gampang-prawoto.blogspot.com
(PROSES KREATIF “SENANDUNG BUNGA RINDU KETIKA LEPAS DINI HARI MULA PERJALANAN KETIKA SAAT ITU TIBA DAN PUISI MIMPI PENYAIR”)
jadilah mantra pembunuh yang maha dahsyat
ketika bahasa dunia hanya satu
maka bumi pun tak lagi terbelah budaya
sekarang kenangan itu tinggal membias pada kaca yang tempias gerimis sore yang mulai muram menutup senja dengan berita di televisi yang tak pernah padam
banggar di DPR kehilangan silet tajam penyikat
ketika anggota DPR sibuk menyiasati anggaran untuk tungku hidup partai
para kritisi memojokkan diri di sudut kafe riuh menggigit jari
ketika para politisi kuyup dengan uang siluman
para menteri pun berjamaah menjarah anggaran
ketika para pegawai negeri mengikuti jejak pejabat atasannya
tinggal rakyat pedagang asong, kaki lima, kelontong dan tukang tagih merenungi masa depan
ketika penyair kehilangan makna kata
layaknya penggiat LSM kehilangan klien dan penyandang dananya
ketika guru tak lagi mendidik dan mengajar
murid siswa mahasiswa tak lagi berbicara tentang akademis
ketika puisi dituliskan untuk menyapa
puisi kehilangan gema estetika karena memuat kisah nyata tanpa basa-basi
ketika bahasa kehilangan struktur dan sistem bunyi
jadilah mantra pembunuh yang maha dahsyat
ketika bahasa dunia hanya satu
maka bumi pun tak lagi terbelah budaya
ketika bumi berhenti beredar pada porosnya
musimpun mati
pendudukpun kalang kabut
matahari hanya menyosor pada belahan bumi yang terhenti
kehidupan boleh dikata sebagai kiamat
ketika ketika tak ada lagi masa
kau dengar sendiri tembang disenandungkan dikejauhan samar-samar melewati labirin masa remajanya yang dihabiskan dengan memburu binatang di tepi hutan menangkap ikan di palungan dan menaiki punggung kerbau yang senantiasa berlumur lumpur sawah hingga senja jatuh meninggalkan warna kesumba
kau simak wejangan demi wejangan di surau yang kusam dan roboh menjelang prahara bangsa yang saling berbunuhan waktu itu dan menyisakan curiga dan was-was hingga pada catatan tanda pengenal penduduk dan cap-cap merah darah yang melambangkan kebringasan serta senjata yang sesungguhnya adalah alat petani dan buruh bekerja
kau ngungun kini ketika menoleh ke masa silam karena ternyata tidak saja rambutmu, matamu, tulangmu yang memutih tetapi segalanya tentang masa lalu menjadi semacam kain kafan yang dulu kau kalungkan saat kau putari batu hitam rumahNya di tanah haram
kau mencoba menuliskan membacakan pada mata kanak-kanak yang suka datang bertanya tentang segala ungkapan bahasa yang dipunguti di ruang kelas maupun ketika berjalan pulang seusai pelajaran sekolah oleh anak itu dengan jujur tidak tahu kepada siapa yang dapat menerangkan kenapa bulan menyusuri langit malam-malam juga tentang beburungan yang juga ada yang terbang malam hari memburu mangsa apalagi hal-hal seperti kelelawar yang tidak dapat digolongkan sebagai beburungan
anak itu anak tetangga bukan anak keturunanmu yang merupakan gambaran masa depan yang dulu selalu kau bayangkan menyenangkan penuh tualang melawan terjangan halangan menciptakan nyanyian kepahlawanan
anak secerdas itu senantiasa menemuimu seusai makan siang sambil menunggu kedua orangtuanya pulang kerja sebagaimana dulu kau menunggu kakek-nenekmu pulang dari ladang atau pasar yang kadang-kadang menenteng buah tangan berupa kudapan sore atau sekedar buah yang dijumput di pematang atau pekarangan tetangga yang seakan saudara kandung tempat mengeluh dan meminta petuah
anak itu memandang jauh ke depan akan cita-cita pengharapan sementara dirimu merajut doa untuk bekal menuju peristiarahan yang sudah tersiapkan di pinggir desa dengan naungan kerimbunan pohon beringin tua dan mata anak itu seperti lorong masa lalumu yang menghubungkan kegamangan hidup dan hasil yang selalu menggairahkan untuk diceritakan pada tetangga duduk saat naik kereta api menuju kota
kota yang berhutan beton bertulangan dengan lumuran cat-cat grafiti yang disemburkan remaja kota yang melumurkan kesan kusam dan jelaga
sesudah kedua kaki melangkah mulut mungilnya mengeja nama-nama benda di alam dan memanggil nama yang dikenal mulai kehidupan dengan warna yang tak senantiasa seperti pengharapan dan impian seakan cuaca musim yang silih berganti
sekarang kenangan itu tinggal membias pada kaca yang tempias gerimis sore yang mulai muram menutup senja dengan berita di televisi yang tak pernah padam
jangan kau urai burai air matamu sepanjang perjalanan menuju ujung desa dengan rindang pepohonan dan sepi yang membatu
jangan lagi kau ceritakan masa-masa kebersamaan sesamamu cukup kau selipkan dalam setiap puisi yang kau lahirkan setelah kepergian ini
(PROSES KREATIF “SENANDUNG BUNGA RINDU KETIKA LEPAS DINI HARI MULA PERJALANAN KETIKA SAAT ITU TIBA DAN PUISI MIMPI PENYAIR”)
oleh Cunong N. Suraja
Puisi memang lahir
dari pergulatan batin penyair yang suntuk dirajam gagasan dan imajinasi
yang saling berpagutan. Puisi sengaja ditelorkan menghindarkan
beban-beban kepenuhan obsesi penyair atas gebalau rasa dan karsa yang
berjumpalitan. Maka ketika kesuntukan memerlukan pemenuhan hasrat
pelampiasan kata-kata muncrat tak terbendung berderet menjajari
imajinasi dan segala kemampuan keilmu-pengetahuan yang teraduk dasarnya
membenamkan cakrawala wawasan.
Tergoda atas desakan
lingkungan, berita televisi dan koran-koran cetak dan ketersudutan dari
ketidakberdayaan pembelaan memunculkan anarki gagasan untuk mengumpat
secara estetis tanpa nafas tanpa jeda. Berlarilah jemari meloncati
tanda-tanda yang menghubungkan lambang dan penanda bahasa dan menjawab
tantangan kebuntuan suntuk yang menggelegak bak lava gunung berapi
mencari cara menjebol kepundan sumbatan.
Tergoda untuk
merefleksi kaca cermin memantulkan kilat bayang-bayang yang oleh Subagio
Sastrowardoyo dianggap letikan yang menyalakan pijar puisi sajak atau
karya kreatif yang lain. Jika JSTH (baca Hudan Hidayat penulis buku Nabi Tanpa Wahyu) berceloteh:
saya
kurang tahu mengapa cunong kurang gemar bermain tanda baca dalam puisi
puisinya. apakah motif dirinya yang seolah menyerakkan kata, manabrak
saja tanda baca dalam puisi. ia seorang akademisi dan rasanya kita yang
naif kalau mengalamatkan kepada cunong, bahwa dia tidak paham akan arti
kehadiran titik atau koma pada baris dalam puisi.( http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150335878277546).
Memang sebenarnya puisi mempunyai wilayah tanda
baca tersendiri yaitu irama, ritme, rima dan aliterasi yang kadang
muncul dengan sendirinya tanpa dituntun teori sastra yang
‘ndakik-ndakik’ alias tak teraih oleh tangan manusia biasa karena
keadiluhungannya.
Tak heran kalau
kemudian JSTH menyerahkan pada intusi yang lebih dipercayai daripada
rekayasa rasa otak yang selalu mencari pembenaran pada filsafat, logika
dan keteraturan makna. Maka JSTH pun berujar:
sejenak
saya mengikuti gerak dari arah yang ditunjukkan oleh penyair ini, tapi
apa yang saya cintai dari kehadiran sebuah puisi, mendadak menghilang.
seolah saya memasuki dunia yang tak lagi ada strukturnya. struktur
adalah ikatan ikatan dari bagian bagian, sehingga ikatan ikatan itu
membentuk struktur. dan dalam ikatan ikatan, kita menjumpai simpul
simpul dan setiap kita berjumpa dengan simpul, yang diikat oleh tanda
baca, sebuah ide diselesaikan - untuk kelak berlanjut lagi. dan kita pun
berdiam dalam ide yang selesai itu.
Simak betapa JSTH mempercayai tanda baca tapi
menemukan juga jejak irama tanpa tanda baca. Baiklah itu ‘otowacono’
untuk menggiring sepemahaman atau jejak liar yang terkuak hingga
terperosok pada kepenuhan beban yang mesti disebar-luaskan dalam bentuk
puisi yang bercerita karena pada dasarnya jejak itu tanggapan atas
pertemanan yang saling melempar status atau gagasan dalam kotak-kotak
komentar Facebook. Facebook memfasilitasi keliaran itu hingga
kadang-kadang seperti ‘tong sampah’ atau tempat pembuangan akhir semua
kerak gagasan, walau tak dapat dipungkiri kerak-kerak itu seperti nama
makanan orang Betawi yang tergabung dari nasi dan telor yang dipanggang
hingga coklat matang bernama kerak telor.
Proses kreatif pertama
ketika sajak-sajak ini terlahir sebenarnya merupakan tanggapan demi
tanggapan yang tersusun karena memang kelincahan jeda waktu tersedia
pada kilatan kerjap pengiriman posting di internet. Lihatlah jejak itu
tandinya samar tapi lama-lama terekat setelah tersentuh editing
suntingan seusai pembacaan ulang apalagi setalah tertanggapi pembaca
semacam JSTH yang tengil dan usil untuk mengata-ngatai ‘anak haram’ yang
bejalan beriringan - menurut istilah Subagio Sastrowardoyo puisi atau
sajak adalah anak haram penyair sedangkan Susy Ayu penyair yang lahir di
era cyber lebih menekankan pada anak hasil pemerkosaan pada kata-kata
yang semula sudah dikredokan Sutardji CB dibebaskan dari beban makna
menjadi mantra.
SENANDUNG BUNGA
RINDU terlahir dari percakapan kotak komentar dalam Facebook yang saat
ini kegelisahan mencapai usia genap enampuluh tahun menggelayut nyaris
tanpa upacara karya yang fenomenal apalagi haru biru penyemangatan bagi
mereka yang mengetahui kecuali Heru Emka dari Semarang yang
mengkhususkan menyusun imaji dalam bentuk puisi:
THE DAYS OF LIFE
bagi ulang tahun Cunong Nunuk Suraja
awal ke akhir
sibuk berpikir
mengurai tafsir
merawat takdir
hari ke lari
menembus sisi
memutus nyeri
menghimpun diri
isak ke gelak
retak ke hentak
memancang jejak
mendaki puncak
pilu ke haru
menimbang ragu
di deras waktu
menghilang lalu
lurus ke lingkar
hangus terbakar
resah ditawar
kesah ditukar
ingat ke lupa
tersengat alpa
terundung kata
terbingkai makna
ujung ke pangkal
murung terpental
menolak sesal
menangkis ajal
jam dua pagi, 11oktober, dalam sunyi
berkawan lagu bohemian rhapsody –
Heru Emka dengan gaya music staccato memotret
sosok usia enampuluh yang mulai guyuh tanpa tongkat kepenyairan yang
berkepala naga bertatahkan intan mutiara dan menyimpulkan dengan
bungahan kata-kata merekah “setelah melewatkan sederet panjang usia,
dia sampai juga pada makna: tumpukan cita-cita yang disusun satu demi
satu, telah menjadi semacam prasasti.”
Kerinduan yang digumamkan penyair itu selalu
terikat waktu, jadwal kepastian berangkat dan pergi dan catatan dalam
bubu-buku perpustakaan. Menunggu usia enam puluh seperti menunggu kereta
tetapi selalu tertinggal ‘tapi selalu saja setiap saat ketinggalan kereta yang singgah’ dan ’semakin jauh dari kesetiaan pada waktu.’
Kondisi ini semacam alasan kenapa hingga saat ini tak ada yang menjadi
master piece atau kebanggaan atas ulah kerja kreatifnya. Senantiasa
merasa tertinggalkan dan tersia-sia. Juga ketika bicara tentang
lingkungan masyarakat luas Indonesia yang terbias pada prilaku pejabat
negara dan pengawas prilaku pejabat negara yang ‘selingkuh’ untuk tidak
mengatakan maling anggaran. Sajak KETIKA mencoba
mengunggah pandangan mata atas berita televisi dan koran cetak tentang
badan negara yang punya kerja membongkar kecurangan dan keculasan para
penguasa dan pelaku pemerintahan. Maka simpulan yang getir ini menggupal
dalam jejak sajak menjelang usia enampuluh tahun itu:
ketika puisi dituliskan untuk menyapa
puisi kehilangan gema estetika karena memuat kisah nyata tanpa basa-basi
ketika bahasa kehilangan struktur dan sistem bunyipuisi kehilangan gema estetika karena memuat kisah nyata tanpa basa-basi
jadilah mantra pembunuh yang maha dahsyat
ketika bahasa dunia hanya satu
maka bumi pun tak lagi terbelah budaya
Refleksi
kehidupannya seakan juluran lilitan seluloid film documenter yang
terprojeksi di tembok waktu dengan deting-deting music tunggal nada. Ini
tampak pada sajak yang membalada atau memprosa pada LEPAS
DINI HARI. Saat orang terbangun tak sengaja karena ingin ke belakang
atau bagi pemeluk agama yang teguh saat-saat mendekatkan diri pada
tuhannya untuk meminta sesuatu yang sangat-sangat jarang dapat terpenuhi
tanpa kerja keras dan sungguh-sungguh dan bukan sekedar menggantungkan
cita-cita di langit tinggi-tinggi.
Seperti saat sang dalang wayang kulit atau golek membuka pergelaran mengenalkan pandangan mata atas sebuah negara impian:
kau
bicara sendiri pada pojok sunyi rumah tinggal di ujung negeri musim
berganti bersama kepak kelelawar melempar sisa buah dan jejak hujan yang
masih ricik di selokan mengingat masa-masa menuju rumah desa tempat
kakek nenek menunggu panenan padi yang senantiasa berebut dengan burung
dan tikus yang dicoba dicatat untuk menyambut liburan cucu-cucunya yang
selalu makan lahap beras tumbukan lesung yang sudah hilang gemanya saat
kini yang berubah jadi deru mesin pengelupas bulir tanpa menyisakan
sari-sari yang dulu dimaknai sebagai makanan ternak
Paparan begitu mengalir dengan selingan denting
bunyi nada tunggal menuju pada tukikan masa-masa kecil, remaja, perjaka
dan sekarang manusia usia tua. Masa depan yang dipandankan dengan masa
kanak-kanak yang kehilangan pengawasan orang tua modern yang sibuk
memburu dolar.
anak
itu memandang jauh ke depan akan cita-cita pengharapan sementara dirimu
merajut doa untuk bekal menuju peristiarahan yang sudah tersiapkan di
pinggir desa dengan naungan kerimbunan pohon beringin tua dan mata anak
itu seperti lorong masa lalumu yang menghubungkan kegamangan hidup dan
hasil yang selalu menggairahkan untuk diceritakan pada tetangga duduk
saat naik kereta api menuju kota
Sisa-sisa kenangan itu terus memburam dalam percakapan orang tua dalam perjalanan yang tak usai-usai: ‘kota
yang berhutan beton bertulangan dengan lumuran cat-cat grafiti yang
disemburkan remaja kota yang melumurkan kesan kusam dan jelaga’.
Semuanya terkristalkan dalam jejak sajak MULA PERJALANAN yang dikutip secara utuh.
sesudah sabda
dibisikkan di kanan kiri telinga serta seruan yang maha agung
dibisikkan dengan tawaduk tangis itu menguak malam hingga fajar untuk
merapat ke bukit kehidupan yang memancarkan daya hidup yang senantiasa
memuaskan rasa lapar dahaga yang selama sembilan bulan sepuluh hari
dihisapnya lewat sulur-sulur kehidupan ibu yang rumit diceritakan
sesudah kedua kaki melangkah mulut mungilnya mengeja nama-nama benda
di alam dan memanggil nama yang dikenal mulai kehidupan dengan warna
yang tak senantiasa seperti pengharapan dan impian seakan cuaca musim
yang silih bergantisekarang kenangan itu tinggal membias pada kaca yang tempias gerimis sore yang mulai muram menutup senja dengan berita di televisi yang tak pernah padam
Bayangan buram demi
bayangan buram terus menerus menghunjam tajam pada layar-layar batin
yang sudah tidak putih lagi, bahkan ada yang robek sana-sini dan dengan
tunduk yang memahami bukan kepasrahan yang terbelenggu terkuak
keperkasaan diri pada kenyataan usia tua:
jangan kau
urai burai air matamu sepanjang perjalanan menuju ujung desa dengan
rindang pepohonan dan sepi yang membatu jangan lagi kau ceritakan
masa-masa kebersamaan sesamamu cukup kau selipkan dalam setiap puisi
yang kau lahirkan setelah kepergian ini senantiasa catatan demi catatan
kemarin dapat kau rapi tambahkan sehingga akan menjadi acuan generasi
mendatang
Adakah mimpi yang
masih tersisa di ujung usia yang mulai merasa sia-sia mengejar asa?
Atau penyair telah menyadari bahwa keperkasaan lahir fisik mengurung dan
menunda kekalahan demi kekalahan seperti yang dirasakan Chairil Anwar.
Mimpi penyair yang limbung di usia tak lagi muda menyaran pada ungkapan
Chairil Anwar:
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Bandingkan dengan pajangan imaji yang bertumpuk-tumpuk pada bait pertama PUISI MIMPI PENYAIR:
“mimpi apakah
yang terselip di gigi puisi dan menanyakan warung puisi mana yang telah
tandas kau kudap semalaman bersama penyair yang tanpa busana puisi
mimpi menjadi pengantin membimbing ke pelaminan menciptakan mimpi
panjang yang tak usai hingga dini hari menyeringai puisi mimpi menunjuk
dan menuntut judul penyair yang lupa bermimpi puisi mimpi sepi kenangan
di hotel merekam sunyi meruncing diujung bait puisi-puisi mimpi seperti
mimpi para penyair yang pingin menerbitkan buku puisi-puisi mimpi
membuat bangun penyairnya untuk meyakini puisinya tertinggal di alam
mimpi puisi mimpi kursi menjadikan penguasa bernmimpi tentang kursi
kekuasaan puisi mata penyair mata mimpi menuliskan puisi di alam mimpi
puisi pulang pagi mengantongi segala mimpi penyair yang kemalaman di
jalanan terbaring diam di undakan trotoar”
Aku lirik dengan guyuhnya menembus batas
angan dan pandang pada gagasan yang besilangan antara sadar dan mimpi
berbayang hingga larut di jalanan yang lengang lalu lintas.
Keterlambatan lagi menyebabkan kemalangan penyair pada pangkal jalanan
yang tak terukur angan.
Ditutuplah kesiasiaan hidup dengan tandas sampai mimpi di atas mimpi seperti diisyaratkan pada bait puisi ini:
senantiasa
mengharap-harap senantiasa menyilang reka di kembara yang kian menuju
dusta roti dan puisi dapat menjadi basi hidup dalam lingkaran makin
berpusingan menuju entah lelaki selalu memburu celah-celah yang tak
terjamah gairah menyalakan hidup menunjukkan jalan yang banyak pilihan
dosa buah yang akan masak nanti di hari pengadilan bersebadanlah
sehingga kau menjadi pasangan lahir batin
Akhir perjalanan yang telah disiapkan dengan
seragam putih kafan memang sudah membayang sejak lama dan ini dapat
dirunut pada sajak-sajak sebelumnya yang terkumpul dalam Ziarah 2005 (2011. Jakarta: PT Evolitera).
Lampiran puisi yang sudah diterbitkan dalam Puisiku.Oase.kompas.com, Senin, 10mOktober 2011
PUISI MIMPI PENYAIR
(1)
mimpi apakah yang terselip di gigi puisi dan
menanyakan warung puisi mana yang telah tandas kau kudap semalaman
bersama penyair yang tanpa busana puisi mimpi menjadi pengantin
membimbing ke pelaminan menciptakan mimpi panjang yang tak usai hingga
dini hari menyeringai puisi mimpi menunjuk dan menuntut judul penyair
yang lupa bermimpi puisi mimpi sepi kenangan di hotel merekam sunyi
meruncing diujung bait puisi-puisi mimpi seperti mimpi para penyair yang
pingin menerbitkan buku puisi-puisi mimpi membuat bangun penyairnya
untuk meyakini puisinya tertinggal di alam mimpi puisi mimpi kursi
menjadikan penguasa bernmimpi tentang kursi kekuasaan puisi mata penyair
mata mimpi menuliskan puisi di alam mimpi puisi pulang pagi mengantongi
segala mimpi penyair yang kemalaman di jalanan terbaring diam di
undakan trotoar
(2)
bicaralah dengan mimpi pada puisi yang di
kantong penyair yang mengunyah puisi mimpi yang terselip di gigi puisi
dan menanyakan warung puisi mana yang telah tandas kau kudap semalaman
bersama penyair yang tanpa busana puisi mimpi menjadi pengantin
membimbing ke pelaminan menciptakan mimpi panjang yang tak usai hingga
dini hari menyeringai puisi mimpi menunjuk dan menuntut judul penyair
yang lupa bermimpi puisi mimpi sepi kenangan di hotel merekam sunyi
meruncing diujung bait puisi-puisi mimpi seperti mimpi para penyair yang
pingin menerbitkan buku puisi-puisi mimpi membuat bangun penyairnya
untuk meyakini puisinya tertinggal di alam mimpi puisi mimpi kursi
menjadikan penguasa bernmimpi tentang kursi kekuasaan puisi mata penyair
mata mimpi menuliskan puisi di alam mimpi puisi pulang pagi mengantongi
segala mimpi penyair yang kemalaman di jalanan terbaring diam di
undakan trotoar pada sisa-sisa usia kusiasati segala rupa rasa hanya
padaMu semata senantiasa memburu mimpi puisi penyair kalang kabut
tersudut di rumput menjumput sisa kenangan yang terselip di bayang
lindap reumputan rebah catatan demi catatan meleleh dalam mimpi penyair
yang kehilangan imajinasi biar biar mimpi berserakan seperti tulang
belulang tanpa arti kini tinggal kau yang memaknai puisi itu mimpi atau
imajinasi maka kalau masih meremehkan imajinasi dan menyingkirkan mimpi pasti tidak akan terjadi puisi yang berisi
(3)
(3)
senantiasa mengharap-harap senantiasa
menyilang reka di kembara yang kian menuju dusta roti dan puisi dapat
menjadi basi hidup dalam lingkaran makin berpusingan menuju entah lelaki
selalu memburu celah-celah yang tak terjamah gairah menyalakan hidup
menunjukkan jalan yang banyak pilihan dosa buah yang akan masak nanti di
hari pengadilan bersebadanlah sehingga kau menjadi pasangan lahir batin
SENANDUNG BUNGA RINDU
dalam secangkir kopi ada nostalgia, rindu,
terpuruk waktu dan menantimu setiap senja dalam kubangan kopi di cafe
kita mula bersua
pada waktu yang setia senantiasa di ruang tunggu stasiun demi stasiun
saat kereta berpapasan dan melepas lambai
saat tangan melambai hingga hilang buntut kereta di kelokan jembatan ujung desa
pada waktu yang setia senantiasa di ruang tunggu stasiun demi stasiun
saat kereta berpapasan dan melepas lambai
saat tangan melambai hingga hilang buntut kereta di kelokan jembatan ujung desa
memang kereta itu bukan kereta terakhir tapi selalu saja setiap saat ketinggalan kereta yang singgah
aku hanya mengenakan bakiak dari kayu randu yang menerbangkan bunga-bunga rindu
bunga rindu menyerbak menjebak angin di pelupuk mata
bermula dari buku yang disedekahkan kemudian derma pikiran yang akan merubah wacana dunia
ketika pesan itu terbaca membuka cakrawala tambahlah nikmat yang akan didapat
semakin dirasakan kebesaran nikmat dan dimaknai maka kelebihan nikmat datang bertubi-tubi
ketika pesan itu terbaca membuka cakrawala tambahlah nikmat yang akan didapat
semakin dirasakan kebesaran nikmat dan dimaknai maka kelebihan nikmat datang bertubi-tubi
semakin jauh dari kesetiaan pada waktu
KETIKA
ketika KPK kehilangan taji politiknyabanggar di DPR kehilangan silet tajam penyikat
ketika anggota DPR sibuk menyiasati anggaran untuk tungku hidup partai
para kritisi memojokkan diri di sudut kafe riuh menggigit jari
ketika para politisi kuyup dengan uang siluman
para menteri pun berjamaah menjarah anggaran
ketika para pegawai negeri mengikuti jejak pejabat atasannya
tinggal rakyat pedagang asong, kaki lima, kelontong dan tukang tagih merenungi masa depan
ketika penyair kehilangan makna kata
layaknya penggiat LSM kehilangan klien dan penyandang dananya
ketika guru tak lagi mendidik dan mengajar
murid siswa mahasiswa tak lagi berbicara tentang akademis
ketika puisi dituliskan untuk menyapa
puisi kehilangan gema estetika karena memuat kisah nyata tanpa basa-basi
ketika bahasa kehilangan struktur dan sistem bunyi
jadilah mantra pembunuh yang maha dahsyat
ketika bahasa dunia hanya satu
maka bumi pun tak lagi terbelah budaya
ketika bumi berhenti beredar pada porosnya
musimpun mati
pendudukpun kalang kabut
matahari hanya menyosor pada belahan bumi yang terhenti
kehidupan boleh dikata sebagai kiamat
ketika ketika tak ada lagi masa
LEPAS DINI HARI
kau bicara sendiri pada pojok sunyi rumah tinggal di ujung negeri musim
berganti bersama kepak kelelawar melempar sisa buah dan jejak hujan yang
masih ricik di selokan mengingat masa-masa menuju rumah desa tempat
kakek nenek menunggu panenan padi yang senantiasa berebut dengan burung
dan tikus yang dicoba dicatat untuk menyambut liburan cucu-cucunya yang
selalu makan lahap beras tumbukan lesung yang sudah hilang gemanya saat
kini yang berubah jadi deru mesin pengelupas bulir tanpa menyisakan
sari-sari yang dulu dimaknai sebagai makanan ternakkau dengar sendiri tembang disenandungkan dikejauhan samar-samar melewati labirin masa remajanya yang dihabiskan dengan memburu binatang di tepi hutan menangkap ikan di palungan dan menaiki punggung kerbau yang senantiasa berlumur lumpur sawah hingga senja jatuh meninggalkan warna kesumba
kau simak wejangan demi wejangan di surau yang kusam dan roboh menjelang prahara bangsa yang saling berbunuhan waktu itu dan menyisakan curiga dan was-was hingga pada catatan tanda pengenal penduduk dan cap-cap merah darah yang melambangkan kebringasan serta senjata yang sesungguhnya adalah alat petani dan buruh bekerja
kau ngungun kini ketika menoleh ke masa silam karena ternyata tidak saja rambutmu, matamu, tulangmu yang memutih tetapi segalanya tentang masa lalu menjadi semacam kain kafan yang dulu kau kalungkan saat kau putari batu hitam rumahNya di tanah haram
kau mencoba menuliskan membacakan pada mata kanak-kanak yang suka datang bertanya tentang segala ungkapan bahasa yang dipunguti di ruang kelas maupun ketika berjalan pulang seusai pelajaran sekolah oleh anak itu dengan jujur tidak tahu kepada siapa yang dapat menerangkan kenapa bulan menyusuri langit malam-malam juga tentang beburungan yang juga ada yang terbang malam hari memburu mangsa apalagi hal-hal seperti kelelawar yang tidak dapat digolongkan sebagai beburungan
anak itu anak tetangga bukan anak keturunanmu yang merupakan gambaran masa depan yang dulu selalu kau bayangkan menyenangkan penuh tualang melawan terjangan halangan menciptakan nyanyian kepahlawanan
anak secerdas itu senantiasa menemuimu seusai makan siang sambil menunggu kedua orangtuanya pulang kerja sebagaimana dulu kau menunggu kakek-nenekmu pulang dari ladang atau pasar yang kadang-kadang menenteng buah tangan berupa kudapan sore atau sekedar buah yang dijumput di pematang atau pekarangan tetangga yang seakan saudara kandung tempat mengeluh dan meminta petuah
anak itu memandang jauh ke depan akan cita-cita pengharapan sementara dirimu merajut doa untuk bekal menuju peristiarahan yang sudah tersiapkan di pinggir desa dengan naungan kerimbunan pohon beringin tua dan mata anak itu seperti lorong masa lalumu yang menghubungkan kegamangan hidup dan hasil yang selalu menggairahkan untuk diceritakan pada tetangga duduk saat naik kereta api menuju kota
kota yang berhutan beton bertulangan dengan lumuran cat-cat grafiti yang disemburkan remaja kota yang melumurkan kesan kusam dan jelaga
MULA PERJALANAN
sesudah sabda dibisikkan di kanan kiri telinga serta seruan yang maha
agung dibisikkan dengan tawaduk tangis itu menguak malam hingga fajar
untuk merapat ke bukit kehidupan yang memancarkan daya hidup yang
senantiasa memuaskan rasa lapar dahaga yang selama sembilan bulan
sepuluh hari dihisapnya lewat sulur-sulur kehidupan ibu yang rumit
diceritakansesudah kedua kaki melangkah mulut mungilnya mengeja nama-nama benda di alam dan memanggil nama yang dikenal mulai kehidupan dengan warna yang tak senantiasa seperti pengharapan dan impian seakan cuaca musim yang silih berganti
sekarang kenangan itu tinggal membias pada kaca yang tempias gerimis sore yang mulai muram menutup senja dengan berita di televisi yang tak pernah padam
KETIKA SAAT ITU TIBA
jangan kau kirim bunga ataupun pamflet kematian serta bunga tabur yang kau serakkan ke jalan menuju peristirahatan terkahirjangan kau urai burai air matamu sepanjang perjalanan menuju ujung desa dengan rindang pepohonan dan sepi yang membatu
jangan lagi kau ceritakan masa-masa kebersamaan sesamamu cukup kau selipkan dalam setiap puisi yang kau lahirkan setelah kepergian ini
seulas senyum yang tulus seakan kompas bagi
pejalan malam yang tersesat di rimba belatara beton di kota New York dan
tak paham makna kata yang terpampang di setiap petujuk jalan
lalu-lintas kota maka jangan kau kirim bunga ataupun pamflet kematian
serta bunga tabur yang kau serakkan ke jalan menuju peristirahatan
terakhir
jangan kau urai burai air matamu sepanjang perjalanan menuju ujung desa dengan rindang pepohonan dan sepi yang membatu jangan lagi kau ceritakan masa-masa kebersamaan sesamamu cukup kau selipkan dalam setiap puisi yang kau lahirkan setelah kepergian ini senantiasa catatan demi catatan kemarin dapat kau rapi tambahkan sehingga akan menjadi acuan generasi mendatang
jangan kau urai burai air matamu sepanjang perjalanan menuju ujung desa dengan rindang pepohonan dan sepi yang membatu jangan lagi kau ceritakan masa-masa kebersamaan sesamamu cukup kau selipkan dalam setiap puisi yang kau lahirkan setelah kepergian ini senantiasa catatan demi catatan kemarin dapat kau rapi tambahkan sehingga akan menjadi acuan generasi mendatang
BIODATA
Cunong Nunuk Suraja
lahir di Yogyakarta, 9 Oktober 1951
pengajar Intercultural Communication di FKIP - Universitas Ibn Khaldun Bogor
pengajar Intercultural Communication di FKIP - Universitas Ibn Khaldun Bogor
Karya Tulis
Bulak Sumur – Malioboro. (Antologi Puisi Bersama). 1975. Yogyakarta: Dema UGM
Lirik-lirik Kemenangan. (Antologi Puisi Indonesia). 1994. Yogayakarta: Taman Budaya Propinsi DIY
Antologi Puisi Indonesia 1997. (Antologi Puisi Bersama). 1997. Bandung: Komunitas Sastra Indonesia dan Penerbit Angkasa Bandung
The American Poetry Annual. 1996. New York: The Amherst Society
The Lasting Joy, The national Library of Poetry. 1998. Owings Mills: The National Library of Poetry
The Chorus of the Soul, The International Library of Poetry. 2000. Owings Mills: The International Library of Poetry
Graffiti Gratitude. (Antologi Puisi Cyber). 2001. Bandung: Yyasan Multimedia Sastra dan Penerbit Angkasa Bandung
Pasar Kembang, Yogyakarta dalam sajak. (Antologi Puisi Bersama). 2001. Yogyakarta: Komunitas Sastra Indonesia Yogyakarta
Graffiti Imaji. (Kumpulan Cerpen Pendek). 2002. Jakarta: Yayasan Multimedia Sastra dan Penerbit Damar Warga
Les Cyberlettres (Antologi Puisi Cyberpunk). 2005. Jakarta: Yayasan Multimedia Sastra
Mekar di Bumi. (Visiografi Eka Budianta). 2006. Jakarta: Pustaka Alvabet
Jogja 5,9 Skala Richter (Antologi Seratus Puisi). 2006. Yogyakarta: Penerbit Bentang
G 30 S 30 September 2009 Gempa Padang (Antologi Puisi). 2010. Jakarta: Penerbit Soko Buku
Percikan Pikiran tentang Dunia Maya yang Hingar tapi Senyap(kumpulan esai pendek sastra). 2011. Jakarta: PT Evolitera, available on http://evolitera.co.id/ebook/percikan-pikiran-tentang-dunia-maya-yang-hingar-tapi-senyap/
Biru Langit 2005 (kumpulan puisi). 2011. Jakarta: PT Evolitera,
available on http://evolitera.co.id/ebook/biru-langit-2005/
Senandung Bandung Jilid 3. 2011. Bandung: SWAWEDAR69 INSTITUTE & ADS
Mekah-Medinah 25 Perak (kumpulan puisi). 2011. Jakarta: PT Evolitera,
available on http://evolitera.co.id/ebook/mekah-medinah-25-perak/
Ziarah 2005 (kumpulan puisi). 2011. Jakarta: PT Evolitera,
available on http://evolitera.co.id/ebook/ziarah-2005/
Black Teror Larasati. 2011. Jakarta: PT Evolitera,
available on http://evolitera.co.id/ebook/black-teror-larasati
Memburu Membunuh Ruh Puisi 2011. Jakarta: PT Evolitera available on http://evolitera.co.id/ebook/membunuh-ruh-puisi/
gampang-prawoto.blogspot.com
gampang-prawoto.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar