gampang-prawoto.blogspot.com
Puisi dan Pengajaran Apresiasi Sastra
.blogspot.com
gampang-prawoto.blogspot.com
Puisi dan Pengajaran Apresiasi Sastra
oleh
Ahmadun Yosi Herfanda
pengajar dan pelayan sastra
Fungsi karya sastra
Karena memiliki muatan nilai-nilai yang mulia, karya sastra penting
diapresiasi oleh masyarakat luas agar mereka dapat ikut tercerahkan oleh
karya sastra, dan ikut mewarisi nilai-nilai yang terkandung di dalam
karya sastra tersebut. Dan, memang, salah satu fungsi terpenting karya
sastra adalah sebagai media pewarisan nilai, pencerdasan dan pencerahan
bagi pembacanya. Dalam konteks pendidikan, karya dapat dianggap sebagai
media pendidikan nilai yang efektif karena dapat bersentuhan langsung
dengan pikiran dan perasaan siswa.
Pewarisan nilai, pencerdasan dan
pencerahan masyarakat melalui karya sastra tidak akan terjadi jika
masyarakat tidak memiliki sikap apresiatif dan tidak memiliki kemampuan
apresiasi sastra yang memadai. Ibarat gayung yang harus bersambut,
karya-karya sastra yang dicipta oleh para sastrawan, yang mengandung
nilai-nilai mulia itu, memang harus disambut sikap apresiatif masyarakat
calon pembacanya. Tanpa sambutan sikap apresiatif, karya-karya sastra
itu, bagaimanapun bagus kualitas estetik dan mulia muatan nilainya, akan
menjadi sia-sia saja, karena hanya akan menumpuk di toko buku atau
lapuk di gudang penerbit.
Indikator terpenting adanya sikap
apresiatif terhadap karya sastra adalah adanya minat baca yang tinggi
terhadap karya sastra. Karya-karya sastra dikonsumsi dengan baik oleh
masyarakat luas dan terjual dengan baik di toko-toko buku.
Perpustakaan-perpustakaan yang menyediakan karya sastra juga banyak
dikunjungi peminat untuk membaca karya-karya tersebut. Karya-karya
sastra yang menarik tidak menumpuk lama di toko buku atau lapuk di
gudang penerbit. Sistem industri karya sastra berputar dengan sehat dan
memberikan kesejahteraan yang sepadan bagi para pencipta karya sastra.
Tingkat apresiasi sastra masyarakat sangat terkait dengan pengajaran
sastra di sekolah. Peran lembaga pendidikan sangat penting untuk
menumbuhkan sikap apresiatif terhadap karya sastra sejak dini.
Pengajaran sastra harus berjalan dengan baik, agar kemampuan dan sikap
apresiatif siswa terhadap karya sastra dapat tumbuh secara sehat.
Keluaran (out put) pengajaran sastra yang berhasil adalah minat baca
yang tinggi dan kemampuan yang memadai untuk mengapresiasi karya sastra.
Begitu lulus dari lembaga pendidikan tingkat menengah, mereka mencintai
karya sastra dan ingin terus menikmati karya-karya sastra yang
berkualitas dengan membeli buku-buku sastra. Jika setelah lulus, minat
baca mereka tetap rendah dan tidak bersikap apresiatif terhadap karya
sastra, berarti pengajaran sastra di sekolah telah gagal.
Solusi pengajaran sastra
Persoalan utama yang hingga kini masih menghambat pengembangan
pengajaran apresiasi sastra di sekolah menengah adalah masih melekatnya
pengajaran sastra pada pengajaran bahasa (Indonesia). Artinya,
pengajaran sastra hanya ditempatkan sebagai salah satu aspek pengajaran
bahasa – aspek-aspek lainnya adalah keterampilan membaca, menulis,
mendengarkan, berbicara, dan tata bahasa. Posisi melekat itu masih
bertahan pada era Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), pada era
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan pada era Kurikulum 2013
sekarang ini.
Dengan posisi melekat pada pengajaran bahasa,
pelaksanaan pengajaran sastra akhirnya akan sangat bergantung kepada
guru-guru bahasa. Jika sang guru bahasa memiliki apresiasi sastra yang
tinggi, maka pengajaran sastra juga akan mendapatkan perhatian yang
lebih. Tetapi, jika gurunya tidak memiliki minat terhadap sastra, atau
memiliki apresiasi sastra yang rendah, maka pengajaran sastra cenderung
akan dilaksanakan apa adanya saja sesuai materi yang ada di buku
pegangan. Guru tidak akan tertarik untuk bersungguh-sungguh meningkatkan
apresiasi, wawasan dan minat baca siswa terhadap karya sastra.
Prestasi siswa dalam pengajaran sastra yang tidak muncul sebagai nilai
(rapor) tersendiri tapi hanya menjadi bagian dari nilai bahasa, juga
tidak dapat mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh dalam pelajaran
sastra. Cukup logis jika para siswa merasa tidak perlu
bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena
prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih
dari 20 persen nilai bahasa Indonesia pada rapornya—persentase nilai
lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis,
dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang
rendah.
Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq
Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembali agar pelajaran sastra
dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia, terutama sejak
pendidikan tingkat SMU. Rasanya, inilah cara paling tepat agar
pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal.
Dengan pemisahan seperti itu, maka mata pelajaran sastra akan berdiri
otonom dan akan menyumbangkan nilai 100 persen pada rapor atau nilai
Ujian Nasional (UN) siswa. Pemisahan itu cukup dimulai sejak SMU, karena
pada jenjang itu penguasaan bahasa siswa rata-rata sudah cukup memadai,
dengan daya penalaran yang cukup matang dan pada usia itulah minat dan
bakat khusus siswa perlu diberi peluang untuk tumbuh lebih menonjol,
termasuk bakat menjadi sastrawan.
Dalam posisi yang masih menyatu
dengan pelajaran bahasa, pada akhirnya, efektif tidaknya pengajaran
sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya
sastra sangat bergantung kepada guru bahasanya. Jika sang guru bahasa
tidak memiliki minat terhadap sastra, serta apresiasi dan pengetahuan
sastranya rendah, maka sulit diharap akan melaksanakan pengajaran sastra
secara maksimal, kreatif, dan efektif. Dan, jika kebanyakan guru bahasa
Indonesia berkarakter demikian, maka pengajaran sastra akan tetap
menuai kegagalan demi kegagalan.***
Pamulang, November 2013
.blogspot.comgampang-prawoto.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar