Uki Bayu Sejati : SASTRA & JAMAN : SEIRING SEJALAN
gampang-prawoto.blogspot.com
Uki Bayu Sejati
SASTRA & JAMAN : SEIRING SEJALAN
Yang berkecimpung di ranah sastra ingin “memasyarakatkan
sastra—menyastrakan masyarakat”. Yang kiprah di ranah olahraga sudah
lama mencanangkan “memasyarakatkan olahraga, mengolahragakan
masyarakat”, yang berselancar di ranah matematika berjuang
“memasyarakatkan matematika—mematematikan masyarakat” (hati-hati
membaca, hindari lidah keseleo).
Jadi, pepatah “kepala sama hitam,
pendapat berbeda-beda” pas dan tepat. Kaitan dengan jargon-jargon yang
terpampang di paragraf awal jelas. Di antaranya begitu banyak kepala
manusia di dunia ini yang keinginan, niat, hasratnya dibuat jargon dan
diminati oleh sebagian anggota masyarakat. Andai semua dipublikasikan
maka riuh-rendah dan semaraknya wacana yang beredar di sekitar kita.
Pada saat yang sama sebenarnya dalam diri setiap manusia sudah begitu
bersliweran niat, hasrat, beserta potensi-potensi lainnya.
Sama
halnya dengan kenyataan bahwa sejak lahir setiap manusia memiliki status
dan peran. Janin dalam rahim bunda adalah status, namun sudah berperan,
antara lain: menjadi harapan pasutri maupun kakek-nenek, termasuk
menjadi incaran produsen susu untuk dijadikan konsumen. Makin tambah
usia makin banyak status dan peran yang disandang setiap manusia, maka
bukan mustahil terjadi “ketegangan”. Misal, statusnya anak usia lima
tahun, perannya siswa baru di Taman Kanan-kanak, mestinya ia menjalankan
perannya itu, namun entah kenapa pagi itu mogok. Bagaimana sosok
manusia yang berstatus ibu maupun guru harus melakukan perannya agar si
anak pulih? Jadi, tampak besar-kecilnya porsi peran yang di”main”kan
oleh status-status makhluk berpengaruh terhadap “ketegangan” di antara
sosok-sosok manusia.
Sapardi Djoko Damono—saat menjadi pembicara
pada peluncuran buku puisi Tiga Menatap Takdir, awal bulan
ini—berpendapat bahwa pernyataan yang antara lain menyatakan anak remaja
sekarang malas membaca buku sebaiknya tak dinyatakan lagi. Dengan kata
lain diralat. Sebab, anak remaja masa kini hidup di tengah pusaran
pesatnya teknologi komunikasi yang dalam waktu “sedetik” dapat mengakses
sekian banyak informasi, itu galibnya sama dengan sedang membaca. Buku
yang berupa kertas lambat laun bakal paperless. Jika sekian tahun lalu,
kita amat sering melihat sosok-sosok manusia di suatu negara ketika
berada dalam trem, bus, terus membaca buku sambil berdiri dengan dua
kakinya, sekarang sudah berubah. Alat yang dipegang, berupa gadget,
seluler, elektronik yang fiturnya lengkap, diutak-atik, tak peduli duduk
lesehan, jongkok maupun berdiri—dengan tekun dan asyik—sekali pun
dengan satu tangan.
Dunia berubah. Ya dan pasti.
Demikian pun
di “dunia” sastra. Jelas selalu berada di dalam pusaran perubahan
bersama “dunia-dunia” lain, saling berelasi, berinteraksi,
pengaruh-mempengaruhi, dan sebagainya.
Sastra adalah produk budaya
karya manusia—yang minat, senang, nikmat terhadap keindahan. Maaf,
hindari mengklaim bahwa hanya sastra yang akrab dengan estetika. Karena
Sang Maha Pencipta menyukai keindahan maka setiap mahluk dilengkapi
dengan keindahan maupun rasa indah dan mampu merasionalkannya. Jadilah
berbagai cabang, aliran, jenis, bentuk yang sedemikian ragam, beserta
posisi dan porsi masing-masing yang berbeda.
Tanpa ingin menggurui
bolehlah kita saling mengingatkan ihwal luasnya pengertian ‘sastra’.
Bukan hanya menulis dalam artian menyambung huruf menjadi suku kata,
kata, kalimat yang ditatah apik di daun lontar maupun kayu, digoreskan
tangan jemari dengan halus dan indah di kertas dan kain, jadi
simbol-simbol teknik informatika di komputer, seluler, juga—jangan
lupa—tentang sastra lisan utamanya yang tradisional wedarkan kebijakan
lokal dari jenius empu lokal, dan lebih dari itu sedemikian tak
terhingga ‘sastra’ yang masih imaji berkeliaran di mayapada.
Jadi
tak berhenti dan terpaku pada buku. Begitulah mestinya kita semua
sampaikan kepada sedulur-sedulur yang berstatus guru di
sekolah/madrasah/pesantren, pedagang/pengusaha di kaki lima sampai
gedung pencakar langit, sipil—militer, politisi—birokrat, dan
sebagainya. Marilah membuka pancaindera, aqal qalbu, rohani
jasmani—luaskan wawasan. Siapa pun memiliki potensi ‘sastra’ dalam
dirinya. Maka saat ia menyampaikan kepada sesiapa galibnya ia boleh
disebut ‘sastrawan’, sebagaimana kita semua memiliki banyak status dan
peran. Sekali lagi, yang berbeda tentu pada posisi dan porsinya.
Dengan demikian bukan mustahil pengertian ini membongkar batasan-batasan
yang selama ini mengangkangi dan mengungkung kita. Di ‘dunia’ sastra
boleh saja ada angkatan “Poejangga Baroe”, ”Angkatan ’45”, “Angkatan
Balai Poestaka”, “Angkatan ’66”, ”Angkatan 80”, “Angkatan Facebook”, dan
seterusnya, yang penting tak saling menghakimi, meninggikan
diri/kelompok sendiri—merendahkan pihak lain.
Tentu saja bakal ada
yang bertanya ihwal mutu alias kualitas, yang mengartikan adanya yang
‘menilai’ dan ‘yang dinilai.’ Karena kita yakin bahwa setiap manusia
memiliki hak sekaligus kewajiban, maka pada hakikatnya “penilaian”
bagaimana pun sifatnya relatif. Saat kita sebut: sesuatu, maka
sebenarnya masih bisa digali lagi apa dan bagaimana “sesuatu” itu. Ini
menunjukkan pengetahuan manusia di suatu waktu terbatas, dan terus
berkembang. Yang kita nilai hari ini “buruk” besok berubah jadi “belum
bagus,” setahun kemudian ada yang menyatakan “bagus.” Ya, bukan mustahil
demikian, karena segalanya berubah, bahkan kata ‘ubah’ itu sendiri
selorohnya, a.l. change (Inggris), obah (Jawa), anderung/tausch
(Jerman), autre (Prancis).
Dunia berubah. Ya dan pasti.
Maka
ada baiknya kita senantiasa belajar, belajar dan belajar. Hindari
perasaan terlambat. “Pendidikan berlangsung dari janin sampai liang
lahat”. Mempelajari, meminati, menikmati, mengolah sastra secara kreatif
seiring sejalan dengan perubahan jaman. Demikian pula dengan berbagai
kegiatan kehidupan lainnya. “Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh
hujan”. Tetap dan terus semangat. Mudah-mudahan bermanfaat. (Uki Bayu
Sedjati).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar