PENYAIR
001. Abdul Wahid (Karanganyar)
002.Ali Syamsudin Arsi (Banjarbaru)
003.Alra Ramadhan (Kulonprogo)
004.Alya Salaisha-Sinta (Cikarang Kab. Bekasi))
005. Aloeth Pathi (Pati)
006. Anita Riyani (Tanah Bumbu, Kalsel)
007.Andrian Eksa (Boyolali)
008 .Anung Ageng Prihantoko (Cilacap)
009. Aulia Nur Inayah (Tegal)
010 . Bambang Widiatmoko (Jakarta)
011. Badruz Zaman (Sumenep)
012.Budhi Setyawan (Bekasi)
O13.Devi yulianti wafiah(Paseh)
014.Dewa Putu Sahadewa (Kupang)
015. Dhito Nur Ahmad( Makasar)
016.Dhinar Nadi Dewii (Sukoharjo)
017. Diah Natalia (Jakarta)
018.Diah Budiana (Serang)
019.Dian Rusdiana (Bekasi)
020.Dianie Apnialis M (Bandung)
021.Djemi Tomuka (Manado)
O22.Devi yulianti wafiah(Paseh)
023.Dwi Rezki Hardianto Putra Rustan (Maros)
024.Elvis Regen (Palembang)
025. Ekohm Abiyasa (Karanganyar)
026. Esti Ismawati (Klaten)
027. En Kurliadi Nf (Sumenep)
028.Fatmawati Liliasari (Takalar)
029.Fasha Imani Febriyanti (Bandung)
030.Fitrah Anugerah (Bekasi)
031.Fitrah Rahim. (Maros)
032. Gampang Prawoto (Bojonegoro)
033.Ghufron Cholid (Sampang)
034.Hasan Bisri BFC (Bogor)
035. Hidayatul Hasanah (Trenggalek)
036.Imam Eka Puji Al-Ghazali (Batuputih)
037. I Putu Wahya Santosa (Bulelelng)
038.Iska Wolandari (Ogan Komering Ilir)
039.Jack Efendi (Bekasi)
040.Julia Hartini (Bandung)
041.Lucky Purwantini(Bekasi)
042.Lukni Maulana
043.M. Amin Mustika Muda (Barito Kuala,Kalsel)
044.M. Ardi Kurniawan(Jogyakarta)
045.Malisa Ladini (Semarang)
046.Ma'sum (Sumenep)
047.Muchlis darma Putra (Banyuwangi)
048.Novia Nurhayati (Bogor)
049.Nurul Hidayah (Banjarmasin)
050.Nyi Mas Rd Ade Titin Saskia Darmawan (Denpasar)
051.Niam At-Majha (Pati)
052.Novi Ageng Rizqy Amalia (Trenggalek)
053.Nur Lathifah Khoerun Nisa (Cilacap)
054.Nastain Achmad (Tuban)
055.Nila Hapsari (Bekasi)
056.Pradita nurmalia (Surakarta)
057. Roni Nugraha Syafroni (Cimahi)
058. Rachmat Juliaini (Makasar)
059.Rachmad Basuni
060. Refa Kris Dwi Samanta (Purwokerto)
061.Seruni Unie (Solo)
062.Syarif hidayatullah (Banjarmasin)
063. Sofyan RH. Zaid (Bekasi)
064.Sokanindya Pratiwi Wening (Medan)
065.Sugi Hartono (Batanghari)
066.Suyitno Ethex (Mojokerto)
067. Sindi Violinda(Medan)
068. Tuti Anggraeni (Bekasi)
069.Thomas haryanto soekiran (Purworejo)
070.Vera Mutiarasani (Karawang)
071.Wadie Maharief (Jogyakarta)
072.Wayan Jengki Sunarta
073. Wintala Achmad (Cilacap)
074.Wong agung utomo (Bekasi)
075. Wulandari ( Nawang Wulan)
076. Yusti Aprilina (Bengkulu Utara)
077.Zen AR
078.Diana Roosetindaro (Surakarta)
079.Ardi Susanti (Tulungagung)
080. Lailatul Kiptiyah
081. Munadi Oke
002.Ali Syamsudin Arsi (Banjarbaru)
003.Alra Ramadhan (Kulonprogo)
004.Alya Salaisha-Sinta (Cikarang Kab. Bekasi))
005. Aloeth Pathi (Pati)
006. Anita Riyani (Tanah Bumbu, Kalsel)
007.Andrian Eksa (Boyolali)
008 .Anung Ageng Prihantoko (Cilacap)
009. Aulia Nur Inayah (Tegal)
010 . Bambang Widiatmoko (Jakarta)
011. Badruz Zaman (Sumenep)
012.Budhi Setyawan (Bekasi)
O13.Devi yulianti wafiah(Paseh)
014.Dewa Putu Sahadewa (Kupang)
015. Dhito Nur Ahmad( Makasar)
016.Dhinar Nadi Dewii (Sukoharjo)
017. Diah Natalia (Jakarta)
018.Diah Budiana (Serang)
019.Dian Rusdiana (Bekasi)
020.Dianie Apnialis M (Bandung)
021.Djemi Tomuka (Manado)
O22.Devi yulianti wafiah(Paseh)
023.Dwi Rezki Hardianto Putra Rustan (Maros)
024.Elvis Regen (Palembang)
025. Ekohm Abiyasa (Karanganyar)
026. Esti Ismawati (Klaten)
027. En Kurliadi Nf (Sumenep)
028.Fatmawati Liliasari (Takalar)
029.Fasha Imani Febriyanti (Bandung)
030.Fitrah Anugerah (Bekasi)
031.Fitrah Rahim. (Maros)
032. Gampang Prawoto (Bojonegoro)
033.Ghufron Cholid (Sampang)
034.Hasan Bisri BFC (Bogor)
035. Hidayatul Hasanah (Trenggalek)
036.Imam Eka Puji Al-Ghazali (Batuputih)
037. I Putu Wahya Santosa (Bulelelng)
038.Iska Wolandari (Ogan Komering Ilir)
039.Jack Efendi (Bekasi)
040.Julia Hartini (Bandung)
041.Lucky Purwantini(Bekasi)
042.Lukni Maulana
043.M. Amin Mustika Muda (Barito Kuala,Kalsel)
044.M. Ardi Kurniawan(Jogyakarta)
045.Malisa Ladini (Semarang)
046.Ma'sum (Sumenep)
047.Muchlis darma Putra (Banyuwangi)
048.Novia Nurhayati (Bogor)
049.Nurul Hidayah (Banjarmasin)
050.Nyi Mas Rd Ade Titin Saskia Darmawan (Denpasar)
051.Niam At-Majha (Pati)
052.Novi Ageng Rizqy Amalia (Trenggalek)
053.Nur Lathifah Khoerun Nisa (Cilacap)
054.Nastain Achmad (Tuban)
055.Nila Hapsari (Bekasi)
056.Pradita nurmalia (Surakarta)
057. Roni Nugraha Syafroni (Cimahi)
058. Rachmat Juliaini (Makasar)
059.Rachmad Basuni
060. Refa Kris Dwi Samanta (Purwokerto)
061.Seruni Unie (Solo)
062.Syarif hidayatullah (Banjarmasin)
063. Sofyan RH. Zaid (Bekasi)
064.Sokanindya Pratiwi Wening (Medan)
065.Sugi Hartono (Batanghari)
066.Suyitno Ethex (Mojokerto)
067. Sindi Violinda(Medan)
068. Tuti Anggraeni (Bekasi)
069.Thomas haryanto soekiran (Purworejo)
070.Vera Mutiarasani (Karawang)
071.Wadie Maharief (Jogyakarta)
072.Wayan Jengki Sunarta
073. Wintala Achmad (Cilacap)
074.Wong agung utomo (Bekasi)
075. Wulandari ( Nawang Wulan)
076. Yusti Aprilina (Bengkulu Utara)
077.Zen AR
078.Diana Roosetindaro (Surakarta)
079.Ardi Susanti (Tulungagung)
080. Lailatul Kiptiyah
081. Munadi Oke
Indramayu, 22 Agustus 2014
20 Puisi Pilihan Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia Jilid II
Imam Eka Puji Al-Ghazali
Keterasingan
Kami mulai resah menghitung angka dari jarak kedatangan dan kepulangan. Secepat apa saja yang ada di benak kami itulah yang kami buru dengan gerak dan do’ado’a. Jalan yang mana lagi yang akan kami rangkaki_ mengurai segala asing dan kepenatan. Kami linglung dari mana kami datang, kenapa kami seperti tak mengenal lagi araharah tanah kelahiran.
Sebab terdesak_sesak, oleh tanya dan huru-hara konsep hidup untuk besok, dan lusa, yang terus membahana menyelimuti kuping, hidung, mulut, dan usus.
Kamilah delapan orang pemuda, yang tertatih, _berupaya termuntahkan dari diri gelap dan gempita keterasingan. Bila harus madura lalu apakah kami musti berdiri tegap mengangkat arit. Tapi siapa yang harus mati, Ki Sanak.
Malam telah datang, hanya angin yang dinginnya menulang yang setia memeluk tubuh; tubuh gerincang_cacingan, karena terserang wabah sungkan dan lagi-lagi karena keterasingan. Ah, kami terbuang dari tempat asal, menjumpai mahluk semacam kuntil bermulut lima, giginya bertaring bersilap- silang, yang kapan saja siap jadi pemangsa paling heroik.
Malam kedua ini, kami memilih merapatkan jemari_ menusuk dada langit dengan tembang do’a, kemudian bumi, kami banjirkan dengan air mata tulus pinta agar segalanya berubah jadi asal. Asal mula kita dilecutkan dari rahim tanah ibu yang penuh bunga, yang betapa sangat kami rindui.
Romben Guna, 09/06/13; 10:13 Wib
Hasan Bisri BFC
Kampung Yang Kusanjung
1/ kota santri
ketika orangorang bertanya dimanakah letak kota santri
dengan bangga kutepuk dada, “itulah kotaku.”
maka tak satu pun ada membantahnya
maka kaulihat, saudagarsaudagar merapat
menunggu waktu shalat
perempuanperempuan berkerudung menjadi penyejuk mata
anakanak bersarung batik dengan peci miring tak ketinggalan juga
tataplah masjidmasjid dan mushala riuh suara akanakkanak membaca Alqur’an
tapi itu dulu,
sebab para saudagar melepas lelah di cafe
perempuanperempuan berkerudung membonceng motor pacarnya
dan anakanak asik di depan layar kaca
maka, kelak anakanak kita akan mengenal kota santri dari kamus bahasa
Indonesia
2/ kota batik
ketika orangorang manca menggores tinta
resmilah kota kami menjadi kota batik adanya
kampungkampung dihias dengan gapura perkasa
pembatikpembatik sumringah
para majikan amat bungah
meski serbuan batik murah tak bisa dicegah lagi
Kota Batik, ah berapa hektare sawah menjadi sesak oleh limbah
para petani menggantung cangkul dan berlumur kecewa
ikanikan tak lagi menjadi sahabat nelayan
kampung yang senantiasa kusanjung kini siap menampung bah airmata
Pekalongan, 31 Juli 2014
Lukni Maulana
Padasan Retak di Kotaku
Dimana air sumber ilmu itu
Ku temui ia meluber lalu melukai keindahan
Akan aku cengkram andai tangan ini mampu
Akan kuletakan di kotaku
Menghias wajah suram yang luka
Agar ia bangkit
Terapung diatas sana
Namun sumber ilmu tetap terpasung
Sebab kecoak memberi kabar
Bahwa air padasan telah retak di kotaku
Anak muda penuh panorama desa
Memajang rasa malu ditelinga
Keluar tanpa beban derita
Inilah kebodohan yang belum kusadari
Aku hanya bermimpi atau sekedar harapan palsu
Lalu mati
Aku hanya bertutur kepadanya
sahabat, air hujan memberi keberkahan
tapi hanya sedikit yang kita nikmati
Semarang, 31/07/2014
Wadie Maharief
Kenangan tentang Emak
Perempuan cekatan itu
adalah emakku
Ngurus anak sepuluh hampir tak pernah mengeluh
Serba bisa meski tak pernah sekolah
tapi menjadi guru bagi anak-anaknya
Aku belajar segala dari emak
Mulai menampi beras, menanak dan menjerang air
Bikin gulai dan menyeduh kopi
Emakku perkasa, ratu yang agung
Rumah dan berandanya selalu bersih
Gemulai ia menyapu setiap pagi
Tangannya tak pernah berhenti
Seperti penari yang penuh energi
Aku rindu emak
Yang telah mengajari aku tentang hidup
dan kehidupan ini
Aku mengerti kenapa beras mesti ditampi
Sebelum ditanak, kenapa menyapu
Harus pelan tapi bersih....?
Jangan melakukan kesia-siaan dalam hidupmu, nak….
Begitu pesannya
Yogya, 25 Mei 2014
Ali Syamsudin Arsi
Ia Lekat di Pelupuk Mata
aku pernah kecil dan tak punya daya berlari di antara semak daun embun bahkan ranting duri - ia lekat di pelupuk mata - geriap sungai kecil aku pernah berenang bahkan hampir tenggelam pada pasir di dasarnya - ia lekat di pelupuk mata - suara-suara yang dahulu aku ingat semakin berloncatan di dahan-dahan pohon enau pohon buah karet dan daun-daun pisang sebagai kenangan – terasa sangat purba -
sebatas apa bila rinduku pada rimbun kembali melambai agar pulangku adalah bagian dari kerinduan langka nun jauh sudah jejak kaki berjarak nian dari detak akar-akar padi
ia lekat di pelupuk mata
ibuku menyatukan daun-daun pisang lantas dibawa ke tengah pasar untuk ditawarkan aku ikut di sampingnya dengan langkah kecil tatapan mata kecil dan harapan-harapan kecil – aku pernah kecil dan tak punya daya ketika berlari di jalan setapak yang berkelok-kelok menuju arus sungai berpasir dengan jamban-jamban pemandian – kecipaknya aku sangat merindukan
ia lekat di pelupuk mata
akar-akar padi dalam lumpur mengisyaratkan agar aku lekas-lekas kembali
/asa, banjarbaru, juli 2014
Sokanindya Pratiwi Wening
~kampung halaman ~
kampung halamanku, katamu
dimana? kalau nyatanya aku lahir dan besar di
penjara
hijau hijau itu bukan dedaunan
tapi muka-muka masam bermata dalam
dentum-dentum itu bukan mercon perayaan
namun amuk senjata penuh kemarahan
bukan matahari sebagai teman
diam dan ancaman serupa menu makanan
terhidang kapan saja penguasa doyan
tuhan seperti tidur; aku ngelindur
bicara kampung halaman yang subur makmur
rakyatnya ramah tak doyan tawur
panen kapan saja tanpa nandur;
nyatanya, ayahku mati tanpa kubur
indonesia terbakar tanpa api...!
Krueng Geukueh, 09/06/2014
Anung Ageng Prihantoko
Setapak yang Bercerita
Setapak yang bercerita
Tentang pematangmu yang terlentang
Hilang dihisapi mimpi masa depan
Dadamu yang gembur meriap pucuk-pucuk padi
punah terpendam pertempuran ekskavator dengan
Danyang-danyang yang bimbang
Akar-akar tunggang besi tulangan menerobos bumi menembus perut cacing-cacing tanah
Beton dan batu bata yang tumbuh subur menjalar meraih
Gumpalan awan-awan perawan di langit
Dan rumah-rumah kotak kubus itu telah mengubur tanah rumputan
Anak-anak kami gelisah mencari tempat bermain bola dan mengejar layang-layang
Akhirnya mereka tersesat di rental play station dan sebagian ditelan televisi
Alangkah kenangan kami lindap bersama detik-detik yang ranggas
Pada jam tua yang merangkak di desing angin malam yang asing
Belasan tahun lalu sungai adalah surga tempat kami mencari ikan dan thoe
Dan kemarin sungai itu meratap mengerang
Kesepian dan hampir mayat karena terlupa
Belasan tahun lalu kami asik bergetek di telar mencari biji bunga teratai
Yang di ujung lidah terasa begitu manis dan lezat
Tapi sekarang bunga-bunga itu telah entah
Bulan merah telah rapuh
Tubuhnya mengapur penuh abu
Dulu dia teman kami
Menerangi kami berlari menyusuri ladang-ladang tempat sembunyi
Bermain jonjang umpet selepas isya bersama tawa
Berhari-hari aku mencari
Sekotak permainan masa kecil
: gundu, thihtik benthik, dos-dosan, gobag sodor, jonjang umpet dan permainan lainnya
Akan kuajarkan pada anak-anakku
Tapi tersesat dimana mereka
Aku lupa di ruang otak sebelah mana aku menyimpannya.
Cilacap, 8 Juli 2014
M. Ardi Kurniawan
Purwarupa
Yogyakarta beralih rupa
Menjadi purwarupa ibukota
Jalanan menjadi sesak
Setiap menjelang senja
Setiap vakansi tiba
Orang kota ramai-ramai bergembira
Sementara orang asli Yogya
Terus bekerja dan bekerja
Deru mesin ibukota makin terasa di Yogyakarta
Mendesak-desakkan suaranya
Menggantikan jarak dan jeda
Di antara ruang-ruang kota
[Yogyakarta, 2014]
Sofyan RH. Zaid
Kampung Halaman Kata
kami duduk-duduk sepi # di beranda suatu pagi
cangkir kopi # beraroma hari
hari kamis # selepas gerimis
sisa air menetes dari daun # gending musim mengalun
kami berbincang perihal kabar # sebuah negeri yang terbakar
asap seketika menyebar # dada kami berdebar-getar
kami terbangkan doa # langit merah saga
air mata perlahan batu # mulut kami jadi bisu
kami duduk-duduk sepi # kemudian pergi menunda mati
2014
I Putu Wahya Santosa
Akar Kata
Dengan apa pohon gejolak pikiran
Berkembang biak
Selain dengan cinta akar kata
Yang merentangkan setiap batang gelisahnya
Dengan apa pohon cuaca yang gamang di katakan
Dapat dicerahkan
Selain dengan kebijaksanaan akar kata
Yang selalu memberi kesadaran
bagi jiwa yang ingin bertumbuh
Menjadi dewasa di setiap musim
Dengan apa teka teki akal
Dapat diburu kekal
Selain dengan mempelajari pertumbuhan akar kata
Yang selalu menyerap mata air kedalam nuraninya
Ekohm Abiyasa
Pesan Jogja
lengang malam senin
tulang-tulang dingin
sesekali asap motor melesap
orang-orang di angkringan bertukar cakap
ini sebuah kota yang dingin
jejak-jejak dan memori selalu mengerling
singgahlah ke gubug lama
tempat di mana kata-kata lahir
tempat di mana rindu-rindu mengalir
Jogja selalu berwarna
sudut-sudut kota
matahari pembatas
halaman yang terlepas
Jogja selalu setia
menanam damai
pada pengembaraan yang kian trengginas
Surakarta, Mei 2014
Fatmawati Liliasari
Syair Untukmu, hadiah untuk kotaku
Suatu saat orang-orang akan tahu
Tentang ceritaku, cerita kita
Meskipun aku ragu kau bisa mengenalinya
Wanita penyendiri itu telah melihatmu
Dia mencarimu, menyusuri jalan-jalan
hitam, sawah bertingkat sembari sesekali bercermin
pada dinding kaca berdebu
melihat bayangan raksasa di sebelah sana yang dengan angkuh
hendak mencakar langit.
Dia menemukanmu di sebuah gedung impian
Hamparannya luas, kata orang gedung itu
Adalah rumah para intelektual
Tetapi akhirnya aku hanya merasa gedung ini tak punya nyawa
Ia hanyalah rumah bagi dua tetangga yang selalu bersilang pendapat
Ataukah salah satu dari mereka ketakutan ?
Akhirnya ; kehadiranku di sini dilupakan
Aku berjalan di sampingmu tapi kau tak melihatku
Aku tersenyum ramah tapi engkau bermuka masam
Oh.. betapa kasihan, wangi gadis desa tersapu kelabu
Semburat jingga senyumnya di tampik dingin embun.
Bontorea, 25-27 Juni 2013
Budhi Setyawan
Kodil – Bogowonto
1/
yang memancar kecil
seperti kerlip rindu di kaki Menoreh
lalu mengumpul menyatu
tetes menjelma alir doa dan mantra
lewati rumput dan perdu duri
melalui batu batu sepi
terus melangkah-menari
matamu acap mengerdip pada iklim
susuri liku ranah berpilin
keteguhan pada cita bermukim
dan orang orang mencuci angan
dengan sari kesederhanaan dari curahmu
dan lubuk lubuk nampak berdiam
seperti pertapaan matahari
dalam kegaiban sunyi
2/
dari pinggang Sumbing, muasal lahirmu
lalu memanjang syair dan zikirmu
dengan jeram jeram yang dingin
dan kecipak derai di gulir musim
pandangmu jauh pada kampung dan sawah
dan jemarimu yang asih, menjamah
dahaga yang retakkan iman
hingga batang-batang padi berbinar segar
pepohonan pun turut senandungkan riang
tempat hinggap burung burung
yang betah merawat sarang
dan mereka yang mencari ikan
berkali menebarkan jalanya
mengembangkan harapan
sampai ke langit jernih
tempat bulan bermain
dengan tembang dolanan yang kian lirih
3/
di Tempuran, pertemuan penuh haru
berabad abad dipisah jarak
tanpa kabar dan percakapan, namun
anak dan ibu yang selalu menjaga ingatan
di tebing tebing perasaan
yang kokoh dalam gempuran cuaca
dan tafsir tafsir zaman yang menggema
di antara derap-kerjap pancaroba
tetaplah rekah bunga
tergambar deras arusmu
tekun merawat kesabaran dusun dusun
dan ketabahan penempuhan usia
yang terus mendegup hingga ke muara selatan
membawa asin kenangan ke tanjung perantauan
2014
Syarif hidayatullah
Nun dan Alif kampungku
-di atas pulau terapung
Nun yang bercerita tentang mimpi di kaki bukit
Yang berenang bersama jentik-jentik nyamuk
Sedang katak hanya mampu berceloteh kosong
Dengan keangkuhan yang menggelikan
Nun yang bercerita tentang hujan di sela tawa dan senyuman
Sedang kerenyahan matahari di tertawakan oleh lumut yang menghijau
Karatan-karatan tanah yang menguning dengan bangkai-bangkai perusak bumi
Pohon tak lagi tumbuh
Ia melapuk dalam kebiadaban
Alif yang tegak menjulang di dasar nun yang bergenang kubangan
Pulau-pulau semakin dekat dengan nun
Sedang alif semakin sering dirobohkan
Terkoyak kenistaan
Alif yang tersenyum getir dengan nun
Menangis iba bersama hentakan kaki
Langit penghibur lara
Sedang mesin terus meneriakkan keangkuhannya
Ku punya mimpi
Alif yang tumbuh di atas nun
Hingga bersemayam hutan, kampungku
Besok aku ingin mereka bersatu di atas pulau ini
Banjarmasin, 16 desember 2013
Nurul Hidayah
Episode Yang Hilang
Bundaku mengibarkan selendangnya
Membawaku ke masa di mana aku menjalani masa kecilku
Di bawah pohon kelapa yang melengkung indah
Ditambah pasir putih yang bersahabat dengan gelombang di tepi pantai
Aku bermain dengan deretan semut dan beberapa siput
Lalu aku dipindahkan ke hamparan emas
Aku bernyanyi dengan burung-burung pipit yang mulai menyentuh emas kekuningan berisi
Seketika lagi aku berada dalam gemericik air di bawah dedaunan
Berlari memercikkan air ke sana kemari ditemani terik mentari pagi
Lalu menyapa matahari yang mau kembali ke peraduan
Bundaku berbisik ,”dia mau tidur, sayang”.
Kemudian bundaku kembali membalikkan selendangnya
Kini aku berada di antara bangunan-bangunan yang menjulang tinggi
Mencium bau selokan yang padat dengan sampah
Aliran air kotor mewarnai kehidupan
Ditambah dengan lagu-lagu pertiwi yang berganti isi dan makna
Di mana aku sekarang berada?
Yang kuharapkan hanya satu,”Bunda, bisikkan kembali di telingaku bahwa ini hanya mimpi belaka!”
“Bunda kembali balikkan selendangmu dan kembalikan suasana yang dulu untukku!” rintihku.
Dengan tersenyum lembut ia berkata,” Inilah tempatmu wahai anakku. Lihatlah gedung di sampingmu, sampah di selokan yang sekarang tepat di belakangmu, kebisingan oleh motor di sekitarmu, dan berbagai penyakit yang menghadang jiwa-jiwa yang lengah.”
Kini aku sadar bahwa tanahku telah berubah
Zaman telah berganti dan roda kehidupan terus berputar
Tapi kutekadkan niat dalam hati
Ini adalah tanahku, maka kutakkan tinggalkanmu
Namun, akan kutaklukkan perubahanmu
Bukan waktu yang menguasaimu tetapi aku yang akan mengendalikanmu
Aku mencintaimu wahai tempat hidupku, halaman terindah dalam jilid peristiwa jiwa
Aku rindu dikau yang dulu
Dhito Nur Ahmad
Hari Setelah Gerimis
Kenangan-kenangan, kehilangan-kehilangan, dan kesakitan-kesakitan
Adalah dingin semilir angin setelah gerimis
Pertemuan-pertemuan, janji-janji kebersamaan, dan perpisahan-perpisahan
Adalah langitnya yang berganti lembayung
Selalu ada rinai setelah gerimis
Ingatan tentang bunga kenanga yang berguguran di halaman
Rumah kampung halaman
Mengalirkan air di hadapan wajah
Dingin, dingin tak biasa
Setelah gerimis
Hari mendinginkan tulang
Kenangan menjadi hangat
tentang pohon dan rumput yang berdiam pilu
Menjalarkan kesunyian dan kenangan
Setelah gerimis
Selalu ada sisa rintikan kenangan yang berlalu di balik jendela
Kampung halaman bercerita
Tentang kerinduan dan kekalahan
Bahwa zaman telah merampok semuanya
Setelah gerimis
Langit berwarna lembayung
Lantas sepi pun menari di tepi hari
Makassar, 2014
Esti Ismawati
Selamat Pagi kampungku
semesta begitu hening
embun tersenyum menyambut terang
kelelawar tertidur dan burung sikatan beterbangan
hanyut dalam merdu keroncong Tanah Airku
seekor manyar jantan terlihat sibuk
memungut rumput helai demi helai
dirangkainya megah istana
ia pun siap berumah tangga
seekor manyar betina memandang malu-malu
tersenyum bangga
mengangguk mesra
rumah sempurna bagi anak mereka
selamat pagi kampungku
negeri sepanjang musim
beribu pulau jalin-menjalin
menyatu dalam perahu kedamaian
menyibak riak kehidupan
mendayung beribu ombak perjuangan
melintas samudera asa, menghamba jiwa katulistiwa
menggapai hari-hari penuh mimpi, luas ladang terbentang
satu-satu tergapai menang.
Klaten, 20 Mei 2014.
En Kurliadi Nf
Gubuk Kami
: kapung ragang
di sini, gubuk kami berdiri dan kami bangun
dengan ladang dan kicau burung terbang
bilik pintu dari bambu kuning
jendela tanpa kaca juga
atap dari rumbia kuning campuran kolare
yang di senjai kekeringan
gubuk ini kami bangun dengan keringat kuning
pagi yang merapat pada senja
ternak yang dilepas ke ladang
sedangkan bila terbangun dari tidur
sungai mengirim kecipak airnya kehilir
ke tanah seberang, tempat jagung dan padi tumbuh juga
batu yang kanvas diantara hutan belukar
bila malam larut dan beranjak :bulan mengapung
ke halaman, membuka celana
mematangkan rindu yang diperam bulan
perempuan-perempuan yang dipanggil ibu
oleh anak-anaknya, membuka rahim surganya
sejak kabar magrib membakar sepi
di lenca' kaju ia telah menggantung nasib
yang berputar merapal hidup
berpendar meruangi segala risalah waktu
yang tinggal ampas pada tubuhnya
gubuk ini kami bangun dengan kasih sayang
jauh dari kota-kota yang telanjang
udaranya yang mengapung diantara deru dedaun
musim menyusui aksara hujan
membuat cinta, menyisakan doa
yang halimun : tak pernah sirna
kami ucapkan di beranda sajadah
di sini, gubuk kami berdiri
dengan seribu doa dan cahaya
yang tak akan pernah mati
sampai kami tandas usia
gili-genting, 2013
Roni Nugraha Syafroni
Kebingungan
Liuk lengkung pemandangan hijau permadani,
membuat mata sesiapapun jua tak akan lekang.
Bening air mengalir dari sudut gunung di sisi,
melepas dahaga hati sekecil kapas teruntuk siang.
Hari-hari jemu bagai pindah ke dalam batu hitam sungai,
kokoh menunggu aliran dari hulu hingga hilir.
Pagi yang sendu tak lagi sedang merindu tampak melambai,
mendatangi diri secepat kilat dibantu angin semilir.
Tataplah mata cinta tanpa berkedip,
yakin akan tiada ‘kan berpaling.
Meski hanya sekejap kerlip,
selalu bersama nyanyian seruling.
Terkadang tetesan penyesalan merasuk,
melihat berjuta para perusak berdatangan.
Merayu pohon-pohon hutan dengan buruk,
ceria senyum mistis berubah kritis bersalaman.
Sawah mulailah berubah gelisah,
tampak menunggu untuk dikeringkan.
Canda petani-kerbau sudahlah punah,
buat perasaan padi tak akan dimakan.
Satu niscaya walau begitu,
tetap rakyat akan bangga.
Kepada sang waktu,
selamanya membela.
-Itulah kebingungan untuk kampung halaman yang rata oleh pusat perbelanjaan-
Cijerah-Cikijing, April 2014
Gampang Prawoto
Pelabuhan Jiwa
tengah malam
wajah rembulan tak lagi melukis
ibu menisik selendang
pigura pigura menapak selaksa
gerak nadi hati menghias raut
terusik pada tilas langkah
kaku kaki lalu
imigrasi dari hari kehari
mungkin detik dan menit
kehendak tak ditimpa kisaran waktu
karena jam hanya sebuah rotasi
kalender lusuh kuning kecoklatan
melipat bulan menumpuk tahun
setia pada dinding
dinding penanggalan buram
pendar tanpa merah, hitam atau hijau
rerimbun luput
kelam dipematang hati tanpa hari
imigran - imigran hari
berlayar pada pusaran ombak
hingar terompet, petas kembang api
menutup nanar candikala
ketika hati tertusuk kata
rasa tertikam oleh waktu
hanya tersisa ini hari
hari tanpa hati.
menepi pada arah menara
menara rasa pelabuhan jiwa
Bojonegoro, 27122013
Imam Eka Puji Al-Ghazali
Keterasingan
Kami mulai resah menghitung angka dari jarak kedatangan dan kepulangan. Secepat apa saja yang ada di benak kami itulah yang kami buru dengan gerak dan do’ado’a. Jalan yang mana lagi yang akan kami rangkaki_ mengurai segala asing dan kepenatan. Kami linglung dari mana kami datang, kenapa kami seperti tak mengenal lagi araharah tanah kelahiran.
Sebab terdesak_sesak, oleh tanya dan huru-hara konsep hidup untuk besok, dan lusa, yang terus membahana menyelimuti kuping, hidung, mulut, dan usus.
Kamilah delapan orang pemuda, yang tertatih, _berupaya termuntahkan dari diri gelap dan gempita keterasingan. Bila harus madura lalu apakah kami musti berdiri tegap mengangkat arit. Tapi siapa yang harus mati, Ki Sanak.
Malam telah datang, hanya angin yang dinginnya menulang yang setia memeluk tubuh; tubuh gerincang_cacingan, karena terserang wabah sungkan dan lagi-lagi karena keterasingan. Ah, kami terbuang dari tempat asal, menjumpai mahluk semacam kuntil bermulut lima, giginya bertaring bersilap- silang, yang kapan saja siap jadi pemangsa paling heroik.
Malam kedua ini, kami memilih merapatkan jemari_ menusuk dada langit dengan tembang do’a, kemudian bumi, kami banjirkan dengan air mata tulus pinta agar segalanya berubah jadi asal. Asal mula kita dilecutkan dari rahim tanah ibu yang penuh bunga, yang betapa sangat kami rindui.
Romben Guna, 09/06/13; 10:13 Wib
Hasan Bisri BFC
Kampung Yang Kusanjung
1/ kota santri
ketika orangorang bertanya dimanakah letak kota santri
dengan bangga kutepuk dada, “itulah kotaku.”
maka tak satu pun ada membantahnya
maka kaulihat, saudagarsaudagar merapat
menunggu waktu shalat
perempuanperempuan berkerudung menjadi penyejuk mata
anakanak bersarung batik dengan peci miring tak ketinggalan juga
tataplah masjidmasjid dan mushala riuh suara akanakkanak membaca Alqur’an
tapi itu dulu,
sebab para saudagar melepas lelah di cafe
perempuanperempuan berkerudung membonceng motor pacarnya
dan anakanak asik di depan layar kaca
maka, kelak anakanak kita akan mengenal kota santri dari kamus bahasa
Indonesia
2/ kota batik
ketika orangorang manca menggores tinta
resmilah kota kami menjadi kota batik adanya
kampungkampung dihias dengan gapura perkasa
pembatikpembatik sumringah
para majikan amat bungah
meski serbuan batik murah tak bisa dicegah lagi
Kota Batik, ah berapa hektare sawah menjadi sesak oleh limbah
para petani menggantung cangkul dan berlumur kecewa
ikanikan tak lagi menjadi sahabat nelayan
kampung yang senantiasa kusanjung kini siap menampung bah airmata
Pekalongan, 31 Juli 2014
Lukni Maulana
Padasan Retak di Kotaku
Dimana air sumber ilmu itu
Ku temui ia meluber lalu melukai keindahan
Akan aku cengkram andai tangan ini mampu
Akan kuletakan di kotaku
Menghias wajah suram yang luka
Agar ia bangkit
Terapung diatas sana
Namun sumber ilmu tetap terpasung
Sebab kecoak memberi kabar
Bahwa air padasan telah retak di kotaku
Anak muda penuh panorama desa
Memajang rasa malu ditelinga
Keluar tanpa beban derita
Inilah kebodohan yang belum kusadari
Aku hanya bermimpi atau sekedar harapan palsu
Lalu mati
Aku hanya bertutur kepadanya
sahabat, air hujan memberi keberkahan
tapi hanya sedikit yang kita nikmati
Semarang, 31/07/2014
Wadie Maharief
Kenangan tentang Emak
Perempuan cekatan itu
adalah emakku
Ngurus anak sepuluh hampir tak pernah mengeluh
Serba bisa meski tak pernah sekolah
tapi menjadi guru bagi anak-anaknya
Aku belajar segala dari emak
Mulai menampi beras, menanak dan menjerang air
Bikin gulai dan menyeduh kopi
Emakku perkasa, ratu yang agung
Rumah dan berandanya selalu bersih
Gemulai ia menyapu setiap pagi
Tangannya tak pernah berhenti
Seperti penari yang penuh energi
Aku rindu emak
Yang telah mengajari aku tentang hidup
dan kehidupan ini
Aku mengerti kenapa beras mesti ditampi
Sebelum ditanak, kenapa menyapu
Harus pelan tapi bersih....?
Jangan melakukan kesia-siaan dalam hidupmu, nak….
Begitu pesannya
Yogya, 25 Mei 2014
Ali Syamsudin Arsi
Ia Lekat di Pelupuk Mata
aku pernah kecil dan tak punya daya berlari di antara semak daun embun bahkan ranting duri - ia lekat di pelupuk mata - geriap sungai kecil aku pernah berenang bahkan hampir tenggelam pada pasir di dasarnya - ia lekat di pelupuk mata - suara-suara yang dahulu aku ingat semakin berloncatan di dahan-dahan pohon enau pohon buah karet dan daun-daun pisang sebagai kenangan – terasa sangat purba -
sebatas apa bila rinduku pada rimbun kembali melambai agar pulangku adalah bagian dari kerinduan langka nun jauh sudah jejak kaki berjarak nian dari detak akar-akar padi
ia lekat di pelupuk mata
ibuku menyatukan daun-daun pisang lantas dibawa ke tengah pasar untuk ditawarkan aku ikut di sampingnya dengan langkah kecil tatapan mata kecil dan harapan-harapan kecil – aku pernah kecil dan tak punya daya ketika berlari di jalan setapak yang berkelok-kelok menuju arus sungai berpasir dengan jamban-jamban pemandian – kecipaknya aku sangat merindukan
ia lekat di pelupuk mata
akar-akar padi dalam lumpur mengisyaratkan agar aku lekas-lekas kembali
/asa, banjarbaru, juli 2014
Sokanindya Pratiwi Wening
~kampung halaman ~
kampung halamanku, katamu
dimana? kalau nyatanya aku lahir dan besar di
penjara
hijau hijau itu bukan dedaunan
tapi muka-muka masam bermata dalam
dentum-dentum itu bukan mercon perayaan
namun amuk senjata penuh kemarahan
bukan matahari sebagai teman
diam dan ancaman serupa menu makanan
terhidang kapan saja penguasa doyan
tuhan seperti tidur; aku ngelindur
bicara kampung halaman yang subur makmur
rakyatnya ramah tak doyan tawur
panen kapan saja tanpa nandur;
nyatanya, ayahku mati tanpa kubur
indonesia terbakar tanpa api...!
Krueng Geukueh, 09/06/2014
Anung Ageng Prihantoko
Setapak yang Bercerita
Setapak yang bercerita
Tentang pematangmu yang terlentang
Hilang dihisapi mimpi masa depan
Dadamu yang gembur meriap pucuk-pucuk padi
punah terpendam pertempuran ekskavator dengan
Danyang-danyang yang bimbang
Akar-akar tunggang besi tulangan menerobos bumi menembus perut cacing-cacing tanah
Beton dan batu bata yang tumbuh subur menjalar meraih
Gumpalan awan-awan perawan di langit
Dan rumah-rumah kotak kubus itu telah mengubur tanah rumputan
Anak-anak kami gelisah mencari tempat bermain bola dan mengejar layang-layang
Akhirnya mereka tersesat di rental play station dan sebagian ditelan televisi
Alangkah kenangan kami lindap bersama detik-detik yang ranggas
Pada jam tua yang merangkak di desing angin malam yang asing
Belasan tahun lalu sungai adalah surga tempat kami mencari ikan dan thoe
Dan kemarin sungai itu meratap mengerang
Kesepian dan hampir mayat karena terlupa
Belasan tahun lalu kami asik bergetek di telar mencari biji bunga teratai
Yang di ujung lidah terasa begitu manis dan lezat
Tapi sekarang bunga-bunga itu telah entah
Bulan merah telah rapuh
Tubuhnya mengapur penuh abu
Dulu dia teman kami
Menerangi kami berlari menyusuri ladang-ladang tempat sembunyi
Bermain jonjang umpet selepas isya bersama tawa
Berhari-hari aku mencari
Sekotak permainan masa kecil
: gundu, thihtik benthik, dos-dosan, gobag sodor, jonjang umpet dan permainan lainnya
Akan kuajarkan pada anak-anakku
Tapi tersesat dimana mereka
Aku lupa di ruang otak sebelah mana aku menyimpannya.
Cilacap, 8 Juli 2014
M. Ardi Kurniawan
Purwarupa
Yogyakarta beralih rupa
Menjadi purwarupa ibukota
Jalanan menjadi sesak
Setiap menjelang senja
Setiap vakansi tiba
Orang kota ramai-ramai bergembira
Sementara orang asli Yogya
Terus bekerja dan bekerja
Deru mesin ibukota makin terasa di Yogyakarta
Mendesak-desakkan suaranya
Menggantikan jarak dan jeda
Di antara ruang-ruang kota
[Yogyakarta, 2014]
Sofyan RH. Zaid
Kampung Halaman Kata
kami duduk-duduk sepi # di beranda suatu pagi
cangkir kopi # beraroma hari
hari kamis # selepas gerimis
sisa air menetes dari daun # gending musim mengalun
kami berbincang perihal kabar # sebuah negeri yang terbakar
asap seketika menyebar # dada kami berdebar-getar
kami terbangkan doa # langit merah saga
air mata perlahan batu # mulut kami jadi bisu
kami duduk-duduk sepi # kemudian pergi menunda mati
2014
I Putu Wahya Santosa
Akar Kata
Dengan apa pohon gejolak pikiran
Berkembang biak
Selain dengan cinta akar kata
Yang merentangkan setiap batang gelisahnya
Dengan apa pohon cuaca yang gamang di katakan
Dapat dicerahkan
Selain dengan kebijaksanaan akar kata
Yang selalu memberi kesadaran
bagi jiwa yang ingin bertumbuh
Menjadi dewasa di setiap musim
Dengan apa teka teki akal
Dapat diburu kekal
Selain dengan mempelajari pertumbuhan akar kata
Yang selalu menyerap mata air kedalam nuraninya
Ekohm Abiyasa
Pesan Jogja
lengang malam senin
tulang-tulang dingin
sesekali asap motor melesap
orang-orang di angkringan bertukar cakap
ini sebuah kota yang dingin
jejak-jejak dan memori selalu mengerling
singgahlah ke gubug lama
tempat di mana kata-kata lahir
tempat di mana rindu-rindu mengalir
Jogja selalu berwarna
sudut-sudut kota
matahari pembatas
halaman yang terlepas
Jogja selalu setia
menanam damai
pada pengembaraan yang kian trengginas
Surakarta, Mei 2014
Fatmawati Liliasari
Syair Untukmu, hadiah untuk kotaku
Suatu saat orang-orang akan tahu
Tentang ceritaku, cerita kita
Meskipun aku ragu kau bisa mengenalinya
Wanita penyendiri itu telah melihatmu
Dia mencarimu, menyusuri jalan-jalan
hitam, sawah bertingkat sembari sesekali bercermin
pada dinding kaca berdebu
melihat bayangan raksasa di sebelah sana yang dengan angkuh
hendak mencakar langit.
Dia menemukanmu di sebuah gedung impian
Hamparannya luas, kata orang gedung itu
Adalah rumah para intelektual
Tetapi akhirnya aku hanya merasa gedung ini tak punya nyawa
Ia hanyalah rumah bagi dua tetangga yang selalu bersilang pendapat
Ataukah salah satu dari mereka ketakutan ?
Akhirnya ; kehadiranku di sini dilupakan
Aku berjalan di sampingmu tapi kau tak melihatku
Aku tersenyum ramah tapi engkau bermuka masam
Oh.. betapa kasihan, wangi gadis desa tersapu kelabu
Semburat jingga senyumnya di tampik dingin embun.
Bontorea, 25-27 Juni 2013
Budhi Setyawan
Kodil – Bogowonto
1/
yang memancar kecil
seperti kerlip rindu di kaki Menoreh
lalu mengumpul menyatu
tetes menjelma alir doa dan mantra
lewati rumput dan perdu duri
melalui batu batu sepi
terus melangkah-menari
matamu acap mengerdip pada iklim
susuri liku ranah berpilin
keteguhan pada cita bermukim
dan orang orang mencuci angan
dengan sari kesederhanaan dari curahmu
dan lubuk lubuk nampak berdiam
seperti pertapaan matahari
dalam kegaiban sunyi
2/
dari pinggang Sumbing, muasal lahirmu
lalu memanjang syair dan zikirmu
dengan jeram jeram yang dingin
dan kecipak derai di gulir musim
pandangmu jauh pada kampung dan sawah
dan jemarimu yang asih, menjamah
dahaga yang retakkan iman
hingga batang-batang padi berbinar segar
pepohonan pun turut senandungkan riang
tempat hinggap burung burung
yang betah merawat sarang
dan mereka yang mencari ikan
berkali menebarkan jalanya
mengembangkan harapan
sampai ke langit jernih
tempat bulan bermain
dengan tembang dolanan yang kian lirih
3/
di Tempuran, pertemuan penuh haru
berabad abad dipisah jarak
tanpa kabar dan percakapan, namun
anak dan ibu yang selalu menjaga ingatan
di tebing tebing perasaan
yang kokoh dalam gempuran cuaca
dan tafsir tafsir zaman yang menggema
di antara derap-kerjap pancaroba
tetaplah rekah bunga
tergambar deras arusmu
tekun merawat kesabaran dusun dusun
dan ketabahan penempuhan usia
yang terus mendegup hingga ke muara selatan
membawa asin kenangan ke tanjung perantauan
2014
Syarif hidayatullah
Nun dan Alif kampungku
-di atas pulau terapung
Nun yang bercerita tentang mimpi di kaki bukit
Yang berenang bersama jentik-jentik nyamuk
Sedang katak hanya mampu berceloteh kosong
Dengan keangkuhan yang menggelikan
Nun yang bercerita tentang hujan di sela tawa dan senyuman
Sedang kerenyahan matahari di tertawakan oleh lumut yang menghijau
Karatan-karatan tanah yang menguning dengan bangkai-bangkai perusak bumi
Pohon tak lagi tumbuh
Ia melapuk dalam kebiadaban
Alif yang tegak menjulang di dasar nun yang bergenang kubangan
Pulau-pulau semakin dekat dengan nun
Sedang alif semakin sering dirobohkan
Terkoyak kenistaan
Alif yang tersenyum getir dengan nun
Menangis iba bersama hentakan kaki
Langit penghibur lara
Sedang mesin terus meneriakkan keangkuhannya
Ku punya mimpi
Alif yang tumbuh di atas nun
Hingga bersemayam hutan, kampungku
Besok aku ingin mereka bersatu di atas pulau ini
Banjarmasin, 16 desember 2013
Nurul Hidayah
Episode Yang Hilang
Bundaku mengibarkan selendangnya
Membawaku ke masa di mana aku menjalani masa kecilku
Di bawah pohon kelapa yang melengkung indah
Ditambah pasir putih yang bersahabat dengan gelombang di tepi pantai
Aku bermain dengan deretan semut dan beberapa siput
Lalu aku dipindahkan ke hamparan emas
Aku bernyanyi dengan burung-burung pipit yang mulai menyentuh emas kekuningan berisi
Seketika lagi aku berada dalam gemericik air di bawah dedaunan
Berlari memercikkan air ke sana kemari ditemani terik mentari pagi
Lalu menyapa matahari yang mau kembali ke peraduan
Bundaku berbisik ,”dia mau tidur, sayang”.
Kemudian bundaku kembali membalikkan selendangnya
Kini aku berada di antara bangunan-bangunan yang menjulang tinggi
Mencium bau selokan yang padat dengan sampah
Aliran air kotor mewarnai kehidupan
Ditambah dengan lagu-lagu pertiwi yang berganti isi dan makna
Di mana aku sekarang berada?
Yang kuharapkan hanya satu,”Bunda, bisikkan kembali di telingaku bahwa ini hanya mimpi belaka!”
“Bunda kembali balikkan selendangmu dan kembalikan suasana yang dulu untukku!” rintihku.
Dengan tersenyum lembut ia berkata,” Inilah tempatmu wahai anakku. Lihatlah gedung di sampingmu, sampah di selokan yang sekarang tepat di belakangmu, kebisingan oleh motor di sekitarmu, dan berbagai penyakit yang menghadang jiwa-jiwa yang lengah.”
Kini aku sadar bahwa tanahku telah berubah
Zaman telah berganti dan roda kehidupan terus berputar
Tapi kutekadkan niat dalam hati
Ini adalah tanahku, maka kutakkan tinggalkanmu
Namun, akan kutaklukkan perubahanmu
Bukan waktu yang menguasaimu tetapi aku yang akan mengendalikanmu
Aku mencintaimu wahai tempat hidupku, halaman terindah dalam jilid peristiwa jiwa
Aku rindu dikau yang dulu
Dhito Nur Ahmad
Hari Setelah Gerimis
Kenangan-kenangan, kehilangan-kehilangan, dan kesakitan-kesakitan
Adalah dingin semilir angin setelah gerimis
Pertemuan-pertemuan, janji-janji kebersamaan, dan perpisahan-perpisahan
Adalah langitnya yang berganti lembayung
Selalu ada rinai setelah gerimis
Ingatan tentang bunga kenanga yang berguguran di halaman
Rumah kampung halaman
Mengalirkan air di hadapan wajah
Dingin, dingin tak biasa
Setelah gerimis
Hari mendinginkan tulang
Kenangan menjadi hangat
tentang pohon dan rumput yang berdiam pilu
Menjalarkan kesunyian dan kenangan
Setelah gerimis
Selalu ada sisa rintikan kenangan yang berlalu di balik jendela
Kampung halaman bercerita
Tentang kerinduan dan kekalahan
Bahwa zaman telah merampok semuanya
Setelah gerimis
Langit berwarna lembayung
Lantas sepi pun menari di tepi hari
Makassar, 2014
Esti Ismawati
Selamat Pagi kampungku
semesta begitu hening
embun tersenyum menyambut terang
kelelawar tertidur dan burung sikatan beterbangan
hanyut dalam merdu keroncong Tanah Airku
seekor manyar jantan terlihat sibuk
memungut rumput helai demi helai
dirangkainya megah istana
ia pun siap berumah tangga
seekor manyar betina memandang malu-malu
tersenyum bangga
mengangguk mesra
rumah sempurna bagi anak mereka
selamat pagi kampungku
negeri sepanjang musim
beribu pulau jalin-menjalin
menyatu dalam perahu kedamaian
menyibak riak kehidupan
mendayung beribu ombak perjuangan
melintas samudera asa, menghamba jiwa katulistiwa
menggapai hari-hari penuh mimpi, luas ladang terbentang
satu-satu tergapai menang.
Klaten, 20 Mei 2014.
En Kurliadi Nf
Gubuk Kami
: kapung ragang
di sini, gubuk kami berdiri dan kami bangun
dengan ladang dan kicau burung terbang
bilik pintu dari bambu kuning
jendela tanpa kaca juga
atap dari rumbia kuning campuran kolare
yang di senjai kekeringan
gubuk ini kami bangun dengan keringat kuning
pagi yang merapat pada senja
ternak yang dilepas ke ladang
sedangkan bila terbangun dari tidur
sungai mengirim kecipak airnya kehilir
ke tanah seberang, tempat jagung dan padi tumbuh juga
batu yang kanvas diantara hutan belukar
bila malam larut dan beranjak :bulan mengapung
ke halaman, membuka celana
mematangkan rindu yang diperam bulan
perempuan-perempuan yang dipanggil ibu
oleh anak-anaknya, membuka rahim surganya
sejak kabar magrib membakar sepi
di lenca' kaju ia telah menggantung nasib
yang berputar merapal hidup
berpendar meruangi segala risalah waktu
yang tinggal ampas pada tubuhnya
gubuk ini kami bangun dengan kasih sayang
jauh dari kota-kota yang telanjang
udaranya yang mengapung diantara deru dedaun
musim menyusui aksara hujan
membuat cinta, menyisakan doa
yang halimun : tak pernah sirna
kami ucapkan di beranda sajadah
di sini, gubuk kami berdiri
dengan seribu doa dan cahaya
yang tak akan pernah mati
sampai kami tandas usia
gili-genting, 2013
Roni Nugraha Syafroni
Kebingungan
Liuk lengkung pemandangan hijau permadani,
membuat mata sesiapapun jua tak akan lekang.
Bening air mengalir dari sudut gunung di sisi,
melepas dahaga hati sekecil kapas teruntuk siang.
Hari-hari jemu bagai pindah ke dalam batu hitam sungai,
kokoh menunggu aliran dari hulu hingga hilir.
Pagi yang sendu tak lagi sedang merindu tampak melambai,
mendatangi diri secepat kilat dibantu angin semilir.
Tataplah mata cinta tanpa berkedip,
yakin akan tiada ‘kan berpaling.
Meski hanya sekejap kerlip,
selalu bersama nyanyian seruling.
Terkadang tetesan penyesalan merasuk,
melihat berjuta para perusak berdatangan.
Merayu pohon-pohon hutan dengan buruk,
ceria senyum mistis berubah kritis bersalaman.
Sawah mulailah berubah gelisah,
tampak menunggu untuk dikeringkan.
Canda petani-kerbau sudahlah punah,
buat perasaan padi tak akan dimakan.
Satu niscaya walau begitu,
tetap rakyat akan bangga.
Kepada sang waktu,
selamanya membela.
-Itulah kebingungan untuk kampung halaman yang rata oleh pusat perbelanjaan-
Cijerah-Cikijing, April 2014
Gampang Prawoto
Pelabuhan Jiwa
tengah malam
wajah rembulan tak lagi melukis
ibu menisik selendang
pigura pigura menapak selaksa
gerak nadi hati menghias raut
terusik pada tilas langkah
kaku kaki lalu
imigrasi dari hari kehari
mungkin detik dan menit
kehendak tak ditimpa kisaran waktu
karena jam hanya sebuah rotasi
kalender lusuh kuning kecoklatan
melipat bulan menumpuk tahun
setia pada dinding
dinding penanggalan buram
pendar tanpa merah, hitam atau hijau
rerimbun luput
kelam dipematang hati tanpa hari
imigran - imigran hari
berlayar pada pusaran ombak
hingar terompet, petas kembang api
menutup nanar candikala
ketika hati tertusuk kata
rasa tertikam oleh waktu
hanya tersisa ini hari
hari tanpa hati.
menepi pada arah menara
menara rasa pelabuhan jiwa
Bojonegoro, 27122013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar