gampang-prawoto.blogspot.com
MELACAK TITIK TEMU ALAM PIKIRAN JAWA DAN MALAYSIA
MELALUI SASTRA BANDINGAN LOCAL LITERARY KNOWLEDGE
Oleh Suwardi
FBS Universitas Negeri Yogyakarta
Makalah Konferensi Internasional
Sains dan Teknologi Alam Melayu
14-18 Desember 2010
Di Universitas Kebangsaan Malaysia
Diakui atau tidak, sampai saat ini belum ada ilmuwan yang mencoba
melacak lebih jauh alam pikiran orang Jawa (Javanese insight) dan
Malaysia. Padahal dalam banyak hal, kedua bangsa ini tentu memiliki
dunia batin yang senada. Paling tidak, alam berpikir positif (positive
thinking) orang Jawa, mungkin juga seirama dengan orang Malaysia. Stream
of consciousness tentang dunia orang Jawa bisa jadi sejajar dengan
cintra (imej) orang Malaysia, ketika mengimajinasikan tentang “ada”
(human being). Bila orang Jawa senantiasa hendak menemukan kesempurnaan
hidup manusia (sampurnaning dumadi), orang Malaysia dalam pandangan
Wahab Ali (1989:9) juga menginginkan perfect dan idealized human.
Untuk memahami alam pikiran (pangawikan) Jawa dan Malaysia, dapat
dirunut melalui local literary knowledge. Local literary knowledge
adalah ilmu pengetahuan (sains) kesusasteraan lokal, yang banyak
memantulkan nilai-nilai kearifan lokal. Kata penyair John Keats (Wellek
dan Warren, 1989:135) “beauty is truth, truth beauty”. Kalau hal ini
saya perluas, berarti sains kesastraan yang estetis itu juga memuat
kebenaran. Sastra merupakan dokumen sejarah pemikiran suatu bangsa. Hal
ini cukup beralasan, sebab menurut Levere (1977:9) karya sastra memiliki
kandungan science, truth, dan ideology. Ketiga hal itu saling terkait,
hingga meneguhkan bahwa sastra merupakan percikan pemikiran mendalam
tentang dunia dan akhirat. Itulah sebabnya local literary knowledge
dimungkinkan memuat yang oleh Gadamer (Levere, 1977:28) disebut
geisteswissenschaften, yang dapat memberikan pencerahan (kasyf) hidup.
Pretensi ini dapat dibenarkan, sebab pada dasarnya menurut Skilleas
(2001:5) “literature as philosophy”. Sastra merupakan refleksi pemikiran
filosofi tentang hidup, hingga Sohaimi (2001:117) menyatakan bahwa
sastra dapat menjadi falsafah abadi (perennial philosophy).
Local
literary knowledge di Jawa banyak muncul pada tradisi lisan, seperti
lagu-lagu dolanan anak yang memuat nilai-nilai katarsis. Begitu pula
karya-karya sastra lisan Malaysia, seperti pantun yang di Perancis
menjadi pantoum (Sohaimi, 2001:16) banyak memuat nilai-nilai kerohanian
(mujahaddah) yang dapat membersihkan jiwa (tazkiyah alnafs). Local
literary knowledge baik Jawa maupun Malaysia adalah sebuah science
(sains) pemikiran hakiki yang dapat menjadi obat bagi “the crisis of
humanities”. Kiranya, baik di Jawa maupun Malaysia krisis kemanusiaan,
selalu muncul pada setiap saat hingga membutuhkan alam pikiran jernih.
Berbagai kemungkinan pragmatik dan filosofi dapat dirunut melalui studi
sastra bandingan antara Jawa dan Malaysia, baik secara generik (konsep
Sohaimi, 2001:16) maupun secara genetik (konsep Jost, Damono, 2005:11).
Studi ini untuk menyelami mahakarya (istilah saya) atau karya sastra
agung (istilah Wellek dan Warren, 1989) pada dua negara yaitu Malaysia
dan Jawa (Indonesia). Prinsip sastra bandingan yang meliputi karya
sastra dua negara ini menurut Carre dan Guyard (Remak, 1990:2) perlu
memperhatikan aspek penerimaan, perantaraan, sikap pengarang terhadap
sebuah negara. Mungkin pula ada pertalian ideologi, persamaan zeitgeist,
varian pemikiran, pararelisme evolusi budaya, dan perbedaan world view
antara sastra Malaysia dan Jawa.
Berpijak dari kemungkinan itu,
akan dilacak bagaimana representasi alam pikiran Jawa dan Malaysia
melalui sastra bandingan local literary knowledge. Oleh karena kekayaan
sastra Jawa cukup luas, hanya dipilih karya masterpeace Jawa (sastra
tulis) berjudul: (1) Serat Centhini karya KGPAA. Pakubuwana V. Karya
yang terdiri 12 jilid ini tidak jauh berbeda dengan sebuah ensiklopedi
kejawaan, yang memuat sejumlah alam pikir Jawa dari masalah ontologi,
epistemologi, dan aksiologi kehidupan; (2) sastra lisan, yang memuat
local genius yang telah saya kumpulkan dalam buku Tradisi Lisan Jawa
(2003). Kedua kelompok karya itu akan saya bandingan (comparative
literature) dengan sastra Malaysia yang telah dikumpulkan oleh Suripan
Sadi Hutomo dalam buku Merambah Matahari (1993). Studi sastra bandingan
dari dua negara yang berbeda ini untuk melacak (a) afinitas, (b)
konvensi dan tradisi, dan (c) konsep pengaruh berupa alam pemikiran
sebagai sebuah hipogram. Perunutan hipogram antara sastra Jawa dan
Malaysia itu dilandasi gagasan Corstius (1968) bahwa karya sastra adalah
paket himpunan teks sebelumnya dan Julia Kristeva (Hutomo, 1993:13)
juga menegaskan bahwa karya sastra adalah deretan teks-teks sebelumnya.
Rekam jejak dari sastra Jawa dan Malaysia tersebut kelak akan
memperkokoh keuniversalan estetika dari dua negara yang berbeda. Titik
temu alam pemikiran kedua negara lewat karya sastra sebagai refleksi
imajinasi, dalam istilah Damono (2005:66 dan 77) dapat direkam melalui
(a) bayangan dan (b) jejak. Boleh jadi Jawa atau sebaliknya Malaysia
saling bayang-membayangi dan saling memantulkan jejak pemikiran yang
mirip, adaptatif, epigon, dan transformasi. Bayangan dan jejak itu
mungkin secara langsung (kasar, menjiplak, plagiat), dan mungkin secara
tak langsung, halus, estetis, dan suatu kebetulan.
Pelacakan kedua
karya sastra dari belahan dunia berbeda itu saya gunakan dua teori
yaitu: (1) teori astronot yang dikemukakan von Daniken (Hutomo,
2003:33), yang menganggap sastra sebagai “saksi jaman” atau “pencatat
sejarah” dan (2) teori von Sydow, tentang active and passive bearers of
tradition dan the notion of oicotype. Yang dimaksud active beare of
tradition yaitu pelaku aktif tradisi sastra baik di Jawa maupun
Malaysia. Pelaku aktif yaitu para penggiat sastra yang masih setia
melantunkan Serat Centhini dan para sindhen yang masih melantunan
tradisi lisan.
Kata kunci: pikiran Jawa, pikiran Malaysia, dan lokal
A. Pemikiran Jawa dan Malaysia tentang Ada
Diakui atau tidak, sampai saat ini belum ada ilmuwan yang mencoba
melacak lebih jauh alam pikiran orang Jawa (Javanese insight) dan
Malaysia. Padahal dalam banyak hal, kedua bangsa ini tentu memiliki
dunia batin yang senada. Paling tidak, alam berpikir positif (positive
thinking) orang Jawa, mungkin juga seirama dengan orang Malaysia. Stream
of consciousness tentang dunia orang Jawa bisa jadi sejajar dengan
cintra (imej) orang Malaysia, ketika mengimajinasikan tentang “ada”
(human being).
Persoalan „ada“ memang senantiasa menjadi misteri
bagi orang Malaysia dan Jawa. Ada adalah fenomena ontologis. Sastra yang
menyuarakan tingkat ontologis, akan mencerminkan „ada“ secara estetis.
Dalam Serat Centhini jilid VII, pupuh 391: gambuh, bait 18 tergambar:
wus tetela saestu, purbaning hyang Gusti Kang Murbeng Gung, anglimputi
sakabehing kang titah urip, kang kinarsan kinarya nung, tandha wau
kongsi lekok. Maksudnya, orang Jawa selalu berpikir positif bahwa
kekuasaan Tuhan selalu adil bagi eksistensi „ada“. Apa yang ditakdirkan
oleh „ada“, manusia tidak bisa membantah.
Puisi tersebut membuka
mata kita, bahwa Tuhan adalah sumber dari „ada“. Tuhan adalah sumber
asal-usul „ada“ itu sendiri. Kalau saya bandingkan lebih mendalam, puisi
Malaysia dan Jawa memang amat dekat ketika hendak menemukan asal-usul
hidup. Asalusul itu sebuah kesejatian yang misterius. Begitulah nafas
puisi berjudul Doa orang Berdosa karya A. Wahab Ali (Hutomo, 1993:66).
Puisi ini beriringan dengan geguritan berjudul Nasyid Kinanthi karya
Turiyo Ragilputra (2002). Keduanya mengisahkan sebuah pencarian menuju
kasampurnaning dumadi (dari dan akan kemana „ada“ itu).
Penyair
Malaysia amat merindukan asal-usul dengan terang-terangan menyebut
Tuhan, misalkan pada larik berbunyi: „Tuhanku/semakin umurku
melaju/pejal pertahanan merapuh.“ Larik ini mirip dengan ungkapan puisi
Jawa berbunyi „nyumamburat werdine kangen marang Al-Haq...titip aku
secuwil guritan dzikir hikmah“. Kedua puisi yang berbeda bahasa itu,
sama-sama menyuarakan „ada“ yang mutlak. Keduanya merasa rindu pada
suatu fenomena absolut. Manusia semakin lemah, semakin jauh, ketika
harus mencoba menemukan Sang Hakikat Hidup. Begitu pula puisi berjudul
Layang-layang Takdir karya A. Wahab Ali dapat sebanding dengan puisi
Jawa tradisional berjudul Ngundha Layangan karya Ki Narta Sabda
(1994:18-19). Local literary knowledge di Jawa banyak muncul pada
tradisi lisan, seperti lagu-lagu dolanan anak yang memuat nilai-nilai
katarsis. Begitu pula karya-karya sastra lisan Malaysia, seperti pantun
yang di Perancis menjadi pantoum (Sohaimi, 2001:16) banyak memuat
nilai-nilai kerohanian (mujahaddah) yang dapat membersihkan jiwa
(tazkiyah alnafs).
Kalau orang Malaysia hendak menyemaikan nilai
profetik bahwa hubungan Tuhan dengan manusia itu ibarat layang-layang,
yang kadang tersambung dan putus, berarti merujuk bobot sebuah iman.
Iman (Malaysia) dan Jawa (eling) sering mengalami pasang surut. Orang
Jawa mengekspresikan eling (ingat) pada larik puisi berbunyi „del ndedel
kae muluk/walayangane warna-warna polesane/bat ebat becike aku
gumun..., aja nyangkut dimen ora enggal pedhot benange“. Maksudnya,
semakin tinggi layangan itu, semakin menarik, semakin mengkawatirkan.
Keadaan itu diharapkan seperti bermain layang-layang, jangan sampai
putus benangnya, yang berarti kalau rasa eling manusia terputus, akan
rugi. Ungkapan itu jelas sebuah pola pikir tentang kekaguman pada Tuhan.
Mengulur layang-layang perlu hati-hati, agar benang tidak putus. Begitu
pula menyikapi „ada“ ini, perlu hati-hati, agar tidak terjebak pada
hidup yang tidak jelas arahnya. Jika layang-layang putus, akan lepas, ke
mana jatuhnya, tidak jelas. Jika demikian, baik pemikiran Malaysia
maupun Jawa selalu meletakkan posisi Tuhan-manusia berada posisi yang
kurang jelas, dalam pencarian, penafsiran terus-menerus, dan manusia
perlu hati-hati menjaga keharmonisan „ada“.
Dari dua puisi yang
berbeda karakter estetis itu, dapat saya renungkan, ternyata orang
Malaysia dan Jawa sama-sama memiliki kegelisahan spiritual. Lewat puisi,
kegelisahan tentang apa dan siapa Tuhan akan tergambar. Bila orang Jawa
senantiasa hendak menemukan kesempurnaan hidup manusia (sampurnaning
dumadi), orang Malaysia dalam pandangan Wahab Ali (1989:9) juga
menginginkan perfect dan idealized human. Kesempurnaan hidup dicari,
dihayati, dan diterapkan secara hati-hati, penuh kesabaran. Kesabaran
tidak ada bedanya ketika hidup harus menarik, mengulur, dan menikmati
laying-layang terbang.
Masalah perfection, bagi orang Malaysia dan
Jawa adalah tumpuan bertobat. Pemikiran Malaysia penuh dengan rendah
hati, yaitu semakin dia mencari Tuhan, maka “ada” itu semakin “tidak
ada” (menjauh). Hal ini tidak jauh berbeda ketika penggurit Jawa juga
mengekspresikan diri dengan kata “lurung-lurung gaib pinadhangan sajagad
lintang”. Maksudnya, bintang itu bagi orang Jawa juga bersinar, tetapi
amat jauh. Bintang itu selalu menjadi hal yang tidak mungkin diraih,
lalu ada ungkapan Jawa cebol nggayuh lintang. Lintang, adalah cahaya
Ketuhanan yang selalu menjauh apabila didekati. Kalau demikian, orang
Jawa dan Malaysia, memiliki pemikiran yang bersahaja. Pemikiran mereka
samasama
memandang bahwa Tuhan itu “ada”, tetapi selalu misteri, dunia yang tak mungkin terjamah, dan amat jauh, namun dekat.
Orang Jawa sering mengungkapkan “Gusti Allah iku cedhak tanpa
senggolan, adoh tanpa wangenan”, artinya Tuhan itu dekat, tetapi tak
dapat disentuh, kalaupun jauh hampir tidak berjarak dengan manusia.
Metafor bintang dan layang-layang bagi orang Jawa dan Malaysia,
dipandang lebih tepat untuk mewakili pencarian “ada” dalam ketiadaan.
Pola berpikir positif orang Malaysia dan Jawa terletak pada doa dan
tobat atau dzikir (eling). Dengan cara eling itu, Tuhan tidak akan
pernah absen dalam diri manusia. Dengan eling, manusia mau bertobat,
berserah diri.
B. Kebenaran dan Ideologi Jawa dan Malaysia
Berbagai kemungkinan kebenaran dan ideologi dapat dirunut melalui studi
sastra bandingan antara Jawa dan Malaysia, baik secara generik (konsep
Sohaimi, 2001:16) maupun secara genetik (konsep Jost, Damono, 2005:11).
Studi ini untuk menyelami mahakarya (istilah saya) atau karya sastra
agung (istilah Wellek dan Warren, 1989) pada dua negara yaitu Malaysia
dan Jawa (Indonesia). Prinsip sastra bandingan yang meliputi karya
sastra dua negara ini menurut Carre dan Guyard (Remak, 1990:2) perlu
memperhatikan aspek penerimaan, perantaraan, sikap pengarang terhadap
sebuah negara. Mungkin pula ada pertalian ideologi, persamaan zeitgeist,
varian pemikiran, pararelisme evolusi budaya, dan perbedaan world view
antara sastra Malaysia dan Jawa.
Kebenaran adalah suara hati. Puisi
merupakan cermin hati. Memang benar, puisi itu nyanyian hati. Penyair
Malaysia dan Jawa juga sedang asyik dengan lantunan hati. Detak jantung
bisa memompa hati, hingga muncul puisi yang menyuarakan ideologi dan
kebenaran. A. Wahab Ali mencurahkan puisi pendek berjudul Puisi, seakan
dia sedang memikirkan getaran suksma dalam puisi. Lewat ketajaman kata,
dia ungkapan “puisi itu sepi…sesekali menjilma menjadi nabi”. Ideologi
profetik yang mewarnai puisi itu. Religiusitas adalah ruh ideologi puisi
Malaysia. Judul karya ini tidak jauh berbeda dengan geguritan karya
Anie Soemarno (1975) berjudul Guritan, yang memuat ideologi profetik
pula. Puisi profetik adalah karya yang berideologi kenabian, mengusung
jalan lurus menuju hidup yang benar.
Kedua puisi yang berbeda
kultur itu ternyata melukiskan alam pikiran (pangawikan) Jawa dan
Malaysia, sebagai lukisan karya romantik estetik. Romantika hidup mereka
kaitkan dengan puisi sebagai kekentalan kata. Keduanya melukiskan local
literary knowledge yang memuat nilai kesejagadan. Local literary
knowledge adalah ilmu pengetahuan (sains) kesusasteraan lokal, yang
banyak memantulkan nilai-nilai kearifan lokal. Kata penyair John Keats
(Wellek dan Warren, 1989:135) “beauty is truth, truth beauty”. Saya
setuju, baik puisi Malaysia maupun Jawa ternyata menjadi corong
kebenaran dan keindahan Menurut mereka, puisi sama-sama merupakan “dunia
sepi” tetapi dapat mengungkap dunia ramai. Larik-larik puisi Malaysia
di atas sejalan dengan ungkapan puisi Jawa berbunyi: “daktulis guritan
jalaran guritan/tembang jiwa…daktulis guritan jalaran guritan uga corong
jaman.” Artinya, saya tulis puisi karena puisi itu sebagai nyanyian
jiwa. Saya tulis puisi karena puisi itu sebagai ekspresi jaman. Puisi
ini memuat ideologi bahwa karya sastra adalah wakil jaman. Sastra
menjadi media jaman. Orang yang ingin memahami jaman, ada baiknya
menyelami sastranya.
Varian pemikiran Malaysia dan Jawa tampak pada
penggunaan diksi sepi (Malaysia) dan tembang jiwa (Jawa). Sepi dan
nyanyian jiwa, adalah potret ketidakmapanan jiwa penyair. Penyair sedang
risau terhadap suasana, hingga hanya melalui kata yang bias mewakili
kegelisahan. Keyakinan penyair, kata-kata akan meluncurkan suara
kenabian (profetik) atau corong jaman. Kata adalah saksi jaman. Kata
pula yang menjadi wahana kebenaran. Kata merupakan puncak ideologi. Kata
itu kaya symbol. Maka ideologi itu sendiri sebuah simbol. Kalau hal itu
saya perluas, berarti sains kesastraan yang estetis itu juga memuat
kebenaran. Sastra merupakan dokumen sejarah pemikiran suatu bangsa. Hal
ini cukup beralasan, sebab menurut Levere (1977:9) karya sastra memiliki
kandungan science, truth, dan ideology. Ketiga hal itu saling terkait,
hingga meneguhkan bahwa sastra merupakan percikan pemikiran mendalam
tentang dunia dan akhirat. Itulah sebabnya local literary knowledge
dimungkinkan memuat yang oleh Gadamer (Levere, 1977:28) disebut
geisteswissenschaften, yang dapat memberikan pencerahan (kasyf) hidup.
Pretensi ini dapat dibenarkan, sebab pada dasarnya menurut Skilleas
(2001:5) “literature as philosophy”.
Sastra merupakan refleksi
pemikiran filosofi tentang hidup, hingga Sohaimi (2001:117) menyatakan
bahwa sastra dapat menjadi falsafah abadi (perennial philosophy).
Membaca sastra, akan menyuarakan kebenaran hidup. Sastra adalah hidup
itu sendiri. Sastra menjadi filosofi hidup manusia. Kalau begitu
menghayati sastra, sudah jelas menyelami keabadian itu sendiri.
Suara-suara indah, penuh makna, dan gelitik kata selalu memekikkan
telinga. Maka orang dapat menangis setelah membaca sastra. Orang juga
dapat marah ketika membaca sastra. Orang juga sering menemukan pepadhang
(pencerahan) batin, setelah berolah sastra. Ketika menyikapi malam,
pemikiran Malaysia dan Jawa sama-sama menjadi teman dalam sepi. Malam
adalah waktu tepat untuk melakukan keheningan. Karya A Wahab Ali
(Hutomo, 1993:82) berikut adalah gambaran pemikiran malam sebagai
sahabat hidup.
Malam Sarat Mengandung Kisah
Mawar merah di tembok batu
Bulan sabit dan sebutir bintang
Gonggong anjing panjang-panjang
Sesusuk tumbuh kedinginan
Sebait puisi itu menggambarkan pemikiran Malaysia, bahwa kondisi malam
memang penting bagi perenungan jiwa. Malam yang penuh bintang dan cahaya
bulan, dipoles dengan suara anjing, justru sering melahirkan
kisah-kisah. Hal itu juga disuarakan oleh Yohanes Siyamta dalam
geguritan Wengi (2008), sebagai percikan pemikiran yang penuh sepi,
ketidakpastian. Penyair cenderung merenungkan diri lewat perjalanan
malam, sebagai gambaran suasana yang sering tidak pernah jelas
(melamun). Di mata Rohadi Ienarta, dalam puisi berjudul Meditasi Wengi
(1997), malam juga menjadi sumber penyerahan diri (pasrah). Pasrah
adalah ideology Jawa. Bagi orang Malaysia, pasrah identik dengan
merenung karena takjub dengan alam semesta. Inti dari semua ini adalah
berserah diri. Berserah diri adalah sebuah kebenaran hidup.
Kebenaran dalam puisi bagi orang Malaysia dan Jawa sulit diragukan. Bagi
mereka keindahan puisi adalah corong kebenaran. Lewat puisi Lidah karya
Zaihasra dan geguritan Ilat karya Subagiyo Ilham Notodijoyo, penyair
berhasil mengungkapkan kebenaran sejati. Lidah dan ilat sama-sama
menjadi wahana estetika untuk mengungkapkan nurani. Alam pikiran
Malaysia meyakini, lidah adalah sumber kata-kata. Kata sering kehilangan
arti jika lidah salah bersilat. Lidah sebagai sumber lisan. Variasi
pemikiran Jawa muncul bahwa lidah “among sawelat…prandene wasis murbe
wisesa”. Artinya, biarpun lidah itu hanya sebesar bilah bambu, namun
sangat berkuasa bagi hidup. Lidah adalah figure yang berbahaya apabila
salah penggunaannya. Sebaliknya, lidah akan menyebabkan orang mulia
apabila betul dalam penggunaan. Pasrah dan lidah pun dua hal yang sering
terkait. Dengan lidah, mantra-mantra terucap, kata halus, kata pujian,
dan sejumlah perserahan diri muncul dari lidah.
Orang Jawa memiliki
ideologi ajining dhiri seka kedaling lathi. Artinya, lidah akan
menentukan harga diri seseorang. Baik buruk seseorang, akan ditentukan
bagaimana orang menggunakan lidahnya. Lidah yang memproduksi suara,
ibarat pedang, suara yang tajam akan menyakiti orang lain. Sebaliknya
suara yang harum, akan menyejukkan. Dari puisi Malaysia dan Jawa dapat
saya pahami, bahwa kebenaran itu kata. Kata pula yang menjadi wakil
hati. Kata sering terucap lewat lidah. Maka, kata, lidah, harga diri,
dan berserah diri saling berhubungan.
Kata adalah suara yang mampu
memberikan katarsis, penyucian jaman. Ketika orang sedang kalut jiwanya,
kata akan menjawab. Kata memuat sejuta pengalaman berharga. Kata adalah
hembusan jiwa, humanis, dan menjadi penerang jaman. Begitu kira-kira
pemikiran estetis Malaysia dan Jawa, sama-sama berpikir bahwa kebenaran
itu tetap berada pada kata yang menyuarakan profetik. Melalui kata, yang
diproduksi lidah, harga diri seseorang akan meningkat, ketika mau
berserah diri. Jadi ideology Malaysia dan Jawa antara lain tampak pada
ideology untuk selalu berserah diri lewat keheningan malam. Berserah
diri dalam suasana sepi mampu mengantarkan hidup mencapai suwung, yaitu
sebuah kebenaran absolut.
C. Semangat Jaman: Antara Pemikiran Jawa dan Malaysia
Local literary knowledge baik Jawa maupun Malaysia adalah sebuah
science (sains) pemikiran hakiki yang dapat menjadi obat bagi “the
crisis of humanities”. Kiranya, baik di Jawa maupun Malaysia krisis
kemanusiaan, selalu muncul pada setiap saat hingga membutuhkan alam
pikiran jernih. Sastra memang dicipta selalu dalam rangka. Sastra
senantiasa bertujuan dan memiliki sasaran. Sastra yang baik, adalah yang
indah dan berguna. Sastra Malaysia dan jawa yang baik, tentu memiliki
aspek estetik dan pragmatik.
Angkatan sastrawan 50 (ASAS 50)
Malaysia, menurut Yahaya Ismail (Hutomo, 1993:40) berslogan “seni untuk
masyarakat” atau “seni untuk rakyat”. Biarpun hal ini mengesankan
hadirnya “sastra dalam rangka”, secara sosiologis sastra memang memiliki
tujuan. Tujuan utama sastra adalah komunitas, yaitu masyarakat. Mungkin
sekali, sastra dimanfaatkan untuk mencerdaskan masyarakat.
Secara
kebetulan di Indonesia, Jawa, sedang dirundung bencana alam yang berupa
letusan gunung berapi dan gempa bumi. Ternyata, suasana demikian juga
mewarnai alam pikiran Malaysia tahuan 1950-an. Puisi Malaysia yang
berjudul Suasana (1962) karya Masuri S.N. terdapat bagian bait yang
seakan-akan jenuh menyaksikan bencana. Kejenuhan adalah sebuah protes
batin, mengapa musibah senantiasa mendera terhadap Malaysia, hingga ada
bait berbunyi sebagai berikut.
Suasana
Kita mengikut segala cahaya
Merah-padam
Biru kelabu
Di permukaan alam
Kita jemu dengan semua ini
Minta api membakar pulau
Kuda liar lepas dari
Atau topan menggegar bumi
………
Puisi tersebut adalah luapan rasa duka. Puisi “dalam rangka” ini, bisa
menyadarkan masyarakat, agar melek pada penderitaan. Dunia mungkin, saya
pikir yang mewarnai alam pikiran Malaysia. Yakni, dunia yang sedang
kalut, dilanda musibah, akibat amukan alam, gunung, dan gempa. Pemikiran
penyair yang paling esensial adalah mengetuk hati berbagai pihak agar
peduli pada kesusahan. Peduli musibah adalah “action” yang mulia. Puisi
memiliki fungsi untuk mengetuk hati, agar muncul jiwa penolong. Pikiran
penyair, hendak membuka relung hati pembaca atau masyarakat, agar mau
berderma pada warga ayng sedang dirundung duka. Kalau saya bandingan,
suasana pemikiran Malaysia yang penuh dengan rasa takut, sedih, dan
selalu mempertanyakan kepedulian pihak lain itu sejajar dengan suasana
puisi Jawa (geguritan) berjudul Gunung Merapi (2000) karya Muhammad
Yamin sebagai berikut.
Gunung Merapi
Kukusing dupa kumelun
Kumelun mega
Hawa atis dadi bawera
Mbiwarakke sakehing crita
Yen krodha gawe gendra
Moyang-maying gebering bawana
Yen luntak sela rata wong sanegara
Pemikiran penyair Jawa (penggurit) tersebut sejajar dengan penyair
Malaysia. Kedua bicara masalah keganasan gunung. Ketika karya ini saya
tulis (30 Oktober 2010), Yogyakarta tengah dilanda letusan Gunung
Merapi, hingga saudara-saudara saya berlarian tunggang langgang menuju
arah selatan. Waktu itu, saya sendiri habis dari Kali Urang, menatar
guru-guru SD, juga diselimuti ketakutan dan panik, lalu saya lari
(turun) gunung, hingga sarung hijau saya pun tertinggal di hotel.
Pikiran Malaysia dan Jawa terhadap bencana senada, yaitu takut celaka,
sakit, dan mati. Tatkala itu, bayangan maut selalu menggema dalam
pikiran Malaysia-Jawa. Amukan gunung yang memuntahkan “senjata panas”
disertai gempa, selalu mengguncang kekawatiran. Keluhan, rintihan, dan
perasaan was-was, selalu menghantui pemikiran orang. Dari kejadian itu,
baik orang Jawa maupun Malaysia, selalu menyikapi musibah alam itu
dengan penuh ketakutan dan berserah diri.
Puisi-puisi epigram
Malaysia pun, banyak yang mengisahkan pemikiran kawatir, takut, dan rasa
kalut. Karya Chan Kun ning berjudul Balada Sebuah Derita (Hutomo,
1993:46) juga mengisahkan betapa dahsyatnya kekejaman alam,
Balada Sebuah Derita
Perjalanan
Dari rahim ibu
Ke kuburan
Adalah buih
Di dada samudera
Yang
Ditampar angin
Dikeret arus
Digoncang ombak
Tersingkir ke pantai
Menanti pecah
Bencana alam tidak hanya dari gunung, melainkan juga dari angin dan
ombak pantai. Puisi itu memaparkan betapa kedahsyatan alam. Sejak
manusia dari rahim ibu (lahir) ternyata tidak mungkin lepas dari ancaman
alam yang genas. Namanya saja sebuah balada, tentu memuat kisah sedih.
Puisi Jawa yang bernuansa epigram karya Suharyanta BP berjudul Gurit
Sabrangan (2001) juga memuat kisah ketakutan pada bahaya ombak samodera.
Gunung, samodera, angin, sering memiliki potensi musibah bagi manusia.
Dari karya-karya di atas, jelas bahwa local genius Malaysia dan Jawa
selalu muncul dalam sastra. Melalui studi sastra bandingan dari dua
negara yang berbeda ini untuk saya dapat melacak aspek (a) afinitas, (b)
konvensi dan tradisi, dan (c) konsep pengaruh berupa alam pemikiran
sebagai sebuah hipogram. Perunutan hipogram antara sastra Jawa dan
Malaysia itu dilandasi gagasan Corstius (1968) bahwa karya sastra adalah
paket himpunan teks sebelumnya dan Julia Kristeva (Hutomo, 1993:13)
juga menegaskan bahwa karya sastra adalah deretan teks-teks sebelumnya.
Puisi-puisi Malaysia dan Jawa sering bersentuhan secara estetis.
Hipogram yang paling menonjol sebagai unsur afinitas, yaitu suasana alam
yang senada antara Jawa dan Malaysia. Suasana alam semesta, yaitu
gunung, angin, dan air yang sering tidak bersahabat, selalu ditakuti.
Yang menjadi induk hadirnya pola pikir Malaysia dan Jawa semakin arif
tidak lain keganasan alam itu sendiri.
D. Penutup
Rekam
jejak dari sastra Jawa dan Malaysia tersebut kelak akan memperkokoh
keuniversalan estetika dari dua negara yang berbeda. Titik temu alam
pemikiran kedua negara lewat karya sastra sebagai refleksi imajinasi,
dalam istilah Damono (2005:66 dan 77) dapat direkam melalui (a) bayangan
dan (b) jejak. Bayangan dan jejak yang selalu menjadi hipogram puisi
Malaysia dan Jawa yaitu takut bahaya alam, telah melahirkan variasi
puisi. Media yang mereka gunakan untuk ekspresi diri, yaitu
laying-layang dan bintang. Keduanya yang dapat mewadahi rasa eling dan
pasrah.
Bayangan dan jejak telah melahirkan tradisi bersastra
(berpuisi) yang kental dengan alam, suasana malam, dan pencarian hakikat
Tuhan. Menurut pandangan orang Jawa dan Malaysia, ideology dan
kebenanran selalu bersandar pada puisi sebagai nyanyian jiwa. Nyanyian
itu diuntai melalui lidah. Lidah identik dengan kata, yaitu symbol yang
melantunkan harga diri dan berserah diri.
Kalau pelacakan kedua
karya sastra dari belahan dunia berbeda itu saya gunakan dua teori
yaitu: (1) teori astronot yang dikemukakan von Daniken (Hutomo,
2003:33), yang menganggap sastra sebagai “saksi jaman” atau “pencatat
sejarah” dan (2) teori von Sydow, tentang active and passive bearers of
tradition dan the notion of oicotype, tampak bahwa puisi memang cermin,
corong, dan suara jaman. Lewat alam semesta, antara lain gunung, gempa,
bintang, dan bulan orang Jawa dan Malaysia, selalu berpikir tentang ada.
Yang dimaksud active beare of tradition yaitu pelaku aktif tradisi
sastra baik di Jawa maupun Malaysia, yaitu para penyair yang berupaya
keras menyuarakan jaman. Pelaku aktif yaitu para penggiat sastra yang
masih setia melantunkan Serat Centhini dan para sindhen yang masih
melantunan tradisi lisan. Adapun active beare of tradition di Malaysia
yaitu para
pelantun syair, pantun, dan puisi.
Daftar Pustaka
Corstius, Jan Brandt. (1963). Introduction to the Comparative of Literature. New York: Random House.
Damono, Sapardi Djoko. (2005). Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa, Depdiknas.
Endraswara, Suwardi. (2003). Tradisi Lisan Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari; Sastra dalam
Perbandingan. Surabaya: Gaya Massa.
Iesnarta, Rohadi. 1997. Meditasi Wengi“ dalam Pisungsung; Antologi Geguritan dan Cerkak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jost, Francois. 1974. Introduction to Comparative Literature. New York: The Bobbs Merril Company.
Lifevere, Andre. (1977). Literary Knowledge. Nederland: van Gorcum.
Notodijoyo, Subagiyo Ilham. (1984). Antologi Puisi Jawa Modern 1940-1980. Surabaya: Sinar Wijaya.
Pakubuwana V, KGPAA. (1989). Serat Centhini, Jilid VII. Yogyakarta: Yayasan Centhini.
Ragilputra, Turiyo. (2007). „Nasyid Kinanthi“ dalam Bledheg Segara Kidul. Yogyakarta: Gema Grafika.
Remak, Henry H.H. (1971). “Comparative Literature: Its Definition and
Function” dalam Contemporary Literature: Method and Perspective (editor
Newton P Stallknecht dan
Horst Frenz). Illinois: Southere Illinois University Press.
Sabda, Narta, Ki. (1994). Kumpulan Gendhing-gendhing lan Lagon Dolanan. Sukoharjo: Cenderawasih.
Siyamta, Yohanes. (2008). „Wengi“ dalam Dongan Maling. Yogyakarta: PISS.
Skilleas, Martin. 2001. Philosophy and Literature. Eidenburg: Eidenburg University Press.
Sohaimi Abdul Aziz. (2001). Kesusteraan Bandingan. Kuala Lumpur:Utusan Publications.
Soemarno, Anie. (1975). „Guritan“ dalam Geguritan Antologi Sajak-sajak Jawi. Surakarta: Pustaka Sasanamulya.
Suharyanta, BP. (2001). „Gurit Sabrangan“ dalam Lirik Lereng Merapi. Yogyakarta: DKS dan Yayasan Aksara Indonesia.
Teeuw, A. (1983). Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Austin Warren. (1989). “Sastra Bandingan, sastra Umum,
dan Sastra Nasional” dalam Theory of Literature, terjemahan Melani
Budianto. Jakarta: Gramedia.
Yamin, Muhammad. (2001). „Gunung Merapi“ dalam Lirik Lereng Merapi. Yogyakarta: DKS dan Yayasan Aksara Indonesia.