Selasa, 07 Januari 2014

gampang-prawoto.blogspot.com

MELACAK TITIK TEMU ALAM PIKIRAN JAWA DAN MALAYSIA
MELALUI SASTRA BANDINGAN LOCAL LITERARY KNOWLEDGE
Oleh Suwardi

FBS Universitas Negeri Yogyakarta
Makalah Konferensi Internasional
Sains dan Teknologi Alam Melayu
14-18 Desember 2010
Di Universitas Kebangsaan Malaysia

Diakui atau tidak, sampai saat ini belum ada ilmuwan yang mencoba melacak lebih jauh alam pikiran orang Jawa (Javanese insight) dan Malaysia. Padahal dalam banyak hal, kedua bangsa ini tentu memiliki dunia batin yang senada. Paling tidak, alam berpikir positif (positive thinking) orang Jawa, mungkin juga seirama dengan orang Malaysia. Stream of consciousness tentang dunia orang Jawa bisa jadi sejajar dengan cintra (imej) orang Malaysia, ketika mengimajinasikan tentang “ada” (human being). Bila orang Jawa senantiasa hendak menemukan kesempurnaan hidup manusia (sampurnaning dumadi), orang Malaysia dalam pandangan Wahab Ali (1989:9) juga menginginkan perfect dan idealized human.
Untuk memahami alam pikiran (pangawikan) Jawa dan Malaysia, dapat dirunut melalui local literary knowledge. Local literary knowledge adalah ilmu pengetahuan (sains) kesusasteraan lokal, yang banyak memantulkan nilai-nilai kearifan lokal. Kata penyair John Keats (Wellek dan Warren, 1989:135) “beauty is truth, truth beauty”. Kalau hal ini saya perluas, berarti sains kesastraan yang estetis itu juga memuat kebenaran. Sastra merupakan dokumen sejarah pemikiran suatu bangsa. Hal ini cukup beralasan, sebab menurut Levere (1977:9) karya sastra memiliki kandungan science, truth, dan ideology. Ketiga hal itu saling terkait, hingga meneguhkan bahwa sastra merupakan percikan pemikiran mendalam tentang dunia dan akhirat. Itulah sebabnya local literary knowledge dimungkinkan memuat yang oleh Gadamer (Levere, 1977:28) disebut geisteswissenschaften, yang dapat memberikan pencerahan (kasyf) hidup. Pretensi ini dapat dibenarkan, sebab pada dasarnya menurut Skilleas (2001:5) “literature as philosophy”. Sastra merupakan refleksi pemikiran filosofi tentang hidup, hingga Sohaimi (2001:117) menyatakan bahwa sastra dapat menjadi falsafah abadi (perennial philosophy).
Local literary knowledge di Jawa banyak muncul pada tradisi lisan, seperti lagu-lagu dolanan anak yang memuat nilai-nilai katarsis. Begitu pula karya-karya sastra lisan Malaysia, seperti pantun yang di Perancis menjadi pantoum (Sohaimi, 2001:16) banyak memuat nilai-nilai kerohanian (mujahaddah) yang dapat membersihkan jiwa (tazkiyah alnafs). Local literary knowledge baik Jawa maupun Malaysia adalah sebuah science (sains) pemikiran hakiki yang dapat menjadi obat bagi “the crisis of humanities”. Kiranya, baik di Jawa maupun Malaysia krisis kemanusiaan, selalu muncul pada setiap saat hingga membutuhkan alam pikiran jernih.
Berbagai kemungkinan pragmatik dan filosofi dapat dirunut melalui studi sastra bandingan antara Jawa dan Malaysia, baik secara generik (konsep Sohaimi, 2001:16) maupun secara genetik (konsep Jost, Damono, 2005:11). Studi ini untuk menyelami mahakarya (istilah saya) atau karya sastra agung (istilah Wellek dan Warren, 1989) pada dua negara yaitu Malaysia dan Jawa (Indonesia). Prinsip sastra bandingan yang meliputi karya sastra dua negara ini menurut Carre dan Guyard (Remak, 1990:2) perlu memperhatikan aspek penerimaan, perantaraan, sikap pengarang terhadap sebuah negara. Mungkin pula ada pertalian ideologi, persamaan zeitgeist, varian pemikiran, pararelisme evolusi budaya, dan perbedaan world view antara sastra Malaysia dan Jawa.
Berpijak dari kemungkinan itu, akan dilacak bagaimana representasi alam pikiran Jawa dan Malaysia melalui sastra bandingan local literary knowledge. Oleh karena kekayaan sastra Jawa cukup luas, hanya dipilih karya masterpeace Jawa (sastra tulis) berjudul: (1) Serat Centhini karya KGPAA. Pakubuwana V. Karya yang terdiri 12 jilid ini tidak jauh berbeda dengan sebuah ensiklopedi kejawaan, yang memuat sejumlah alam pikir Jawa dari masalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi kehidupan; (2) sastra lisan, yang memuat local genius yang telah saya kumpulkan dalam buku Tradisi Lisan Jawa (2003). Kedua kelompok karya itu akan saya bandingan (comparative literature) dengan sastra Malaysia yang telah dikumpulkan oleh Suripan Sadi Hutomo dalam buku Merambah Matahari (1993). Studi sastra bandingan dari dua negara yang berbeda ini untuk melacak (a) afinitas, (b) konvensi dan tradisi, dan (c) konsep pengaruh berupa alam pemikiran sebagai sebuah hipogram. Perunutan hipogram antara sastra Jawa dan Malaysia itu dilandasi gagasan Corstius (1968) bahwa karya sastra adalah paket himpunan teks sebelumnya dan Julia Kristeva (Hutomo, 1993:13) juga menegaskan bahwa karya sastra adalah deretan teks-teks sebelumnya.
Rekam jejak dari sastra Jawa dan Malaysia tersebut kelak akan memperkokoh keuniversalan estetika dari dua negara yang berbeda. Titik temu alam pemikiran kedua negara lewat karya sastra sebagai refleksi imajinasi, dalam istilah Damono (2005:66 dan 77) dapat direkam melalui (a) bayangan dan (b) jejak. Boleh jadi Jawa atau sebaliknya Malaysia saling bayang-membayangi dan saling memantulkan jejak pemikiran yang mirip, adaptatif, epigon, dan transformasi. Bayangan dan jejak itu mungkin secara langsung (kasar, menjiplak, plagiat), dan mungkin secara tak langsung, halus, estetis, dan suatu kebetulan.
Pelacakan kedua karya sastra dari belahan dunia berbeda itu saya gunakan dua teori yaitu: (1) teori astronot yang dikemukakan von Daniken (Hutomo, 2003:33), yang menganggap sastra sebagai “saksi jaman” atau “pencatat sejarah” dan (2) teori von Sydow, tentang active and passive bearers of tradition dan the notion of oicotype. Yang dimaksud active beare of tradition yaitu pelaku aktif tradisi sastra baik di Jawa maupun Malaysia. Pelaku aktif yaitu para penggiat sastra yang masih setia melantunkan Serat Centhini dan para sindhen yang masih melantunan tradisi lisan.

Kata kunci: pikiran Jawa, pikiran Malaysia, dan lokal

A. Pemikiran Jawa dan Malaysia tentang Ada
Diakui atau tidak, sampai saat ini belum ada ilmuwan yang mencoba melacak lebih jauh alam pikiran orang Jawa (Javanese insight) dan Malaysia. Padahal dalam banyak hal, kedua bangsa ini tentu memiliki dunia batin yang senada. Paling tidak, alam berpikir positif (positive thinking) orang Jawa, mungkin juga seirama dengan orang Malaysia. Stream of consciousness tentang dunia orang Jawa bisa jadi sejajar dengan cintra (imej) orang Malaysia, ketika mengimajinasikan tentang “ada” (human being).
Persoalan „ada“ memang senantiasa menjadi misteri bagi orang Malaysia dan Jawa. Ada adalah fenomena ontologis. Sastra yang menyuarakan tingkat ontologis, akan mencerminkan „ada“ secara estetis. Dalam Serat Centhini jilid VII, pupuh 391: gambuh, bait 18 tergambar: wus tetela saestu, purbaning hyang Gusti Kang Murbeng Gung, anglimputi sakabehing kang titah urip, kang kinarsan kinarya nung, tandha wau kongsi lekok. Maksudnya, orang Jawa selalu berpikir positif bahwa kekuasaan Tuhan selalu adil bagi eksistensi „ada“. Apa yang ditakdirkan oleh „ada“, manusia tidak bisa membantah.
Puisi tersebut membuka mata kita, bahwa Tuhan adalah sumber dari „ada“. Tuhan adalah sumber asal-usul „ada“ itu sendiri. Kalau saya bandingkan lebih mendalam, puisi Malaysia dan Jawa memang amat dekat ketika hendak menemukan asal-usul hidup. Asalusul itu sebuah kesejatian yang misterius. Begitulah nafas puisi berjudul Doa orang Berdosa karya A. Wahab Ali (Hutomo, 1993:66). Puisi ini beriringan dengan geguritan berjudul Nasyid Kinanthi karya Turiyo Ragilputra (2002). Keduanya mengisahkan sebuah pencarian menuju kasampurnaning dumadi (dari dan akan kemana „ada“ itu).
Penyair Malaysia amat merindukan asal-usul dengan terang-terangan menyebut Tuhan, misalkan pada larik berbunyi: „Tuhanku/semakin umurku melaju/pejal pertahanan merapuh.“ Larik ini mirip dengan ungkapan puisi Jawa berbunyi „nyumamburat werdine kangen marang Al-Haq...titip aku secuwil guritan dzikir hikmah“. Kedua puisi yang berbeda bahasa itu, sama-sama menyuarakan „ada“ yang mutlak. Keduanya merasa rindu pada suatu fenomena absolut. Manusia semakin lemah, semakin jauh, ketika harus mencoba menemukan Sang Hakikat Hidup. Begitu pula puisi berjudul Layang-layang Takdir karya A. Wahab Ali dapat sebanding dengan puisi Jawa tradisional berjudul Ngundha Layangan karya Ki Narta Sabda (1994:18-19). Local literary knowledge di Jawa banyak muncul pada tradisi lisan, seperti lagu-lagu dolanan anak yang memuat nilai-nilai katarsis. Begitu pula karya-karya sastra lisan Malaysia, seperti pantun yang di Perancis menjadi pantoum (Sohaimi, 2001:16) banyak memuat nilai-nilai kerohanian (mujahaddah) yang dapat membersihkan jiwa (tazkiyah alnafs).
Kalau orang Malaysia hendak menyemaikan nilai profetik bahwa hubungan Tuhan dengan manusia itu ibarat layang-layang, yang kadang tersambung dan putus, berarti merujuk bobot sebuah iman. Iman (Malaysia) dan Jawa (eling) sering mengalami pasang surut. Orang Jawa mengekspresikan eling (ingat) pada larik puisi berbunyi „del ndedel kae muluk/walayangane warna-warna polesane/bat ebat becike aku gumun..., aja nyangkut dimen ora enggal pedhot benange“. Maksudnya, semakin tinggi layangan itu, semakin menarik, semakin mengkawatirkan. Keadaan itu diharapkan seperti bermain layang-layang, jangan sampai putus benangnya, yang berarti kalau rasa eling manusia terputus, akan rugi. Ungkapan itu jelas sebuah pola pikir tentang kekaguman pada Tuhan. Mengulur layang-layang perlu hati-hati, agar benang tidak putus. Begitu pula menyikapi „ada“ ini, perlu hati-hati, agar tidak terjebak pada hidup yang tidak jelas arahnya. Jika layang-layang putus, akan lepas, ke mana jatuhnya, tidak jelas. Jika demikian, baik pemikiran Malaysia maupun Jawa selalu meletakkan posisi Tuhan-manusia berada posisi yang kurang jelas, dalam pencarian, penafsiran terus-menerus, dan manusia perlu hati-hati menjaga keharmonisan „ada“.
Dari dua puisi yang berbeda karakter estetis itu, dapat saya renungkan, ternyata orang Malaysia dan Jawa sama-sama memiliki kegelisahan spiritual. Lewat puisi, kegelisahan tentang apa dan siapa Tuhan akan tergambar. Bila orang Jawa senantiasa hendak menemukan kesempurnaan hidup manusia (sampurnaning dumadi), orang Malaysia dalam pandangan Wahab Ali (1989:9) juga menginginkan perfect dan idealized human. Kesempurnaan hidup dicari, dihayati, dan diterapkan secara hati-hati, penuh kesabaran. Kesabaran tidak ada bedanya ketika hidup harus menarik, mengulur, dan menikmati laying-layang terbang.
Masalah perfection, bagi orang Malaysia dan Jawa adalah tumpuan bertobat. Pemikiran Malaysia penuh dengan rendah hati, yaitu semakin dia mencari Tuhan, maka “ada” itu semakin “tidak ada” (menjauh). Hal ini tidak jauh berbeda ketika penggurit Jawa juga mengekspresikan diri dengan kata “lurung-lurung gaib pinadhangan sajagad lintang”. Maksudnya, bintang itu bagi orang Jawa juga bersinar, tetapi amat jauh. Bintang itu selalu menjadi hal yang tidak mungkin diraih, lalu ada ungkapan Jawa cebol nggayuh lintang. Lintang, adalah cahaya Ketuhanan yang selalu menjauh apabila didekati. Kalau demikian, orang Jawa dan Malaysia, memiliki pemikiran yang bersahaja. Pemikiran mereka samasama
memandang bahwa Tuhan itu “ada”, tetapi selalu misteri, dunia yang tak mungkin terjamah, dan amat jauh, namun dekat.
Orang Jawa sering mengungkapkan “Gusti Allah iku cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan”, artinya Tuhan itu dekat, tetapi tak dapat disentuh, kalaupun jauh hampir tidak berjarak dengan manusia. Metafor bintang dan layang-layang bagi orang Jawa dan Malaysia, dipandang lebih tepat untuk mewakili pencarian “ada” dalam ketiadaan. Pola berpikir positif orang Malaysia dan Jawa terletak pada doa dan tobat atau dzikir (eling). Dengan cara eling itu, Tuhan tidak akan pernah absen dalam diri manusia. Dengan eling, manusia mau bertobat, berserah diri.

B. Kebenaran dan Ideologi Jawa dan Malaysia
Berbagai kemungkinan kebenaran dan ideologi dapat dirunut melalui studi sastra bandingan antara Jawa dan Malaysia, baik secara generik (konsep Sohaimi, 2001:16) maupun secara genetik (konsep Jost, Damono, 2005:11). Studi ini untuk menyelami mahakarya (istilah saya) atau karya sastra agung (istilah Wellek dan Warren, 1989) pada dua negara yaitu Malaysia dan Jawa (Indonesia). Prinsip sastra bandingan yang meliputi karya sastra dua negara ini menurut Carre dan Guyard (Remak, 1990:2) perlu memperhatikan aspek penerimaan, perantaraan, sikap pengarang terhadap sebuah negara. Mungkin pula ada pertalian ideologi, persamaan zeitgeist, varian pemikiran, pararelisme evolusi budaya, dan perbedaan world view antara sastra Malaysia dan Jawa.
Kebenaran adalah suara hati. Puisi merupakan cermin hati. Memang benar, puisi itu nyanyian hati. Penyair Malaysia dan Jawa juga sedang asyik dengan lantunan hati. Detak jantung bisa memompa hati, hingga muncul puisi yang menyuarakan ideologi dan kebenaran. A. Wahab Ali mencurahkan puisi pendek berjudul Puisi, seakan dia sedang memikirkan getaran suksma dalam puisi. Lewat ketajaman kata, dia ungkapan “puisi itu sepi…sesekali menjilma menjadi nabi”. Ideologi profetik yang mewarnai puisi itu. Religiusitas adalah ruh ideologi puisi Malaysia. Judul karya ini tidak jauh berbeda dengan geguritan karya Anie Soemarno (1975) berjudul Guritan, yang memuat ideologi profetik pula. Puisi profetik adalah karya yang berideologi kenabian, mengusung jalan lurus menuju hidup yang benar.
Kedua puisi yang berbeda kultur itu ternyata melukiskan alam pikiran (pangawikan) Jawa dan Malaysia, sebagai lukisan karya romantik estetik. Romantika hidup mereka kaitkan dengan puisi sebagai kekentalan kata. Keduanya melukiskan local literary knowledge yang memuat nilai kesejagadan. Local literary knowledge adalah ilmu pengetahuan (sains) kesusasteraan lokal, yang banyak memantulkan nilai-nilai kearifan lokal. Kata penyair John Keats (Wellek dan Warren, 1989:135) “beauty is truth, truth beauty”. Saya setuju, baik puisi Malaysia maupun Jawa ternyata menjadi corong kebenaran dan keindahan Menurut mereka, puisi sama-sama merupakan “dunia sepi” tetapi dapat mengungkap dunia ramai. Larik-larik puisi Malaysia di atas sejalan dengan ungkapan puisi Jawa berbunyi: “daktulis guritan jalaran guritan/tembang jiwa…daktulis guritan jalaran guritan uga corong jaman.” Artinya, saya tulis puisi karena puisi itu sebagai nyanyian jiwa. Saya tulis puisi karena puisi itu sebagai ekspresi jaman. Puisi ini memuat ideologi bahwa karya sastra adalah wakil jaman. Sastra menjadi media jaman. Orang yang ingin memahami jaman, ada baiknya menyelami sastranya.
Varian pemikiran Malaysia dan Jawa tampak pada penggunaan diksi sepi (Malaysia) dan tembang jiwa (Jawa). Sepi dan nyanyian jiwa, adalah potret ketidakmapanan jiwa penyair. Penyair sedang risau terhadap suasana, hingga hanya melalui kata yang bias mewakili kegelisahan. Keyakinan penyair, kata-kata akan meluncurkan suara kenabian (profetik) atau corong jaman. Kata adalah saksi jaman. Kata pula yang menjadi wahana kebenaran. Kata merupakan puncak ideologi. Kata itu kaya symbol. Maka ideologi itu sendiri sebuah simbol. Kalau hal itu saya perluas, berarti sains kesastraan yang estetis itu juga memuat kebenaran. Sastra merupakan dokumen sejarah pemikiran suatu bangsa. Hal ini cukup beralasan, sebab menurut Levere (1977:9) karya sastra memiliki kandungan science, truth, dan ideology. Ketiga hal itu saling terkait, hingga meneguhkan bahwa sastra merupakan percikan pemikiran mendalam tentang dunia dan akhirat. Itulah sebabnya local literary knowledge dimungkinkan memuat yang oleh Gadamer (Levere, 1977:28) disebut geisteswissenschaften, yang dapat memberikan pencerahan (kasyf) hidup. Pretensi ini dapat dibenarkan, sebab pada dasarnya menurut Skilleas (2001:5) “literature as philosophy”.
Sastra merupakan refleksi pemikiran filosofi tentang hidup, hingga Sohaimi (2001:117) menyatakan bahwa sastra dapat menjadi falsafah abadi (perennial philosophy). Membaca sastra, akan menyuarakan kebenaran hidup. Sastra adalah hidup itu sendiri. Sastra menjadi filosofi hidup manusia. Kalau begitu menghayati sastra, sudah jelas menyelami keabadian itu sendiri. Suara-suara indah, penuh makna, dan gelitik kata selalu memekikkan telinga. Maka orang dapat menangis setelah membaca sastra. Orang juga dapat marah ketika membaca sastra. Orang juga sering menemukan pepadhang (pencerahan) batin, setelah berolah sastra. Ketika menyikapi malam, pemikiran Malaysia dan Jawa sama-sama menjadi teman dalam sepi. Malam adalah waktu tepat untuk melakukan keheningan. Karya A Wahab Ali (Hutomo, 1993:82) berikut adalah gambaran pemikiran malam sebagai sahabat hidup.

Malam Sarat Mengandung Kisah
Mawar merah di tembok batu
Bulan sabit dan sebutir bintang
Gonggong anjing panjang-panjang
Sesusuk tumbuh kedinginan

Sebait puisi itu menggambarkan pemikiran Malaysia, bahwa kondisi malam memang penting bagi perenungan jiwa. Malam yang penuh bintang dan cahaya bulan, dipoles dengan suara anjing, justru sering melahirkan kisah-kisah. Hal itu juga disuarakan oleh Yohanes Siyamta dalam geguritan Wengi (2008), sebagai percikan pemikiran yang penuh sepi, ketidakpastian. Penyair cenderung merenungkan diri lewat perjalanan malam, sebagai gambaran suasana yang sering tidak pernah jelas (melamun). Di mata Rohadi Ienarta, dalam puisi berjudul Meditasi Wengi (1997), malam juga menjadi sumber penyerahan diri (pasrah). Pasrah adalah ideology Jawa. Bagi orang Malaysia, pasrah identik dengan merenung karena takjub dengan alam semesta. Inti dari semua ini adalah berserah diri. Berserah diri adalah sebuah kebenaran hidup.
Kebenaran dalam puisi bagi orang Malaysia dan Jawa sulit diragukan. Bagi mereka keindahan puisi adalah corong kebenaran. Lewat puisi Lidah karya Zaihasra dan geguritan Ilat karya Subagiyo Ilham Notodijoyo, penyair berhasil mengungkapkan kebenaran sejati. Lidah dan ilat sama-sama menjadi wahana estetika untuk mengungkapkan nurani. Alam pikiran Malaysia meyakini, lidah adalah sumber kata-kata. Kata sering kehilangan arti jika lidah salah bersilat. Lidah sebagai sumber lisan. Variasi pemikiran Jawa muncul bahwa lidah “among sawelat…prandene wasis murbe wisesa”. Artinya, biarpun lidah itu hanya sebesar bilah bambu, namun sangat berkuasa bagi hidup. Lidah adalah figure yang berbahaya apabila salah penggunaannya. Sebaliknya, lidah akan menyebabkan orang mulia apabila betul dalam penggunaan. Pasrah dan lidah pun dua hal yang sering terkait. Dengan lidah, mantra-mantra terucap, kata halus, kata pujian, dan sejumlah perserahan diri muncul dari lidah.
Orang Jawa memiliki ideologi ajining dhiri seka kedaling lathi. Artinya, lidah akan menentukan harga diri seseorang. Baik buruk seseorang, akan ditentukan bagaimana orang menggunakan lidahnya. Lidah yang memproduksi suara, ibarat pedang, suara yang tajam akan menyakiti orang lain. Sebaliknya suara yang harum, akan menyejukkan. Dari puisi Malaysia dan Jawa dapat saya pahami, bahwa kebenaran itu kata. Kata pula yang menjadi wakil hati. Kata sering terucap lewat lidah. Maka, kata, lidah, harga diri, dan berserah diri saling berhubungan.
Kata adalah suara yang mampu memberikan katarsis, penyucian jaman. Ketika orang sedang kalut jiwanya, kata akan menjawab. Kata memuat sejuta pengalaman berharga. Kata adalah hembusan jiwa, humanis, dan menjadi penerang jaman. Begitu kira-kira pemikiran estetis Malaysia dan Jawa, sama-sama berpikir bahwa kebenaran itu tetap berada pada kata yang menyuarakan profetik. Melalui kata, yang diproduksi lidah, harga diri seseorang akan meningkat, ketika mau berserah diri. Jadi ideology Malaysia dan Jawa antara lain tampak pada ideology untuk selalu berserah diri lewat keheningan malam. Berserah diri dalam suasana sepi mampu mengantarkan hidup mencapai suwung, yaitu sebuah kebenaran absolut.

C. Semangat Jaman: Antara Pemikiran Jawa dan Malaysia
Local literary knowledge baik Jawa maupun Malaysia adalah sebuah science (sains) pemikiran hakiki yang dapat menjadi obat bagi “the crisis of humanities”. Kiranya, baik di Jawa maupun Malaysia krisis kemanusiaan, selalu muncul pada setiap saat hingga membutuhkan alam pikiran jernih. Sastra memang dicipta selalu dalam rangka. Sastra senantiasa bertujuan dan memiliki sasaran. Sastra yang baik, adalah yang indah dan berguna. Sastra Malaysia dan jawa yang baik, tentu memiliki aspek estetik dan pragmatik.
Angkatan sastrawan 50 (ASAS 50) Malaysia, menurut Yahaya Ismail (Hutomo, 1993:40) berslogan “seni untuk masyarakat” atau “seni untuk rakyat”. Biarpun hal ini mengesankan hadirnya “sastra dalam rangka”, secara sosiologis sastra memang memiliki tujuan. Tujuan utama sastra adalah komunitas, yaitu masyarakat. Mungkin sekali, sastra dimanfaatkan untuk mencerdaskan masyarakat.
Secara kebetulan di Indonesia, Jawa, sedang dirundung bencana alam yang berupa letusan gunung berapi dan gempa bumi. Ternyata, suasana demikian juga mewarnai alam pikiran Malaysia tahuan 1950-an. Puisi Malaysia yang berjudul Suasana (1962) karya Masuri S.N. terdapat bagian bait yang seakan-akan jenuh menyaksikan bencana. Kejenuhan adalah sebuah protes batin, mengapa musibah senantiasa mendera terhadap Malaysia, hingga ada bait berbunyi sebagai berikut.

Suasana
Kita mengikut segala cahaya
Merah-padam
Biru kelabu
Di permukaan alam
Kita jemu dengan semua ini
Minta api membakar pulau
Kuda liar lepas dari
Atau topan menggegar bumi
………

Puisi tersebut adalah luapan rasa duka. Puisi “dalam rangka” ini, bisa menyadarkan masyarakat, agar melek pada penderitaan. Dunia mungkin, saya pikir yang mewarnai alam pikiran Malaysia. Yakni, dunia yang sedang kalut, dilanda musibah, akibat amukan alam, gunung, dan gempa. Pemikiran penyair yang paling esensial adalah mengetuk hati berbagai pihak agar peduli pada kesusahan. Peduli musibah adalah “action” yang mulia. Puisi memiliki fungsi untuk mengetuk hati, agar muncul jiwa penolong. Pikiran penyair, hendak membuka relung hati pembaca atau masyarakat, agar mau berderma pada warga ayng sedang dirundung duka. Kalau saya bandingan, suasana pemikiran Malaysia yang penuh dengan rasa takut, sedih, dan selalu mempertanyakan kepedulian pihak lain itu sejajar dengan suasana puisi Jawa (geguritan) berjudul Gunung Merapi (2000) karya Muhammad Yamin sebagai berikut.

Gunung Merapi
Kukusing dupa kumelun
Kumelun mega
Hawa atis dadi bawera
Mbiwarakke sakehing crita
Yen krodha gawe gendra
Moyang-maying gebering bawana
Yen luntak sela rata wong sanegara

Pemikiran penyair Jawa (penggurit) tersebut sejajar dengan penyair Malaysia. Kedua bicara masalah keganasan gunung. Ketika karya ini saya tulis (30 Oktober 2010), Yogyakarta tengah dilanda letusan Gunung Merapi, hingga saudara-saudara saya berlarian tunggang langgang menuju arah selatan. Waktu itu, saya sendiri habis dari Kali Urang, menatar guru-guru SD, juga diselimuti ketakutan dan panik, lalu saya lari (turun) gunung, hingga sarung hijau saya pun tertinggal di hotel.
Pikiran Malaysia dan Jawa terhadap bencana senada, yaitu takut celaka, sakit, dan mati. Tatkala itu, bayangan maut selalu menggema dalam pikiran Malaysia-Jawa. Amukan gunung yang memuntahkan “senjata panas” disertai gempa, selalu mengguncang kekawatiran. Keluhan, rintihan, dan perasaan was-was, selalu menghantui pemikiran orang. Dari kejadian itu, baik orang Jawa maupun Malaysia, selalu menyikapi musibah alam itu dengan penuh ketakutan dan berserah diri.
Puisi-puisi epigram Malaysia pun, banyak yang mengisahkan pemikiran kawatir, takut, dan rasa kalut. Karya Chan Kun ning berjudul Balada Sebuah Derita (Hutomo, 1993:46) juga mengisahkan betapa dahsyatnya kekejaman alam,

Balada Sebuah Derita
Perjalanan
Dari rahim ibu
Ke kuburan
Adalah buih
Di dada samudera
Yang
Ditampar angin
Dikeret arus
Digoncang ombak
Tersingkir ke pantai
Menanti pecah

Bencana alam tidak hanya dari gunung, melainkan juga dari angin dan ombak pantai. Puisi itu memaparkan betapa kedahsyatan alam. Sejak manusia dari rahim ibu (lahir) ternyata tidak mungkin lepas dari ancaman alam yang genas. Namanya saja sebuah balada, tentu memuat kisah sedih. Puisi Jawa yang bernuansa epigram karya Suharyanta BP berjudul Gurit Sabrangan (2001) juga memuat kisah ketakutan pada bahaya ombak samodera. Gunung, samodera, angin, sering memiliki potensi musibah bagi manusia.
Dari karya-karya di atas, jelas bahwa local genius Malaysia dan Jawa selalu muncul dalam sastra. Melalui studi sastra bandingan dari dua negara yang berbeda ini untuk saya dapat melacak aspek (a) afinitas, (b) konvensi dan tradisi, dan (c) konsep pengaruh berupa alam pemikiran sebagai sebuah hipogram. Perunutan hipogram antara sastra Jawa dan Malaysia itu dilandasi gagasan Corstius (1968) bahwa karya sastra adalah paket himpunan teks sebelumnya dan Julia Kristeva (Hutomo, 1993:13) juga menegaskan bahwa karya sastra adalah deretan teks-teks sebelumnya.
Puisi-puisi Malaysia dan Jawa sering bersentuhan secara estetis. Hipogram yang paling menonjol sebagai unsur afinitas, yaitu suasana alam yang senada antara Jawa dan Malaysia. Suasana alam semesta, yaitu gunung, angin, dan air yang sering tidak bersahabat, selalu ditakuti. Yang menjadi induk hadirnya pola pikir Malaysia dan Jawa semakin arif tidak lain keganasan alam itu sendiri.

D. Penutup
Rekam jejak dari sastra Jawa dan Malaysia tersebut kelak akan memperkokoh keuniversalan estetika dari dua negara yang berbeda. Titik temu alam pemikiran kedua negara lewat karya sastra sebagai refleksi imajinasi, dalam istilah Damono (2005:66 dan 77) dapat direkam melalui (a) bayangan dan (b) jejak. Bayangan dan jejak yang selalu menjadi hipogram puisi Malaysia dan Jawa yaitu takut bahaya alam, telah melahirkan variasi puisi. Media yang mereka gunakan untuk ekspresi diri, yaitu laying-layang dan bintang. Keduanya yang dapat mewadahi rasa eling dan pasrah.
Bayangan dan jejak telah melahirkan tradisi bersastra (berpuisi) yang kental dengan alam, suasana malam, dan pencarian hakikat Tuhan. Menurut pandangan orang Jawa dan Malaysia, ideology dan kebenanran selalu bersandar pada puisi sebagai nyanyian jiwa. Nyanyian itu diuntai melalui lidah. Lidah identik dengan kata, yaitu symbol yang melantunkan harga diri dan berserah diri.
Kalau pelacakan kedua karya sastra dari belahan dunia berbeda itu saya gunakan dua teori yaitu: (1) teori astronot yang dikemukakan von Daniken (Hutomo, 2003:33), yang menganggap sastra sebagai “saksi jaman” atau “pencatat sejarah” dan (2) teori von Sydow, tentang active and passive bearers of tradition dan the notion of oicotype, tampak bahwa puisi memang cermin, corong, dan suara jaman. Lewat alam semesta, antara lain gunung, gempa, bintang, dan bulan orang Jawa dan Malaysia, selalu berpikir tentang ada. Yang dimaksud active beare of tradition yaitu pelaku aktif tradisi sastra baik di Jawa maupun Malaysia, yaitu para penyair yang berupaya keras menyuarakan jaman. Pelaku aktif yaitu para penggiat sastra yang masih setia melantunkan Serat Centhini dan para sindhen yang masih melantunan tradisi lisan. Adapun active beare of tradition di Malaysia yaitu para
pelantun syair, pantun, dan puisi.

Daftar Pustaka
Corstius, Jan Brandt. (1963). Introduction to the Comparative of Literature. New York: Random House.
Damono, Sapardi Djoko. (2005). Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa, Depdiknas.
Endraswara, Suwardi. (2003). Tradisi Lisan Jawa. Yogyakarta: Narasi. Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari; Sastra dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Massa.
Iesnarta, Rohadi. 1997. Meditasi Wengi“ dalam Pisungsung; Antologi Geguritan dan Cerkak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jost, Francois. 1974. Introduction to Comparative Literature. New York: The Bobbs Merril Company.
Lifevere, Andre. (1977). Literary Knowledge. Nederland: van Gorcum.
Notodijoyo, Subagiyo Ilham. (1984). Antologi Puisi Jawa Modern 1940-1980. Surabaya: Sinar Wijaya.
Pakubuwana V, KGPAA. (1989). Serat Centhini, Jilid VII. Yogyakarta: Yayasan Centhini.
Ragilputra, Turiyo. (2007). „Nasyid Kinanthi“ dalam Bledheg Segara Kidul. Yogyakarta: Gema Grafika.
Remak, Henry H.H. (1971). “Comparative Literature: Its Definition and Function” dalam Contemporary Literature: Method and Perspective (editor Newton P Stallknecht dan
Horst Frenz). Illinois: Southere Illinois University Press.
Sabda, Narta, Ki. (1994). Kumpulan Gendhing-gendhing lan Lagon Dolanan. Sukoharjo: Cenderawasih.
Siyamta, Yohanes. (2008). „Wengi“ dalam Dongan Maling. Yogyakarta: PISS.
Skilleas, Martin. 2001. Philosophy and Literature. Eidenburg: Eidenburg University Press.
Sohaimi Abdul Aziz. (2001). Kesusteraan Bandingan. Kuala Lumpur:Utusan Publications.
Soemarno, Anie. (1975). „Guritan“ dalam Geguritan Antologi Sajak-sajak Jawi. Surakarta: Pustaka Sasanamulya.
Suharyanta, BP. (2001). „Gurit Sabrangan“ dalam Lirik Lereng Merapi. Yogyakarta: DKS dan Yayasan Aksara Indonesia.
Teeuw, A. (1983). Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Austin Warren. (1989). “Sastra Bandingan, sastra Umum, dan Sastra Nasional” dalam Theory of Literature, terjemahan Melani Budianto. Jakarta: Gramedia.
Yamin, Muhammad. (2001). „Gunung Merapi“ dalam Lirik Lereng Merapi. Yogyakarta: DKS dan Yayasan Aksara Indonesia.