranto menyarankan kepada Soeharto bahwa satu-satunya cara konstitusional transfer kekuasaan adalah menyerahkan jabatan presiden itu kepada Wapres Habibie. Wiranto kemudian mengajukan tiga tuntutan kepada Habibie. Yakni, dia tetap sebagai panglima ABRI, lalu Habibie harus komitmen terhadap reformasi, serta jabatan Prabowo harus diganti.
Tapi, kata sahabat dekatnya, Habibie sudah sekian lama mengenal Prabowo. Mereka berdua tinggal cukup lama di luar negeri. Mereka saling berbagi kepentingan dalam memajukan kepentingan muslim. Pendeknya, satu sama lain saling membutuhkan. Prabowo-lah yang banyak membantu Habibie bersahabat dengan para perwira senior.
Katakanlah, lanjut sumber tadi, dalam pekan genting itu Prabowo dan Habibie bekerja sama membujuk Soeharto agar mundur. Sebagai imbalan, Habibie siap memberi Prabowo jabatan kepala staf Angkatan Darat (KSAD).
Pukul 09.00 WIB pada 21 Mei, lewat siaran televisi nasional, Soeharto mengumumkan lengser keprabon. Setelah tiga dasawarsa lebih memerintah Indonesia, dia meminta maaf kepada rakyat atas segala kesalahan dan kekurangan. Dan, Habibie tampak ragu-ragu sebelum diambil sumpahnya sebagai presiden ketiga sejak Indonesia merdeka.
Hampir tengah malam setelah pengunduran Soeharto, Prabowo muncul di Istana Kepresidenan dengan pasukan siap tempur. Berbekal pistol otomatis dan beberapa truk pasukan Kostrad yang sudah menanggalkan tanda resimennya, Prabowo menagih jabatan KSAD yang sudah dijanjikan Habibie.
Saat itulah pengawal Habibie memanggil Wiranto dan Feisal Tanjung, mantan Pangab, ke istana. Feisal mengingatkan Habibie bahwa Prabowo adalah sosok yang terlalu bahaya bila harus memimpin AD. Kepada orang, Habibie kemudian hanya bisa berkata bahwa malam itu dia memang takut akan keselamatan nyawanya
___________________________________
EPILOG
Habibie mengumumkan kabinetnya di 10:30 pada 22 Mei. Mahasiswa masih menduduki Gedung DPR, menuntut agar ia mengundurkan diri. Beberapa ribu anggota organisasi pemuda Muslim, pendukung Habibie dan dilindungi oleh pasukan Prabowo, tiba di kompleks sore itu. dan dilindungi oleh pasukan Prabowo, tiba di kompleks sore itu. Konfrontasi itu tegang, tapi tidak berubah menjadi liar. Tengah malam, tentara berhasil menguasai kembali Gedung DPR.
Militer mengumumkan pada 6 Juni bahwa mereka memecat dua komandan polisi dari Brimob yang tidak mematuhi perintah dan tidak mengendalikan pasukan mereka di Trisakti. Mereka menghadapi hukuman maksimum 28 bulan penjara. Lima belas tersangka lainnya menunggu pengadilan militer.
Kemudian Kapolri Jenderal Dibyo Widodo, membantah tuduhan pasukannya bertanggung jawab atas kematian empat siswa. Dia mengatakan pada 7 Juni: “Kami telah memeriksa dengan setiap perwira yang ditugaskan di sana dan memastikan bahwa tidak ada anggota kami menggunakan peluru tajam.”
Pada tanggal 24 Juni Wiranto memindahkannya, bersama dengan komandan militer, menyebutnya sebagai rotasi rutin. Orang dalam kepolisian mengatakan Kapolri kehilangan jabatannya karena ia menolak dituduh bertanggung jawab atas penembakan Tri Sakti. Setelah bertemu dengan empat orang tua mahasiswa Trisakti yang ditembak tsb selama 30 menit tanggal 22 Juni, Habibie menyebut almarhum sebagai “pahlawan reformasi.”
Di Mabes Polri, tiga mahasiswa Trisakti dan sekuriti resmi menjaga peluru yang diambil dari tubuh Hery Hartanto tanggal 7 Juni. Saat peluru diambil dari kotak besi untuk tes, tim merekam video, dan memberi tanda-tanda untuk memastikan peluru tersebut tidak ditukar kelak. Polisi berjanji untuk tidak membuka kotak besi tanpa perwakilan universitas di sana.
Secara teoritis memang mungkin untuk mengidentifikasi senapan yang digunakan saat menembakkan peluru yang menewaskan Hartanto.
Tapi dalam prakteknya mungkin tidak. Militer Indonesia memiliki lebih dari 2.000 senapan Steyr (senjata yang telah digunakan dalam pembunuhan) dan Militer menolak penyelidikan terbuka. Lagi pula sangat mungkin untuk membeli Steyrs di pasar gelap.
Pihak berwenang telah menyita 21 senjata dari petugas yang bertugas tanggal 12 Mei tetapi belum menyerahkannya kepada penyidik.
Adnan Buyung Nasution, pengacara ternama dan seorang aktivis hak asasi manusia terkemuka, mengatakan: “Terlalu dini untuk membuat kesimpulan tentang siapa yang bertanggung jawab, dan militer telah berusaha membatasi penyelidikan.” Dia mengatakan, berulang kali, bahwa persidangan telah “direkayasa.”
Hakim militer erat mempertanyakan kesaksian terdakwa, tapi saksi untuk penuntut jarang dilakukan. Ketidaksenangan hakim militer thd Buyung jelas.
Ada kejadian dimana keduanya berteriak satu sama lain di pengadilan, memaksa penjaga keamanan di sekitar ruangan ikut melerai. Dan lebih dari sekali hakim mengancam akan mengusir Buyung dari persidangan.
Pada tanggal 28 Mei, saat Prabowo ditugaskan sebagai pimpinan sekolah tentara di Bandung, ia mengatakan tuduhan laporan bahwa ia mencoba kudeta itu adalah “sampah, sampah, sampah.”
Tetapi seorang perwira senior militer mengatakan Suharto menolak untuk berbicara dengan Prabowo, bahkan ketika Prabowo mengunjungi ayah mertuanya pada tanggal 8 Juni, ulang tahun ke-77 Soeharto.
Syafrie mengaku pada 13 Juni bahwa di Jakarta, beberapa kerusuhan itu “secara sporadis diorganisir” oleh kelompok.
Syafrie, sebagai komandan militer di Jakarta saat kerusuhan, yang juga sekutu Prabowo, dipindahkan 24 Juni, setelah menjabat selama delapan bulan.
Kepolisian Jakarta telah memanggil mantan narapidana dan preman Tionghoa yang beralih menjadi pendakwah Islam untuk ditanyai tentang perannya dalam kerusuhan itu.
Anton Medan berada di jalanan Jakarta 14 Mei, dia mengatakan ada di jalan untuk mencegah orang berbuat kekerasan, katanya. Sebuah sumber yang dekat dengan militer yakin Anton pernah ditawari uang untuk mengirim pengikutnya untuk membuat rusuh, tapi ia menolak.
Sebab itu, menurut sumber tsb, itulah mengapa seseorang mengkambing hitamkan Anton Medan kepada pihak berwenang. Sejauh ini, dia adalah satu-satunya tersangka yang diserahkan pihak militer.
Angkatan bersenjata melakukan investigasi sendiri dan mengatakan tidak menemukan bukti perkosaan dan tidak ada korban pemerkosaan yang muncul menjadi saksi.
Menteri Negara Urusan Wanita Tutty Alawiyah juga pada awalnya membantah bahwa perempuan diperkosa saat kerusuhan.
Tapi pada tanggal 8 Juli ia membentuk tim wanita untuk membantu korban yang dilecehkan.
Clementino dos Reis Amaral, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, tanggal 9 Juli memperingatkan adanya upaya menutup kasus ini dan beberapa korban pemerkosaan telah diperingatkan untuk tutup mulut.
Komisi itu telah menyerukan penyelidikan independen atas kerusuhan penembakan dan pemerkosaan dan permintaan maaf resmi dari pemerintah.
Pada tanggal 13 Juli, Habibie membentuk tim untuk menyelidiki kerusuhan, yang termasuk Wiranto, Jaksa Agung dan , foreign and justice ministers .
Keesokan harinya, Kepala Kepolisian Militer Mayjen. Syamsu Djalal mengatakan tujuh tentara Kopassus telah ditangkap atas penculikan aktivis prodemokrasi diculik awal tahun ini.
Pada tanggal 15 Juli Habibie mengutuk kekerasan Mei.
Sebuah sumber yang dekat dengan militer mengatakan bahwa, pada awal Juli, 74 prajurit Kopassus menghilang dari barak mereka.
Sumber tersebut yakin 74 prajurit tsb berada di jalanan Jakarta, mengumpulkan informasi dan menutupi jejak mereka.
Dua aktivis hak asasi manusia, Pastor Sandyawan dan Ita Nadia, telah diperingatkan (dengan ancaman granat hidup) untuk mengakhiri penyelidikan mereka ke dalam kerusuhan dan perkosaan.
T A M A T REPORTASE DARI ASIAWEEKS
SUMBER BERITA
ASIAWEEK INVESTIGATION 24 Juli 1998
TEN DAYS THAT SHOOK INDONESIA
Sepuluh Hari Yang Mengguncang Indonesia
BY SUSAN BERFIELD AND DEWI LOVEARD
_________________________________________________________
MULANYA, 4 PERWIRA POLISI HILANG MISTERIUS
Bulan Mei 1998, sejarah dunia mencatat gejolak di Indonesia. Gejolak yang berujung pada jatuhnya Presiden Soeharto. Aksi kerusuhan massa, penjarahan, dan pemerkosaan juga berlangsung dengan brutal. Reformasi terus bergulir, namun pemicu kerusuhan yang sebenarnya masih bersembunyi di balik debu.
Laporan investigasi Susan Berfield dan Dewi Loveard dari Asiaweek mengungkap, kerusuhan itu memang ada yang mendalangi. Keduanya menyimpulkan, kerusuhan itu adalah hasil sebuah aksi yang terencana rapi. Berikut intisarinya.
SEPULUH hari yang mengoyak Indonesia. Begitu majalah berita terkemuka di Asia itu menyebut huru-hara yang menimpa Indonesia selama Mei lalu. Kisah ini dimulai bergeraknya jarum jam pada 12 Mei. Jarum jam itu berhenti ketika 4 mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, ditembak mati oleh oknum aparat keamanan.
Dalam tempo 24 jam, insiden penembakan itu membakar amarah massa. Di tengah situasi itu pula, sebuah program anti-Cina dilancarkan. Api pun melahap Jakarta. Warga keturunan Tionghoa berlarian meninggalkan ibu kota. Jakarta tidak ubahnya sebuah zona perang. Ujung-ujungnya, Presiden Soeharto pun dipaksa mundur. Tetapi, arah nasib bangsa ini pun belum jelas.
Sampai detik terjadinya kerusuhan batu merajam bangunan mewah dan api melahap mobil-mobil, rakyat semula banyak mengira itu sebuah spontanitas massa. Massa yang marah terhadap penguasa yang terlalu lama memerintah. Tetapi, apakah bangsa ini sudah sedemikian brutal?
Sejarah Indonesia memang beberapa kali mencatat noda hitam aksi kekerasan. Namun, siapa penggeraknya, hampir tidak pernah diidentifikasi secara jelas. Itulah sosok-sosok pemimpin bayangan. Siapa mereka, tidak seorang pun berani membuka mulut. Sebab, mereka adalah orang-orang superkuat, yang hukum pun seolah anti menjamahnya.
Kali ini, insiden Trisakti itu memberikan gambaran riil. Dua orang oknum polisi diajukan ke pengadilan militer sebagai pesakitan. Tetapi, benarkah mereka pelakunya? Jujur saja, sebagian rakyat Indonesia percaya bahwa para terdakwa itu hanya kambing hitam. Pengadilan militer itu hanya bagian sebuah upaya melindungi kepentingan militer yang lebih besar.
Hasil investigasi sebulan penuh Asiaweek termasuk wawancara dengan beberapa perwira militer, pengacara, aktivis hak asasi manusia (HAM), para korban, dan saksi mata menyimpulkan, penembakan Trisakti, kerusuhan, penjarahan, dan aksi pemerkosaan terhadap para wanita Tionghoa benar-benar sudah direncanakan.
Di antara bukti yang didapat selama investigasi itu adalah hilangnya empat perwira polisi lengkap dengan seragamnya beberapa hari sebelum penembakan itu terjadi. Lagi pula, peluru yang diambil dari tubuh korban Trisakti itu bukanlah peluru resmi milik kepolisian.
Belum cukup di situ. Bukti lain menyatakan bahwa dua orang lelaki, yang kini dalam persembunyian, mengakui bahwa mereka sengaja direkrut untuk memancing kerusuhan. Bahkan, sumber-sumber militer mengatakan bahwa untuk kali pertama mereka berhasil menyadap arus komunikasi beberapa markas AD di Jakarta dengan kelompok-kelompok provokator pada 14 Mei lalu.
Pertanyaannya, bila kerusuhan itu sengaja digerakkan, tentu pasti ada dalangnya. Identitas si dalang ini memang tidak pernah gamblang. Namun, salah seorang yang disebut-sebut terkait dengan serangkaian aksi kerusuhan itu adalah menantu Soeharto, Letjen TNI Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat Pangkostrad. Bahkan, beberapa kalangan menilai, keterlibatan Prabowo itu sudah kelewat jelas. Namun, Fadli Zon ,aktivis muslim yang dekat dengan Prabowo, menilai, sang letjen itu hanyalah korban pembunuhan karakter.
Beberapa hari setelah kerusuhan itu, Prabowo menyangkal terlibat dalam kerusuhan itu. Lewat perantaranya, Juni lalu dia menyatakan siap diwawancarai Asiaweek. Tetapi, sampai kini janji wawancara itu belum pernah terwujud.
Mengapa harus Prabowo? Banyak alasan yang mendukung tudingan itu. Prabowo sudah luas dikenal sebagai sosok ambisius. Dia memiliki berbagai sarana untuk menyulut kerusuhan itu. Dengan posisinya, dia juga mampu memerintahkan beberapa pemuda yang tak berdaya melawan perintah, termasuk beberapa oknum dari organisasi paramiliter yang dikenal jago menyulut kerusuhan.
Para preman, gangster, oknum paramiliter, dan beberapa perkumpulan pemuda melaksanakan saja apa yang dia perintahkan. Beberapa di antaranya, seperti Pemuda Pancasila, memang sudah mapan. Sumber-sumber militer mencurigai bahwa keterlibatan organisasi lain dalam kerusuhan di Jakarta itu tidak lebih dari sebuah jaringan lokal yang dikepalai para preman yang direkrut dari berbagai provinsi untuk mengacau ibu kota.
Prabowo terobsesi keyakinannya bahwa satu-satunya cara bisa memerintah Indonesia adalah dengan tipu muslihat militer. Dengan cara itu, dia yakin bisa meraih kekuasaan seperti mertuanya meraih kekuasaan dari Soekarno, ujar salah seorang perwira militer senior. Dia menjelaskan, Prabowo sengaja menciptakan kerusuhan itu dengan harapan rivalnya, (saat itu) KSAD Jenderal TNI Wiranto, tidak mampu memulihkan keadaan.
Harapan Prabowo adalah Soeharto, yang ketika kerusuhan terjadi berada di Mesir, memberlakukan undang-undang darurat. Sebagai panglima Kostrad, satuan inti siap tempur, Prabowo sangat yakin dialah yang bisa mengendalikan situasi. Inilah teorinya.
Teori lain mengatakan, Prabowo sengaja menciptakan kerusuhan itu untuk menarik simpati Soeharto bahwa Prabowo mampu mengendalikan situasi yang tidak menentu. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Prabowo kehilangan pelindung sekaligus komandonya.
Negara Indonesia menanggung kerugian yang jauh lebih besar. Setidaknya 1.188 orang tewas, sekitar 468 wanita diperkosa, 40 mal dan 2.470 toko ludes dimakan api, serta tidak kurang dari 1.119 mobil dibakar atau dirusak.
Kerusuhan Mei 1998
Bagaimana sebenarnya peristiwa pilu ini terjadi? Mari kita telusuri sepuluh hari yang mencekam dan mengguncang ibu kota itu.
________________________________________________________________
DEMO TERBESAR MAHASISWA TRISAKTI
12 MEI: Sekitar pukul 10.30 WIB, mahasiswa mulai berkumpul di pelataran parkir di luar kampus Universitas Trisakti yang megah dengan bentuk M berlantai dua belas itu. Ini merupakan demo terbesar pertama yang dilaksanakan Trisakti. Mahasiswa yang ikut pun berasal dari bermacam golongan dan strata sosial. Ada anak-anak birokrat, pengusaha, diplomat, dan bahkan anak orang militer.
Areal parkir, biasanya dipenuhi Kijang, Toyota, dan Peugeot, siang yang panas itu benar-benar dijejali mahasiswa yang protes. Beberapa saat sebelum jarum jam menunjukkan pukul 11.00 WIB, bendera Merah Putih dikerek setengah tiang. Sementara itu, mahasiswa dan dosen menyanyikan lagu kebangsaan. Lalu, mereka mengheningkan cipta sesaat sebelum akhirnya berteriak meminta Soeharto mundur.
Pada pukul 12.30 WIB, sekitar 6.000 mahasiwa bergerak menuju jalan raya di sekitar kampus. Mereka bertekad melakukan long march menuju gedung DPR/MPR. Tiga wakil Trisakti –Dekan Fakultas Hukum Adi Andoyo Sutjipto, Kepala Satpam Kampus Arri Gunarsa, dan Ketua Senat Mahasiwa Julianto Hendro–melakukan negosiasi dengan aparat keamanan. Saat itu jarum jam sudah mendekati pukul 13.00 WIB.
Andi Andojo:
Perwakilan Trisakti itu meminta aparat mengizinkan mereka berjalan ke gedung wakil rakyat sejauh 5 km. Tetapi, permintaan itu tidak dikabulkan. Mahasiwa kecewa dan duduk-duduk sambil terus beraksi di jalanan. Julianto mengungkapkan penyesalannya karena keinginan bertemu wakil rakyat itu tidak terkabul.
Aksi mahasiswa masih bertahan. Orasi, lagu kebangsaan, dan pekik protes terus berlangsung meski hujan mengguyur. Beberapa demonstran malah dengan akrab meletakkan bunga di pelatuk senapan para polisi yang berdinas. Sampai akhirnya terdengarlah kabar dari Golkar, kelompok yang merajai di DPR, bahwa tidak seorang pun sanggup menerima mereka. Berdiri tegak di tengah polisi dan rekan-rekannya, Julianto menyeru kepada mahasiswa yang kecewa. Meski kecewa, janganlah menyulut aksi kekerasan.
SITUASI Trisakti pada 12 Mei sore memang tampak tenang. Setelah gagal menuju gedung DPR/MPR, mahasiswa yang kecewa siap tidak menyulut aksi keributan. Pukul 15.00 WIB, Adi Andoyo kembali ke kantornya. Setengah jam kemudian, asistennya menelepon bahwa polisi mengancam akan memakai kekuatan bila 200 lebih mahasiswa itu masih di jalanan menggelar aksi dan tidak mau kembali ke kampus.
Pukul 16.15, kesepakatan pun tercapai. Mahasiswa dan polisi perlahan-lahan meninggalkan garis batas lima meter. Sebagian besar mahasiswa kembali ke kampus. Yang lain masih rileks di jalanan atau berkerumun di sekitar penjaja makanan yang ada di tepi jalan. Ketua Senat Julianto Hendro tampak menenggak air kemasan.
Beberapa personel polisi juga memanfaatkan waktu dengan melepas ketegangan itu. Semuanya tampak tenang. Dan, Adi Andojo pun bertolak pulang. Seperempat jam kemudian, 16.30 WIB, seorang lelaki yang berdiri di tengah kerumunan mahasiswa berteriak agar para mahasiswa menghentikan protes.
Mahasiswa meneriaki lelaki itu sebagai agen intelijen dan mulai menggebukinya ketika dia berusaha lari sejauh 50 meter menuju garis polisi. Baru kemudian diketahui bahwa lelaki itu bernama Masud, mahasiwa Trisakti yang drop-out. Polisi maupun militer tidak mengklaim Masud adalah orangnya.
Karena Masud, suasana menjadi tegang kembali. Namun, Kepala Satpam Trisakti Arri Gunarsa dan Julianto mengingatkan rekan-rekannya agar tetap tenang dan kembali ke kampus. Pada pukul 16.45 WIB, seorang letkol polisi menghentikan perundingan. Mahasiswa diberi deadline 15 menit agar meninggalkan jalan raya. Sekitar 100 mahasiswa menolak seruan itu dan tetap berdiri di depan barikade polisi.
Menurut Julianto, tiga atau empat polisi berusaha menghalau mereka agar mundur. Memang, mahasiswa berusaha terus merangsek, meski tidak sampai melewati garis batas mereka sendiri. Polisi mengklaim mahasiswa kemudian menyulut kericuhan. Tetapi, para saksi mata mengatakan bahwa suasana sebenarnya mulai tenang.
Sekitar pukul 17.20 WIB, seseorang meletupkan senjata ke udara. Polisi pun membalas dengan melepaskan tembakan gas air mata, memukulkan tongkatnya, dan menembakkan senjata. Mahasiwa berlarian berlindung di gedung-gedung sekitarnya dan di bawah payung penjaja minuman di pinggir jalan. Tetapi, polisi terus memburu mahasiswa hingga ke pintu gerbang kampus. Cukup sampai di pintu gerbang itu saja. Tetapi, peluru-peluru terus melesat. Sebutir peluru karet menghantam punggung Julianto yang saat itu sudah di depan kantor senat.
Aparat Keamanan:
Menghadapi keadaan itu, dari dalam kampus, mahasiwa membalas dengan melemparkan botol dan batu ke arah polisi. Saat itu, mahasiwa yakin benar bahwa peluru yang diberondongkan kepada mereka adalah peluru karet. Mereka yakin bahwa polisi dan tentara pasti mengikuti prosedur dalam menangani aksi-aksi demonstrasi.
Itu terlihat jelas dalam satuan-satuan yang diturunkan untuk mengamankan aksi di Trisakti ini. Seperti pemakaian empat lapis kekuatan: polisi di depan dengan tameng, pelindung tubuh, dan pentungan; lapis kedua adalah polisi yang bersenjatakan gas air mata dan senapan stun (yang bisa membuat korban cuma pingsan); lapis ketiga adalah tentara dengan gas air mata dan senapan berpeluru karet; serta lapis keempat terdiri atas satuan khusus polisi dan tentara bersepeda motor yang bersenjatakan senapan air.
Pada hari itu, dua komandan polisi kemudian bersaksi bahwa personel sama sekali tidak memakai amunisi hidup, tetapi mereka membawa senapan laras Steyr AUG dan SS-1 yang diisi dengan peluru kosong dan 12 peluru karet, plus SS-1 yang masing-masing diisi lima gas kanister. Namun, “seseorang” benar-benar memakai peluru nyata.
Beberapa saksi mata mengatakan, polisi berkendaraan sepeda motor melesat di atas jembatan layang yang membentang paralel antara kampus Trisakti dan jalan tol. Mereka mengenakan seragam polisi Brigade Mobil (Brimob). Kemudian, kedua perwira militer mengatakan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahwa sepekan sebelum demonstrasi itu, empat anggota unit Brimob raib bersama seragamnya.
Siapa pun para lelaki di jembatan layang itu, mereka benar-benar jitu membidikkan peluru nyatanya. Pukul 17.30 hingga pukul 18.00 WIB, empat mahasiswa gugur tertembus peluru di kepala, leher, dada, dan punggung.
Sementara itu, sebagian besar korban luka masih berhadapan dengan polisi. Mereka berusaha membuka barikade dengan melempari polisi dengan batu. Korban gugur pertama Hendriawan Sie, 20 tahun, kemudian dilarikan Arri secepatnya ke RS Sumber Waras yang terdekat. Sayang, nyawa Hendriawan yang lehernya tertembus peluru saat berada di balik pintu gerbang kampus itu tidak tertolong. Darah terus mengucur dari lehernya. Dalam perjalanan menuju kampus itulah, dia gugur.
Elang Mulya Lesmana, 19 tahun, ditembak di dada dan langsung tewas di kampus. Hafidhin Royan, 21 tahun, ditembak di kepala dan meninggal di rumah sakit. Lalu, Hery Hartanto, 21 tahun, ditembak di punggung ketika dia berhenti berlari untuk membersihkan perih di matanya yang terkena gas. Dia meninggal di kampus itu.
Pahlawan Reformasi:
Menurut kepolisian dan seorang sumber yang dekat dengan militer, peluru yang dipakai membunuh empat mahasiwa itu jenis 5,56 mm MU5 yang dilesatkan dari senapan laras Steyr AUG. Padahal, aparat polisi yang diterjunkan untuk mengamankan demo Trisakti itu dibekali MU4.
Hasil yang menguatkan polisi tidak terlibat dalam insiden pembunuhan itu tidak lain berupa bukti peluru yang diambil dari jasad Hery pada 7 Juni lalu. Satu-satunya bukti kuat bahwa polisi memang tidak terlibat.
Empat nyawa sudah melayang. Tetapi, mahasiwa masih mendengar tembakan sporadis pada pukul 18.00 hingga pukul 19.00 WIB. Beberapa saat kemudian, korban terakhir bernama Sofyan Rachman ambruk ke tanah. Hingga sekarang, Sofyan masih berada dalam perawatan intensif untuk memulihan luka di dada yang juga menggores ginjalnya.
Pukul 20.00 WIB, Intan, mahasiswi fakultas hukum, keluar dari kampus dengan mengenakan pakaian putih. Dia berteriak kepada polisi bahwa orang-orang di dalam kampus butuh pertolongan medis. Setelah itu, tembakan pun berhenti. Seketika itu pula, 35 orang terluka dilarikan ke rumah sakit, meski sebelumnya polisi menolak memberikan jaminan keamanan ambulans yang membawa para korban itu.
Selain itu, kata Arri, komandan polisi telah memberi tahu dia bahwa luka-luka mahasiswa tersebut tidak mengancam nyawa. Sebab, peluru yang dipakai terbuat dari karet.
Beberapa saat setelah penembakan Trisakti itu, kawasan etnis Tionghoa di Sunter dalam keadaan siaga. Malam itu, Imam Suyitno warga sipil yang sudah dilatih meminta bala bantuan tentara dalam keadaan darurat diperintahkan mengorganisasi pemantauan keamanan. Dia berdiri mengawasi keadaan di pintu gerbang pusat perbelanjaan di kawasan itu bersama rekan-rekannya.
Malam itu, mereka melihat sebuah truk AD yang berhenti di belakang supermarket. Sekitar 20 orang lelaki berpenampilan serem (garang) turun dari truk itu. Tetapi, kata Imam, sebelum turun, wajah-wajah sangar itu menerima sesuatu dari seorang lelaki. Lelaki ini kemudian lenyap ditelan kegelapan malam.
13 MEI: Pukul 09.15 WIB, ribuan mahasiswa menghadiri upacara belasungkawa di Trisakti. Sebuah tenda plastik bernoda darah berdiri di atas jalan setapak dekat Gedung M. Bendera berkibar setengah tiang. Di sana hampir semua tokoh pengkritik pemerintah hadir memberikan orasi. Kaum selebriti politik Indonesia mengatakan, era baru segera datang. Setelah itu, kata saksi mata, keadaan berubah cepat.
Suasana Berkabung:
Kerumunan massa yang ditolak masuk dan semula di depan pintu gerbang kampus kini mulai meruah dan melakukan keributan di jalanan. Mencium gelagat brutal itu, mahasiswa yang di lingkungan kampus bertekat tidak akan beranjak keluar menuruti seruan bergabung massa di luar. Massa pun mulai kalap. Mereka menghitamarangkan mobil-mobil yang diparkir dekat Mal Citraland. Dua boks gerbang pembayaran tol disulut api. Kerusuhan meluas di wilayah Jakarta Barat, lalu terus meluas.
Ketika asap membumbung dari bangunan-bangunan Jakarta, pengacara kesohor Adnan Buyung Nasution dan Ketua YLBHI Bambang Widjoyanto menemui Prabowo di markas Kostrad. Mereka bicara selama 30 menit. Di hadapan Prabowo, Buyung dan Bambang menanyakan keterlibatan menantu Soeharto itu dalam insiden penculikan beberapa aktivis politik.
Pengacara Adnan Buyung Nasution dan Ketua YLBHI Bambang Widjoyanto:
Buyung dan Bambang merasa perlu menanyakan hal itu didasari pikiran bahwa adanya konflik antara Prabowo dan Wiranto. Di hadapan dua praktisi hukum senior itu, Prabowo bersumpah tidak tahu-menahu soal penculikan para aktivis tersebut. Prabowo juga menolak dugaan bahwa dia berseteru dengan Wiranto.
Kerusuhan terus meluas di luaran. Pada pukul 16.00 hingga pukul 17.00 WIB, kata seorang perwira tinggi, Wiranto memerintahkan (kala itu) Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin agar mengirim pasukan untuk mengontrol aksi kerusuhan yang kian luas itu. Sjafrie benar-benar menurunkan pasukannya di jalan-jalan. Namun, ternyata dia tidak memberangkatkan atau menempatkan pasukannya di beberapa wilayah yang sebenarnya sangat membutuhkan.Bahkan, dia tidak memberikan perintah yang jelas kepada pasukannya itu.
kerusuhan :
Menurut sumber perwira tinggi itu, Sjafrie malah membuat pasukannya bingung. Mereka yang bermarkas di wilayah barat di Jakarta diperintahkan pergi mengamankan di wilayah timur, dan sebaliknya. Saat itulah Prabowo mendesak Wiranto agar memberinya izin menurunkan unit pasukan elite cadangan di ibu kota. Tetapi, Wiranto menolak.
Sekitar pukul 19.00 WIB, Wiranto melakukan inspeksi dengan Sjafrie. Saat itulah, Wiranto merasa tidak cocok terhadap tindakan yang dilakukan Sjafrie. Karena itu, Wiranto kemudian meminta Pangdam Diponegoro mengirim pasukan ke Jakarta.
Padahal, perjalanan menuju Jakarta butuh waktu sehari penuh. Prabowo dan perwira-perwira yang loyal kepadanya, seperti Syafrie, masih bisa mengontrol sebagian besar wilayah Jakarta sebelum kehadiran pasukan dari Jawa Tengah. Sumber-sumber intern mengatakan, Wiranto memang sengaja tidak menurunkan sejumlah pasukan yang loyal kepadanya karena cemas akan terjadi bentrokan bersenjata dengan pasukan Prabowo.*
Kerusuhan di Jakarta pada 13 Mei 1998 itu benar-benar mencekam. Pengendalian huru-hara itu pun terkesan tidak terpadu sehingga membuka pintu bagi aksi-aksi lain di wilayah ibu kota. Jakarta merana, merah padam disulut api oleh orang-orang kalap.
Ketika aksi perkosaan dan penjarahan masih berlangsung, Prabowo sedang berada di markas Kostrad. Di sana, menantu Soeharto itu sedang menerima utusan kelompok pemuda dan organisasi muslim. Menurut seseorang yang ada di tempat itu, Prabowo meminta mereka membantu menenangkan situasi dengan memberikan dukungan kepada Sjafrie.
Prabowo memang tegang, kata orang dekatnya, namun tampak masih bisa mengendalikan diri. Mereka memesan makanan dan santap malam bersama. Karena situasi masih kacau, pesanan makanan itu pun harus diambil dengan kendaraan bersenjata.
Sekitar pukul 01.00 WIB (15 Mei), Prabowo mengunjungi Ketua Umum PB NU KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di kediamannya. Lalu, Prabowo kembali ke markas Kostrad, yang ternyata kemudian hanya memberinya kesempatan bertahan sebagai panglima Kostrad di sana cuma hingga sepekan berikutnya.
15-19 MEI: Selama empat hari berikutnya, aksi kekerasan dan berbagai drama pilu itu masih menghantui jalanan. Pukul 04.40 WIB pada 15 Mei, Soeharto tiba dari Kairo, Mesir, dan mendarat di landasan militer Halim di kawasan Jakarta Timur. Konvoi yang terdiri atas 100 kendaraan bersenjata mengawal Soeharto menuju kediamannya di Cendana. Setelah itu, tank-tank Scorpion pertama dan beberapa batalion pasukan bergerak memasuki pusat kota.
______________________________
LENGSERNYA PRESIDEN RI SUHARTO
Jalanan masih dihiasi pecahan kaca, mobil-mobil yang sudah jadi rongsokan arang, televisi yang porak-poranda, dan puing-puing barang yang sebelumnya begitu berharga. Bank, pusat perkantoran, gedung pemerintahan, dan sekolah-sekolah tutup. Hanya bandara internasional yang tetap melaksanakan aktivitas.Di tengah kebisuan Jakarta itu, satuan pemadam kebakaran mulai beraksi memadamkan toko-toko dan bangunan-bangunan yang masih mengeluarkan asap. Seketika itu pula, mayat-mayat sudah bisa dihitung. Tapi, masih banyak yang belum terbilang. Para ayah sibuk mencari anaknya. Ibu-ibu berbondong ke rumah sakit untuk mengenali jasad-jasad, yang mungkin di antara mereka ada jasad suaminya. Sungguh sayang. Mayat-mayat itu tidak bisa lagi dikenali karena rusak terbakar. Akhirnya, korban-korban aksi kekerasan Mei ini dikubur masal.
Paramedis dari tim relawan untuk kemanusiaan berhasil menolong seorang lelaki yang terluka parah di luar markas militer, di kawasan Jakarta Timur. Lelaki itu kemudian dibawa paramedis tersebut ke posnya. Luka di kepala lelaki itu diobati. Di sana, kata Romo Sandyawan, salah seorang pendiri tim relawan tersebut, bahwa lelaki itu mengakui bahwa dia telah direkrut dan dilatih bagaimana memancing kerusuhan.
Menurut lelaki itu, mula-mula dia menerima uang muka 2 dolar AS (perhitungan kurs rupiah saat itu sekitar Rp 35 ribu) dan diangkut ke Jatinegara oleh beberapa lelaki yang sulit dikenali.
Lelaki ini juga berkata, dia direkrut dalam rombongan beranggota delapan orang dari Jawa Barat. Setelah dilatih, dia diberi batu dan bom molotov dari bensin. Menurut dia, dalam rombongan beranggota delapan orang tadi, mungkin dialah satu-satunya yang bertahan hidup akibat kerusuhan.
Romo Sandyawan menuturkan, pemuda dari Jawa Barat itu diasramakan dan dibrifing selama dua pekan di markas militer di pinggiran selatan Jakarta. Romo Sandyawan mengaku percaya pada penuturan pemuda itu, tetapi belum bisa menjamin penuh akurasinya karena pemuda tadi mengalami cedera syaraf.
Eksodus warga asing terus berlangsung. Ribuan WNI keturunan Tionghoa dan warga asing lain bertolak lewat jalur udara. Jalur air juga tak haram, yang penting cepat keluar dari Jakarta. Pukul 05.00 WIB pada 17 Mei, seorang wanita asing dan bayi perempuannya dikawal menuju bandara dengan perlindungan diplomatik.
Di setiap ujung jalan, sopir selalu memberikan sinyal yang sudah disepakati. Dan, serdadu yang bersembunyi di balik barikadenya membiarkan mobil itu lewat. Beberapa orang yakin bahwa pasukan-pasukan itu pasti sudah diberi tahu agar tidak berdiri dan tampak dalam keadaan siaga penuh. Sebab, para komandannya tentu cemas akan terjadi serangan yang mungkin dari pasukan lain.
Pukul 10.00 WIB, pada 17 Mei, Prabowo mengunjungi rumah Hery Hartanto, mahasiswa Trisakti yang gugur ditembak pada aksi demo 12 Mei. Ketika orang tua Hery menatapnya, Prabowo mengangkat Alquran ke atas kepalanya dan bersumpah bahwa dirinya tidak memerintahkan pembunuhan di Trisakti itu. Ayah almarhum Hery, Sjahrir Muljo Utomo, yang juga seorang purnawirawan mengaku tak tahu pasti: percaya atau tidak mempercayai sumpah Prabowo itu.
Ketika warga Jakarta mulai bersih-bersih, sekutu-sekutu Soeharto mulai kelimpungan mencari jalan menyelamatkan muka. Mereka pun berusaha meyakinkan Soeharto agar mundur. Para ketua parlemen (DPR) mulai berani bicara soal penyimpangan penguasa, tetapi meminta Soeharto mundur dengan jalan mereka adalah tidak konstitusional. Hal yang bisa mengancam munculnya konfrontasi antara militer dan parlemen.
Ketika tanda-tanda “pertentangan” itu dicemaskan terjadi, ketegangan muncul juga antara militer dan mahasiswa yang sudah merencanakan menggelar aksi masal sejuta orang pada 20 Mei. Wiranto memantapkan diri mendukung Soeharto. Namun, Wiranto juga meminta Soeharto membentuk kabinet baru dan melaksanakan reformasi.
Sementara itu, mahasiswa yang sudah makin berani setelah melihat Soeharto kian tak berdaya memutuskan siap menggelar aksi ke tempat yang telah memberikan amanah kepada Soeharto itu, apalagi kalau bukan gedung DPR/MPR. Mahasiswa demonstran gelombang pertama tiba diangkut kendaraan militer pada 19 Mei pagi hari. Mereka memakai jaket almamater dan menunjukkan identitas ketika melintasi pintu gerbang gedung wakil rakyat itu.
Pukul 11.00 WIB, tidak seperti biasanya, Soeharto muncul di layar televisi nasional. Membaca naskah, sosok yang sudah 32 tahun memerintah Indonesia itu bersumpah siap meninggalkan kantor sesegera mungkin. Dia juga menjanjikan pemilihan umum baru dengan undang-undang yang baru pula untuk mengisi keanggotaan parlemen. Saat itu pula, Soeharto berjanji bahwa antara dia dan Habibie (saat itu Wapres) tidak akan mencalonkan diri untuk periode jabatan berikutnya.
Untuk mewujudkan semua rencana itu, Soeharto akan membentuk sebuah dewan yang merumuskan arah reformasi politik. Tetapi, mahasiswa yang sudah menduduki parlemen bersumpah tidak akan pergi, kecuali bila Soeharto mau mundur. Malam itu, sekitar 3.000 mahasiswa tetap bertahan di area DPR/MPR. Mereka tidur di tenda-tenda atau di atas tikar plastik. Para penyokong aksi mahasiswa ini, yang umumnya kalangan menengah, memberikan dukungan berupa makanan dan air kemasan.
Malam itu, menurut orang-orang dekatnya, Habibie menelepon Soeharto. Habibie mengungkapkan kecemasannya bahwa karier politik Pak Harto akan berakhir prematur pada esok hari yang sudah menjelang. Tetapi, Soeharto berjanji akan melaksanakan pemilu daripada menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden seperti Habibie.
Habibie, kata koleganya, sangat terluka. Dia yakin Soeharto tidak akan lama bertahan. Itulah satu-satunya pilihan saat itu. Sebab, cara-cara lain tampaknya sudah tidak rasional.
20-21 MEI: Beberapa jam menjelang fajar, Jakarta tampak sebagai kota di bawah pendudukan. Ratusan tentara bersenjata senapan laras dan tank-tank ringan serta personel artileri melakukan patroli di ibu kota. Jalan-jalan menuju Monumen Nasional (Monas), tempat yang sudah diplot sebagai venue aksi sejuta massa pada 20 Mei, sudah diblokade dengan kawat berduri dan artileri berat. Tidak ada jalan lain, aksi masal itu pun dibatalkan.
Sore itu, Wiranto menyarankan kepada Soeharto bahwa satu-satunya cara konstitusional transfer kekuasaan adalah menyerahkan jabatan presiden itu kepada Wapres Habibie. Wiranto kemudian mengajukan tiga tuntutan kepada Habibie. Yakni, dia tetap sebagai panglima ABRI, lalu Habibie harus komitmen terhadap reformasi, serta jabatan Prabowo harus diganti.
Tapi, kata sahabat dekatnya, Habibie sudah sekian lama mengenal Prabowo. Mereka berdua tinggal cukup lama di luar negeri. Mereka saling berbagi kepentingan dalam memajukan kepentingan muslim. Pendeknya, satu sama lain saling membutuhkan. Prabowo-lah yang banyak membantu Habibie bersahabat dengan para perwira senior.
Katakanlah, lanjut sumber tadi, dalam pekan genting itu Prabowo dan Habibie bekerja sama membujuk Soeharto agar mundur. Sebagai imbalan, Habibie siap memberi Prabowo jabatan kepala staf Angkatan Darat (KSAD).
Pukul 09.00 WIB pada 21 Mei, lewat siaran televisi nasional, Soeharto mengumumkan lengser keprabon. Setelah tiga dasawarsa lebih memerintah Indonesia, dia meminta maaf kepada rakyat atas segala kesalahan dan kekurangan. Dan, Habibie tampak ragu-ragu sebelum diambil sumpahnya sebagai presiden ketiga sejak Indonesia merdeka.
Hampir tengah malam setelah pengunduran Soeharto, Prabowo muncul di Istana Kepresidenan dengan pasukan siap tempur. Berbekal pistol otomatis dan beberapa truk pasukan Kostrad yang sudah menanggalkan tanda resimennya, Prabowo menagih jabatan KSAD yang sudah dijanjikan Habibie.
Saat itulah pengawal Habibie memanggil Wiranto dan Feisal Tanjung, mantan Pangab, ke istana. Feisal mengingatkan Habibie bahwa Prabowo adalah sosok yang terlalu bahaya bila harus memimpin AD. Kepada orang, Habibie kemudian hanya bisa berkata bahwa malam itu dia memang takut akan keselamatan nyawanya
___________________________________
EPILOG
Habibie mengumumkan kabinetnya di 10:30 pada 22 Mei. Mahasiswa masih menduduki Gedung DPR, menuntut agar ia mengundurkan diri. Beberapa ribu anggota organisasi pemuda Muslim, pendukung Habibie dan dilindungi oleh pasukan Prabowo, tiba di kompleks sore itu. dan dilindungi oleh pasukan Prabowo, tiba di kompleks sore itu. Konfrontasi itu tegang, tapi tidak berubah menjadi liar. Tengah malam, tentara berhasil menguasai kembali Gedung DPR.
Militer mengumumkan pada 6 Juni bahwa mereka memecat dua komandan polisi dari Brimob yang tidak mematuhi perintah dan tidak mengendalikan pasukan mereka di Trisakti. Mereka menghadapi hukuman maksimum 28 bulan penjara. Lima belas tersangka lainnya menunggu pengadilan militer.
Kemudian Kapolri Jenderal Dibyo Widodo, membantah tuduhan pasukannya bertanggung jawab atas kematian empat siswa. Dia mengatakan pada 7 Juni: “Kami telah memeriksa dengan setiap perwira yang ditugaskan di sana dan memastikan bahwa tidak ada anggota kami menggunakan peluru tajam.”
Pada tanggal 24 Juni Wiranto memindahkannya, bersama dengan komandan militer, menyebutnya sebagai rotasi rutin. Orang dalam kepolisian mengatakan Kapolri kehilangan jabatannya karena ia menolak dituduh bertanggung jawab atas penembakan Tri Sakti. Setelah bertemu dengan empat orang tua mahasiswa Trisakti yang ditembak tsb selama 30 menit tanggal 22 Juni, Habibie menyebut almarhum sebagai “pahlawan reformasi.”
Di Mabes Polri, tiga mahasiswa Trisakti dan sekuriti resmi menjaga peluru yang diambil dari tubuh Hery Hartanto tanggal 7 Juni. Saat peluru diambil dari kotak besi untuk tes, tim merekam video, dan memberi tanda-tanda untuk memastikan peluru tersebut tidak ditukar kelak. Polisi berjanji untuk tidak membuka kotak besi tanpa perwakilan universitas di sana.
Secara teoritis memang mungkin untuk mengidentifikasi senapan yang digunakan saat menembakkan peluru yang menewaskan Hartanto.
Tapi dalam prakteknya mungkin tidak. Militer Indonesia memiliki lebih dari 2.000 senapan Steyr (senjata yang telah digunakan dalam pembunuhan) dan Militer menolak penyelidikan terbuka. Lagi pula sangat mungkin untuk membeli Steyrs di pasar gelap.
Pihak berwenang telah menyita 21 senjata dari petugas yang bertugas tanggal 12 Mei tetapi belum menyerahkannya kepada penyidik.
Adnan Buyung Nasution, pengacara ternama dan seorang aktivis hak asasi manusia terkemuka, mengatakan: “Terlalu dini untuk membuat kesimpulan tentang siapa yang bertanggung jawab, dan militer telah berusaha membatasi penyelidikan.” Dia mengatakan, berulang kali, bahwa persidangan telah “direkayasa.”
Hakim militer erat mempertanyakan kesaksian terdakwa, tapi saksi untuk penuntut jarang dilakukan. Ketidaksenangan hakim militer thd Buyung jelas.
Ada kejadian dimana keduanya berteriak satu sama lain di pengadilan, memaksa penjaga keamanan di sekitar ruangan ikut melerai. Dan lebih dari sekali hakim mengancam akan mengusir Buyung dari persidangan.
Pada tanggal 28 Mei, saat Prabowo ditugaskan sebagai pimpinan sekolah tentara di Bandung, ia mengatakan tuduhan laporan bahwa ia mencoba kudeta itu adalah “sampah, sampah, sampah.”
Tetapi seorang perwira senior militer mengatakan Suharto menolak untuk berbicara dengan Prabowo, bahkan ketika Prabowo mengunjungi ayah mertuanya pada tanggal 8 Juni, ulang tahun ke-77 Soeharto.
Syafrie mengaku pada 13 Juni bahwa di Jakarta, beberapa kerusuhan itu “secara sporadis diorganisir” oleh kelompok.
Syafrie, sebagai komandan militer di Jakarta saat kerusuhan, yang juga sekutu Prabowo, dipindahkan 24 Juni, setelah menjabat selama delapan bulan.
Kepolisian Jakarta telah memanggil mantan narapidana dan preman Tionghoa yang beralih menjadi pendakwah Islam untuk ditanyai tentang perannya dalam kerusuhan itu.
Anton Medan berada di jalanan Jakarta 14 Mei, dia mengatakan ada di jalan untuk mencegah orang berbuat kekerasan, katanya. Sebuah sumber yang dekat dengan militer yakin Anton pernah ditawari uang untuk mengirim pengikutnya untuk membuat rusuh, tapi ia menolak.
Sebab itu, menurut sumber tsb, itulah mengapa seseorang mengkambing hitamkan Anton Medan kepada pihak berwenang. Sejauh ini, dia adalah satu-satunya tersangka yang diserahkan pihak militer.
Angkatan bersenjata melakukan investigasi sendiri dan mengatakan tidak menemukan bukti perkosaan dan tidak ada korban pemerkosaan yang muncul menjadi saksi.
Menteri Negara Urusan Wanita Tutty Alawiyah juga pada awalnya membantah bahwa perempuan diperkosa saat kerusuhan.
Tapi pada tanggal 8 Juli ia membentuk tim wanita untuk membantu korban yang dilecehkan.
Clementino dos Reis Amaral, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, tanggal 9 Juli memperingatkan adanya upaya menutup kasus ini dan beberapa korban pemerkosaan telah diperingatkan untuk tutup mulut.
Komisi itu telah menyerukan penyelidikan independen atas kerusuhan penembakan dan pemerkosaan dan permintaan maaf resmi dari pemerintah.
Pada tanggal 13 Juli, Habibie membentuk tim untuk menyelidiki kerusuhan, yang termasuk Wiranto, Jaksa Agung dan , foreign and justice ministers .
Keesokan harinya, Kepala Kepolisian Militer Mayjen. Syamsu Djalal mengatakan tujuh tentara Kopassus telah ditangkap atas penculikan aktivis prodemokrasi diculik awal tahun ini.
Pada tanggal 15 Juli Habibie mengutuk kekerasan Mei.
Sebuah sumber yang dekat dengan militer mengatakan bahwa, pada awal Juli, 74 prajurit Kopassus menghilang dari barak mereka.
Sumber tersebut yakin 74 prajurit tsb berada di jalanan Jakarta, mengumpulkan informasi dan menutupi jejak mereka.
Dua aktivis hak asasi manusia, Pastor Sandyawan dan Ita Nadia, telah diperingatkan (dengan ancaman granat hidup) untuk mengakhiri penyelidikan mereka ke dalam kerusuhan dan perkosaan.
T A M A T REPORTASE DARI ASIAWEEKS
SUMBER BERITA